Episode 58 – Belengu Itu Bernama Mental
Belengu bukanlah sesuatu yang membuat kita nyaman, ia menghambat ruang gerak kita dan menjadikan kita terkunci di titik dimana kita berada.
Tapi terdapat satu belengu yang lebih dahsyat dari berbagai belengu yang selama ini ada, ia bernama ‘mental’.
Belengu yang bersifat fisik bisa kita sadari dengan jelas, sehingga kita bisa berupaya untuk melepaskan diri darinya dengan lebih taktis, tapi tidak dengan belengu mental, ia tidak terlihat dan sulit disadari karena tersimpan di sistem kesadaran yang lebih dalam.
Dari pengalaman memfasilitasi sesi coaching, konseling dan terapi, saya mendapati ada begitu banyak orang dengan potensi luar biasa yang pada akhirnya menjalani kualitas hidup yang ‘jalan di tempat’, semata karena mereka terhambat oleh belengu mental ini.
Seperti apa jelasnya belengu mental ini menghambat kualitas pencapaian?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kelimapuluhdelapan Life Restoration Podcast berjudul ‘Belengu Itu Bernama Mental’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Belengu Itu Bernama Mental'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode lima puluh delapan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, berjumpa kembali di Life Restoration Podcast, episode 58 kali ini, seperti biasa, bersama saya tentunya, Alguskha Nalendra.
Seperti biasa juga, mengawali perjumpaan kita di episode kali ini, doa terbaik untuk anda sekalian, semoga Anda selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia selalu.
Yes…doa itu selalu menyertai setiap perjumpaan saya di berbagai episode dan karya saya, baik di Life Restoration Podcast ini, juga di Life Restoration Serial Video yang rutin diunggah di Youtube Channel saya, dan bahkan di perjumpaan interaktif saya di program live streaming setiap hari Senin malam, yaitu The Night Show Streaming & Podcast.
Kenapa selalu doa itu yang saya ungkapkan? Ya sederhananya karena memang 5 hal itu yang secara mendasar kita butuhkan dalam hidup kita kan?
Sehat fisiknya, bisa menjalankan aktivitas dengan baik dan bugar…sehat batinnya, bisa merasa tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari…
Berkelimpahan hartanya, berkecukupan, mampu memenuhi kebutuhan diri dan orang terkasih…berkah juga hartanya, bisa memberi manfaat bagi orang di sekitar…
Damai menjalani kehidupan, damai dan harmonis dengan orang di sekitar, bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan dengan rasa bahagia…
Itu saja yang kita butuhkan – dan kita perjuangkan dalam hidup ini kan? Maka itulah doa dan harapan yang saya tujukan pada para pendengar konten dan karya saya ya hanya 5 hal itu: semoga sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia.
Nah itu sedikit pembuka dan penjelasan singkat atas doa yang sering saya tujukan untuk Anda, sekarang mari kita masuk ke bahasan pembuka dari episode kali ini, yang akan membahas tentang belengu mental,atau istilah lainnya yaitu penjara mental.
Membicarakan belengu mental ini, ada sebuah kisah yang mungkin sudah cukup sering Anda dengar, dimana kisah ini membicarakan tentang ‘rantai gajah’.
Meski sudah cukup sering dibicarakan, tidak ada salahnya kita mengangkat kisah ini di awal episode kali ini kok ya.
Alkisah, untuk menjinakkan seekor gajah yang sudah ditangkap agar ia tidak kabur, para penangkap gajah akan menggunakan seutas rantai yang besar dan kuat, yang ditambatkan ke sebuah pancang yang kokoh, sedemikian kuat rantai dan pancang itu sampai-sampai gajah yang terikat pada rantai dan pancang itu tidak akan bisa kabur atau lepas darinya.
Gajah yang sudah ditangkap akan kemudian dibius, untuk kemudian dipindahkan ke lokasi dimana ia mulai dirantai pada pancang yang sudah disiapkan tadi.
Ketika gajah itu terbangun, apa yang akan dilakukannya? Yes, ia akan berontak dan mencoba untuk kabur.
Tapi Anda tentu sudah bisa menebaknya, ketika ia akan berontak dan kabur, rantai yang menahannya akan membelengunya dan membuatnya tidak berkutik, ia pun jatuh dan merasakan kesakitan.
Berkali-kali hal ini ia lakukan, sampai kemudian ia lelah, lapar dan haus. Ketika ia sudah lelah dan tidak bisa berkutik maka ia kemudian diberi makan dan minum.
Merasa lapar dan haus, ia tentu langsung memakan dan meminum apa yang ada. Ketika tenaganya pulih ia lalu mencoba untuk kabur lagi dan lagi, tapi hal yang sama selalu terjadi, ia kembali terjatuh dan tidak berdaya, ia lalu menyadari bahwa kakinya terikat oleh sesuatu yang membelengunya dan membuatnya tidak bisa lepas.
Hal yang sama terjadi keesokan harinya, ia kembali bersiap kabur tapi lagi-lagi ia tidak bisa melakukannya, ia akhirnya menyadari bahwa yang membelengunya sangatlah kuat dan mustahil untuk bisa dilepaskan, akhirnya ia memutuskan untuk berdiam dan menyerah, memutuskan untuk menjalani hari dengan apa adanya, karena pada akhirnya juga ia akan diberi makan dan minum, ia akhirnya memilih untuk menyerahkan kebebasannya dan menjalani hari di bawah belengu.
Hari demi hari berlalu, yang tidak diketahui oleh gajah itu adalah pada satu waktu ketika ia tidur rantai yang membelengunya kemudian diganti dengan seutas tali, tali biasa, yang kalau ditariknya pasti putus dan ia bisa kabur dengan mudah.
Pertanyaannya, apakah ia kabur? Seharusnya ia bisa kabur dengan mudah kali ini kan? Tapi ternyata tidak demikian…ia tidak kabur, keesokan harinya ia tetap menjalani hari seperti sebelumnya, tetap diam di tempat dimana ia berada.
Mengapa demikian? Ada dua hal: pertama, karena yang ia pahami adalah masih ada belengu di kakinya, selama ini ia terlanjur meyakini bahwa belengu itu tidak mungkin bisa dilepaskannya, maka ketika ia kembali terbangun dan ada sesuatu yang ia rasa membelengunya, ia tetap meyakini percuma saja untuk melepaskan diri, karena itu bukan sesuatu yang bisa dilepaskannya.
Dan kedua, ini yang paling penting, belengu itu sudah pindah, dari kakinya ke mentalnya.
Belengu asli yang membelengu fisiknya – berupa rantai – sudah tidak ada, belengu itu sudah pindah ke mentalnya dan membelengunya dengan lebih kencang lagi.
Mengapa dikatakan lebih kencang? Karena dalam kenyataannya, belengu fisik asli yang dulu menahannya sudah tidak ada, secara hitung-hitungan fisik kalau kali ini ia berontak dan kabur ia pasti bisa kabur dengan mudah, namun kenyataannya ia tidak menyadari semua itu, yang diketahuinya adalah ia masih terbelengu oleh rantainya yang sejak dulu tidak pernah bisa dilepasnya, meski kali ini rantai itu sudah tidak ada, inilah yang saya katakan tadi betapa belengu itu pindah ke mentalnya.
Bisa menangkap pesan moral dari kisah itu?
Para sahabat sekalian, kisah yang sama banyak dialami oleh orang-orang di sekitar kita.
Dalam karir yang saya tekuni sebagai seorang coach, saya mendampingi para klien saya untuk bisa menciptakan perubahan dari kondisi lamanya yang dirasanya tidak ideal, menuju kondisi baru, yang dirasanya ideal.
Perubahan kondisi ini tentu nantinya akan berisikan proses tersendiri, saya tidak akan masuk membahas hal ini di episode kali ini – karena isinya akan cukup bersifat teknis – yang ingin saya fokus untuk bahas adalah hal-hal yang menghambat perubahan ini untuk terjadi, yaitu ‘belengu mental’ tadi.
Begitulah, ada begitu banyak orang di sekitar kita yang seperti gajah tadi, terbelengu oleh sesuatu yang menghambat mereka dalam mentalnya sendiri. Belengu itu bukan berasal dari sesuatu yang bersifat fisik, tapi hambatan-hambatan yang menjadikan mereka ragu, tidak percaya diri, merasa tidak layak, atau banyak lagi jenis hambatan lainnya.
Dalam kenyataannya, saya mendapati bahwa ada begitu banyak orang yang sebenarnya memiliki potensi seperti gajah dalam cerita tadi, potensinya besar, dan kalau mereka memfokuskan atensinya untuk menciptakan perubahan dengan cara yang tepat, akan dahsyat sekali membayangkan bagaimana potensi yang besar itu kemudian membantu mereka, dan pasti akan dahsyat sekali perubahan yang bisa terjadi nantinya.
Tapi ya demikianlah – seperti gajah tadi juga – orang-orang dengan potensi yang sedemikian besar itu juga terperangkap dengan belengu mentalnya sendiri, yang menjadikan potensi yang sedemikian besar itu seolah tidak berdaya menghadapi situasi yang padahal seharusnya bisa mereka pecahkan dengan dahsyatnya kekuatannya itu.
Pertanyaannya, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Sebenarnya jawabannya ada pada kisah di awal tentang gajah tadi, yaitu karena mereka terkondisikan – terutama secara tidak sadar – untuk meyakini bahwa mereka tidak berdaya, dimana rasa tidak berdaya inilah yang di kemudian hari menjadi belengu mental.
Sejauh ini, paling tidak seharusnya Anda sudah bisa memahami kenapa judul dari episode ini mengangkat tema ‘belengu itu bernama mental’, karena memang belengu itu bersumber dari mental, berupa rasa ragu, tidak percaya diri dan tidak berdaya.
Tapi berita baiknya adalah: karena belengu itu terletak di mental, maka kunci membukanya pun ada pada mental, masuk akal?
Ya paling tidak itu yang saya yakini lah, semoga saja nantinya Anda pun bisa meyakini hal yang sama ya he…he…paling tidak, kalau dasar pemikirannya sama ya solusinya pun bisa diupayakan bersama, itu inti utamanya kan.
Begini, seperti dalam kisah gajah tadi, belengu mental bukan sesuatu yang tiba-tiba ada begitu saja, kita semua terlahir polos dan dibentuk oleh lingkungan, disinilah belengu mental juga ikut dibentuk oleh lingkungan, atau tepatnya oleh pengalaman kita.
Alaminya, sebagai anak-anak, kita tumbuh dengan rasa penasaran yang tinggi untuk mencoba berbagai hal, belum ada tolak ukur kita bisa atau tidak bisa, yang penting coba saja dulu. Baru dari pengalaman itulah kita tahu tentang hal yang bisa kita lakukan dan tidak bisa kita lakukan, hal apa yang bisa kita lakukan dengan baik dan membawa hasil, hal apa yang ketika dilakukan tidak membawa hasil, termasuk hal yang meski tidak sesuai kenyataan tapi tetap saja menyenangkan untuk dilakukan.
Lihat saja anak-anak yang melihat burung terbang, mereka melihat burung terbang dengan mengepakkan sayapnya, mereka lalu tergelitik untuk mencoba hal yang sama, mereka menggerak-gerakkan tangannya seperti burung, berharap mereka juga bisa terbang.
Perhatikan, belum ada kata ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’ di sini, yang penting lakukan dulu, itulah yang anak-anak lakukan, baru dari sini mereka mulai belajar yang bisa dan tidak bisa terjadi, mereka belajar bahwa ternyata mereka bisa menggerakkan tangannya, mengepakkannya seperti burung.
Mereka juga belajar bahwa ternyata meski mereka menggerakkan tangannya seperti burung, tapi mereka tidak bisa terbang, karena memang strukturnya kan beda, tapi intinya adalah mereka mencoba, baru setelah mencobalah mereka menyimpulkan dan belajar sesuatu.
Ada kalanya juga mereka tahu bahwa yang mereka lakukan memang tidak bisa membuat mereka terbang, tapi mereka tidak peduli, cukup dengan imajinasinya pun mereka bisa menikmati yang mereka lakukan, mereka menggerakkan tangannya seperti burung lalu berlari-lari ke berbagai arah, seperti sedang terbang ke berbagai arah, yang penting keseruannya.
Terbuka, polos dan siap mencoba, itulah jiwa anak-anak, di satu sisi hal ini menjadi desain alami manusia, tapi di sisi lain kita juga belajar dari pengalaman…disinilah celah terjadi.
Desain alami psikologis manusia adalah bertumbuh dengan menyerap dan memproses informasi dari lingkungan untuk nantinya dijadikan acuan untuk merespon atau bersikap di masa depannya, dalam proses inilah ada kalanya terjadi proses pengkondisian negatif seperti yang dialami oleh gajah tadi, yaitu kita terkondisikan untuk meyakini bahwa diri kita lemah, tidak berdaya, tidak becus, tidak layak, tidak mampu dan berbagai ‘tidak-tidak’ yang lainnya lagi, yang pada intinya membelengu diri kita.
Proses pengkondisian mental ini bisa terjadi melalui berbagai cara, tapi saya biasa membaginya menjadi dua, yaitu trauma dan imprint.
Bahasan ini juga pernah saya bahas di berbagai podcast dan live streaming sebelumnya ya, jadi saya tidak akan terlalu berpanjang lebar, langsung ke intinya saja.
Trauma – sederhananya – adalah dampak emosional dari kejadian tidak menyenangkan yang pernah terjadi dimana kejadian itu kita anggap sebagai ancaman.
Setelah mengalami kejadian itu sistem kesadaran kita menganggap situasi dan berbagai hal yang berhubungan dengan situasi itu sebagai ancaman, sehingga ketika dihadapkan dengan situasi sejenis di masa depan nantinya, sistem kesadaran kita langsung bereaksi ingin menghindarkan kita dari situasi itu, muncullah rasa cemas, ragu, takut dan sejenisnya.
Misalnya saja dialami oleh mereka yang pernah dimarahi di depan kelas di waktu sekolahnya dulu. Bagi seorang anak: dimarahi di depan kelas, dengan nada dan kata-kata yang keras dan kasar, apakah itu menyenangkan? Tentu tidak kan, dengan segala tekanan emosional yang ada maka situasi itu dianggap sebagai ancaman, atau tepatnya: berada di depan kelas, di depan orang banyak, adalah sebuah ancaman.
Karena sistem kesadaran sudah terlanjur mengasosiasikan bahwa berada di depan orang banyak adalah ancaman, maka jangan heran kalau di kemudian hari hal ini menjadi ‘belengu mental’, setiap kali tampil atau berada di depan orang banyak, muncullah rasa tidak nyaman, karena sistem kesadaran ingin menghindarkan kita dari situasi yang dirasa mengancam itu.
Tapi bukan berarti kejadian ini pasti menjadi belengu mental juga, sama saja seperti ilustrasi gajah tadi lah, hal ini menjadi belengu kalau ia mencoba kabur kan, kalau ia tidak berkeinginan kabur ya bukan belengu namanya, tapi aksesoris he…he…manusia juga sama, belengu menjadi kurungan kalau ia ingin bebas, kalau ia dasarnya tidak ingin bebas ya bukan belengu namanya, tapi hiasan he…he…
Sama juga dengan si orang yang pernah trauma tampil di depan orang banyak ini, apakah trauma ini pasti menjadi belengu? Ya belum tentu, kalau nantinya seumur hidupnya ia tidak harus tampil di depan orang banyak ya trauma ini juga kan tidak akan mengganggunya.
Trauma ini baru menjadi belengu kalau ada keinginan atau keharusan untuk tampil depan orang banyak, keinginan dari kehendak bebas pikiran sadar untuk bisa tampil di depan umum ini disabotase oleh rasa terancam yang muncul dari pikiran bawah sadar yang terlanjur merasa berbicara di depan orang banyak adalah ancaman.
Disinilah mental menjadi sebuah belengu yang maha dahsyat, bagaimana tidak, kejadian yang tidak mengenakkan di masa lalu ketika dimarahi itu sudah tidak terjadi – bahkan sudah berlalu lama sekali – tapi rasa terancamnya terus membelengu, terus menganggap bahwa ancaman itu masih ada, terus berlangsung, dan harus terus dihindari.
Belengu mental yang kedua adalah yang saya jelaskan tadi sebagai imprint.
Penjelasan sederhana dari imprint yaitu keyakinan yang ditanamkan dalam pikiran bawah sadar kita – baik secara sengaja atau pun tidak disengaja – oleh orang yang memiliki otoritas atas diri kita, bisa orang tua, keluarga, atasan dan sebagainya, yang jelas keyakinan itu tertanam dengan kuat sampai menjadi sebuah kenyataan atau keyakinan kita dalam memandang atau menyikapi sesuatu.
Imprint bisa positif dan bisa negatif, dalam kasus belengu mental, imprint dikategorikan sebagai perkara negatif, dimana ia adalah keyakinan di pikiran bawah sadar yang menghambat diri kita untuk bergerak maju memenuhi yang kita inginkan secara sadar.
Imprint tidak harus melibatkan trauma, meski pun bisa juga keduanya ada dalam satu waktu, bisa saja imprint ini berupa keyakinan yang membatasi, yang ditanamkan tanpa ada emosi negatif di dalamnya, bahkan bisa saja emosi yang menyertainya malahan emosi positif, misalnya ketika kecil sering mendengar orang tua berkata dengan lembut “Nanti kalau sudah besar, fokus kerja yang benar ya, tidak usah mikir yang aneh-aneh, pingin usaha ini, usaha itu, nanti kalau kenapa-kenapa repot sendiri, sudah kerja saja yang benar dan jaga keluarga”, maksudnya memang positif – dan disampaikan dengan cara positif juga – tapi ya hal ini bisa membawa masalah dan menjadi hambatan kalau di kemudian hari si penerima pesan ini ingin jadi wirausaha yang membuka usaha sendiri.
Imprint berdiam di pikiran bawah sadar, meski tidak ada emosi atau trauma yang melekat padanya, ia menjadi cara pandang kita dalam menyikapi sesuatu yang kita alami. Selama yang kita sikapi sejalan dengan imprint itu maka tidak jadi masalah, tapi ketika yang kita sikapi tidak sejalan dengannya maka muncullah belengu, karena imprint itu tidak mengijinkan kita untuk melakukan hal yang dianggap tidak sejalan dengannya.
Seperti contoh anak tadi saja, kalau ia memang tidak berpikiran membuka usaha dan ingin fokus saja bekerja sampai kapan pun, maka imprint itu tidak jadi masalah, tapi kalau di kemudian hari ia mulai ingin membuka usaha sendiri dan memang memantapkan niat untuk itu, imprint ini akan bekerja sebagai belengu mental, karena yang diinginkan oleh anak ini secara sadar berlawanan dengan keyakinan yang tersimpan di pikiran bawah sadar.
Membicarakan belengu mental memang mau tidak mau akan mengajak kita untuk berkenalan dengan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar, jika yang namanya kehendak atau keinginan terletak di pikiran sadar, maka belengu mental terletak di pikiran bawah sadar.
Lagi-lagi, bahasan tentang pikiran sadar dan pikiran bawah sadar ini sudah berulang kali saya bahas di berbagai episode podcast dan Life Restoration Serial Video di Youtube Channel saya, nanti temukan uraian lebih lengkapnya di sana lah ya.
Kita fokus ke garis besarnya saja deh, dimana ilustrasi perbandingan dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar adalah 10% pikiran sadar berbanding 90% pikiran bawah sadar, kalau melihat ilustrasi ini, ketika keduanya berkonflik, kira-kira yang mana yang akan menang? Sudah terbayang jawabannya kan?
Sekarang pikiran sadar punya kehendak, sebesar 10% tadi, lalu dihalangi oleh pikiran bawah sadar yang tidak setuju, sebesar 90% tadi, kira-kira bisa tembus? Sulit lah ya, maka itulah saya katakan sebagai belengu mental, karena ia membelengu cara kita berpikir, memandang dan meyakini sesuatu.
Sering kali yang dibelengu oleh mental kita ini sesuatu yang tidak seharusnya membelengu kita, misalnya saja dalam kasus takut tampil di depan umum tadi, kalau mengikuti logika sederhana, kita bisa mengurai bahwa namanya tampil di depan umum ya tampil saja, kan hanya menampilkan diri, tidak ada hal buruk yang bisa terjadi, tidak ada ancaman fisik apa pun yang bisa mencelakakan, kalau pun ada kejadian tidak mengenakkan pernah terjadi di masa lalu itu kan sudah lama terjadi, tidak ada lagi hubungannya dengan masa kini.
Ya itu kata logika, kata pikiran bawah sadar lain lagi, trauma yang melekat padanya tetap saja menganggap tampil di depan umum sebagai ancaman, karena bagaimana pun ia pernah merasa terancam di situasi itu, maka apa pun kata logika, tidak ada urusan, tetap saja tampil di depan umum menjadi sesuatu yang harus dihindari, karena ia adalah ancaman, titik! Logika jadi tidak berkutik, belengu bukan tuh?
Imprint bahkan bisa lebih merepotkan, contoh pada kasus sebelumnya, imprint tentang ‘fokus saja bekerja, jangan buka usaha’, ini bisa lebih merepotkan lagi, kalau trauma cukup jelas, karena ketidanyamanannya muncul secara emosional, kita merasakannya dan tahu ada sesuatu yang tidak beres, imprint lain lagi, karena ia tidak selalu membawa emosi atau trauma, pokoknya adaaa saja hambatan yang sulit dijelaskan, dan sulit dipahami, karena memang tidak ada muatan emosionalnya, lebih banyak kebuntuan dan kebingungan.
Ya itu juga ada emosinya sih, dari buntu dan bingung itu, tapi emosinya lebih ke rasa frustrasi setelahnya, bukan seperti trauma yang menghambat justru di sebelumnya.
Padahal kalau imprint itu dipecah lagi oleh logika, akan kita dapati bahwa imprint itu tidak logis, seperti tadi itu: “Fokus kerja yang benar, tidak usah mikir yang aneh-aneh, pingin usaha ini, usaha itu, nanti kalau kenapa-kenapa repot sendiri”, ini jenis ‘kenapa-kenapa’-nya apa memangnya? Dijelaskan saja tidak kan? Memangnya pasti kalau buka usaha akan mengalami kejadian tidak menyenangkan? Tidak pasti juga kan, itu kan hanya cara pandang orang tua – yang mungkin pernah mengalami atau melihat hal tidak menyenangkan yang dialami mereka yang buka usaha sendiri – yang ‘diwariskan’ – ya sebut saja diwariskan lah – ke anak, yang kemudian ikut diyakini sebagi kenyataan oleh si anak, meski si anak tidak mengalami yang si orang tua alami.
Tapi bukan soal ‘logis tidak logis’, namanya juga belengu mental ya ia tetap membelengu, letaknya di pikiran bawah sadar pula, yang sulit disadari, ini sama dengan belengu yang tidak terlihat tapi cengkramannya kuat sekali.
Jadi penting tidak untuk bisa melepas belengu mental ini? Ya saya tidak bisa memaksa Anda ikut meyakini ini penting, tapi kalau kita renungkan secara lebih mendalam, kalau kita adalah orang yang ingin mewujudkan berbagai pencapaian dan peningkatan kualitas hidup – yang ternyata disabotase oleh adanya belengu mental dalam diri – maka hal ini tentu penting adanya.
Pertanyaan berikutnya adalah: jadi bagaimana cara melepaskan belengu mental ini? Nah, yang satu ini kita ulas di episode selanjutnya di minggu depan ya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.