Episode 92 – Hidupkan Rasa Ingin Tahu Itu
Terinspirasi dari dialog pembicaraan bersama Dr. Bernice McCarthy, kreator dari 4MAT System, minggu lalu, episode podcast kali ini membahas tentang “rasa ingin tahu” (curiosity). Betapa rasa ingin tahu menjadi salah satu “bahan bakar kehidupan”.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh dua Life Restoration Podcast berjudul ‘Hidupkan Rasa Ingin Tahu Itu’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Hidupkan Rasa Ingin Tahu Itu
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh dua.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada … kembali berjumpa di episode 92, Life Restoration Podcast kali ini, seperti biasa, bersama saya Alguskha Nalendra.
Mengawali perjumpaan kali ini, seperti biasa juga, doa terbaik untuk Anda tentunya, semoga Anda selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Di episode kali ini saya ingin mengangkat sebuah tema yang terinspirasi dari pembicaraan bersama Dr. Bernice McCarthy minggu lalu.
Bagi yang belum familiar, Dr. McCarthy adalah seorang pakar di bidang pendidikan dan pembelajaran di Amerika. Beliau juga adalah penemu dari formula pembelajaran yang disebut sebagai 4MAT System.
Sebelum masuk ke topik bahasan utama kita di episode kali ini, saya ingin meluangkan waktu dulu untuk membahas seputar 4MAT System dan profil Dr. McCarthy ini ya, agar ada informasi kontekstual yang melandasi topik di podcast kali ini.
Jadi begini, beberapa di antara Anda mungkin sudah familiar dengan latar belakang aktivitas saya sehubungan dengan dunia belajar-mengajar. Begitulah, selain menjadi seorang Coach dan juga Hipnoterapis yang membersamai sesi-sesi perubahan klien secara personal, saya juga memiliki latar belakang dan aktivitas lain sebagai pembicara organisasi, atau organizational speaker, dan juga sebagai organizational trainer.
Di aktivitas yang satu ini, yang saya lakukan agak berbeda. Saya tidak membersamai perubahan individu secara privat, melainkan membersamai perubahan organisasi secara kolektif melalui program pelatihan yang saya rancang untuk mereka.
Sebagai trainer, yang saya lakukan adalah membantu organisasi berkembang dengan cara memastikan SDM di dalam organisasi memiliki keahlian yang memadai untuk bisa menampilkan kinerja terbaiknya, sesuai yang dipersyaratkan oleh organisasi.
Sebenarnya esensinya ya sama, sama-sama memfasilitasi perubahan, hanya saja sebagai trainer cakupannya lebih kompleks, karena perubahan ini difasilitasi secara berkelompok. Saya harus menyiapkan desain program untuk sekelompok peserta dimana nantinya para peserta itu akan melalui aktivitas demi aktivitas belajar dalam desain program itu, sampai nanti di akhir mereka berubah menjadi lebih baik, bertumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih berkesadaran, berpengetahuan dan berkeahlian, dimana dengan semua perubahan itulah mereka jadi bisa menampilkan kinerja yang lebih baik dan berkontribusi dengan lebih baik untuk organisasi.
Nah, itu kurang lebih garis besar aktivitasnya ya. Lalu apa hubungannya dengan 4MAT System dan Dr. McCarthy? 4MAT System adalah pendekatan yang saya gunakan untuk merancang desain pembelajaran untuk organisasi tadi. Dengan 4MAT System inilah saya menganalisa kebutuhan perubahan organisasi, sampai ke merancang desain pembelajaran yang bisa membawa organisasi mencapai kebutuhan perubahan yang mereka harapkan, Dr. McCarthy sendiri adalah sosok yang memformulasikan 4MAT System ini, jadi beliau kreatornyalah istilahnya.
4MAT System sendiri banyak digunakan di beragam jenis organisasi di luar negeri sebagai pendekatan untuk merancang desain pembelajaran dan pelatihan para SDM di organisasi itu. Hal ini karena 4MAT System memberikan formula yang efektif dan sistematis untuk kita merancang desain pembelajaran yang optimal, yang menghasilkan pengalaman belajar optimal dalam diri para pesertanya
Saya pertama kali berkenalan dengan 4MAT System ini sekitar dua belas tahun lalu, sepuluh tahun lalu saya kemudian berkesempatan mempelajari dasar-dasar 4MAT System ini, sampai kemudian dua tahun lalu saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi trainer resmi dari 4MAT System ini, menjadi yang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara.
Untuk 4MAT System sendiri, lebih jauhnya nanti Anda bisa baca-baca di website saya lah ya. Di website saya sudah saya tuliskan artikel tersendiri seputar 4MAT System ini, sampai dengan informasi pembelajaran atau pelatihan 4MAT System ini.
Sebagai trainer, saya berkesempatan mendapatkan akses untuk berkonsultasi dan berdialog langsung bersama Dr.McCarthy, baik itu seputar 4MAT System atau pun juga seputar dunia pembelajaran pada umumnya.
Minggu kemarin saya berdialog dengan beliau seputar pembelajaran. Dalam dialog ini beliau mengangkat keberadaan seorang sosok yang disebut sebagai Whitehead, atau nama lengkapnya Alfred North Whitehead, yang menginspirasi lahirnya prinsip tersendiri dalam 4MAT System.
Mengenai detail dari prinsip yang terinspirasi dari Whitehead ini tidak akan saya bahas di sini dulu ya, karena memang ia berhubungan dengan pemahaman teknis seputar 4MAT System. Yang ingin saya soroti adalah bagaimana beliau menyoroti pentingnya seorang pengajar untuk membangun dan menjaga “rasa ingin tahu”, dalam diri para pesertanya, yang biasa dalam Bahasa Inggris disebut “curiousity”.
Dalam dialog itu kita menyoroti bagaimana rasa ingin tahu adalah sebuah bahan bakar kehidupan. Berkat rasa ingin tahu itulah kita belajar dan berkarya. Dengan adanya rasa ingin tahu itulah kehidupan ini bergerak berevolusi menjadi lebih maju setiap waktunya.
Rasa ingin tahu adalah sesuatu yang membuat hidup ini menjadi lebih hidup, maka itulah ia tadi disebut sebagai “bahan bakar”, bukan hanya dalam pembelajaran, tapi kehidupan.
Coba lihat anak kecil, setiap hari menjadi petualangan baru untuk mereka. Setiap hari ada saja hal baru yang ingin mereka ketahui dan kuasai. Bagi anak kecil, apa-apa yang ada di sekitar mereka bisa jadi sebuah petualangan, karena mereka “ingin tahu”.
Begitu juga di balik berbagai inovasi atau temuan-temuan yang saat ini memberi warna pada dunia yang kita tinggali ini. Bukankah semua itu bersumber dari rasa ingin tahu?
Pesawat ditemukan karena ada rasa ingin tahu dalam diri penemunya jaman dulu, bagaimana burung bisa terbang, bagaimana jika kita ingin bisa terbang seperti burung, bagaimana jika kita mencoba hal A, B, C dan seterusnya untuk kita ketahui apakah itu bisa menjadikan kita terbang seperti burung. Dan lain sebagainya. Intinya adalah karena adanya rasa ingin tahu itulah sebuah penemuan tercipta dan membawa perubahan pada dunia tempat kita tinggal ini.
Salah satu ciri dari rasa ingin tahu ini adalah munculnya naluri untuk “bertanya”, dan bahkan “mempertanyakan”. Artinya, kita tidak semata hanya menerima dan “tahu beres” tentang apa-apa yang kita terima, tapi kita melibatkan rasa ingin tahu di dalam proses menerima ini dengan bertanya dan mempertanyakan yang kita terima.
Kenapa kalau kita jatuh ke bawah, apa yang menjadikan kita kalau jatuh ke bawah, bagaimana agar kecepatan jatuh ke bawah ini bisa kita kurangi, bagaimana kalau proses jatuh ini bisa kita akali agar kita tidak jatuh karena ada daya yang melawan proses kita jatuh? Bayangkan pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam diri penemu jaman dulu, yang kemudian membawa mereka pada ditemukannya teori gravitasi.
Bahkan dalam dunia penelitian pun sebuah penelitian dilakukan dengan dirumuskannya pertanyaan penelitian. Dengan pertanyaan inilah dimulai sebuah perjalanan untuk menemukan jawaban atas hal yang kita ingin ketahui.
Tanpa adanya rasa ingin tahu, tanpa adanya pertanyaan, tidak akan ada perubahan dan inovasi, segala-sesuatu berjalan monoton, apa adanya sebagaimana hal itu biasa berjalan. Kalau pun ada sesuatu yang jadi berjalan berbeda karena kebetulan, yang seharusnya memicu inovasi, inovasi itu tidak akan ada jika tidak ada rasa ingin tahu dan pertanyaan yang memunculkan jawaban atas pertanyaan itu.
Jadi kesimpulannya adalah … rasa ingin tahu dan bertanya adalah bahan bakar kemajuan.
Tapi justru di sini juga terdapat sebuah masalah atau ironi tersendiri. Dari hasil dialog dengan Dr. McCarthy minggu lalu, saya belajar bahwa terdapat sebuah penelitian yang mendapati bahwa seiring dengan seorang anak bertumbuh dewasa, terutama dalam bersekolah, naluri ingin tahu ini yang justru diindikasikan semakin berkurang.
Dalam salah satu hasil penelitian yang Dr. McCarthy kutip, rasa ingin tahu direpresentasikan dengan kecenderungan anak-anak untuk bertanya dan mendapatkan jawaban dari guru. Disinilah hasil penelitian ini memunculkan temuan bahwa anak-anak di fase-fase awal belajar di sekolah memang menunjukkan rasa ingin tahu yang lebih tinggi, mereka tidak ragu untuk bertanya dan mendapatkan jawaban atas hal-hal yang ingin mereka ketahui. Tapi seiring waktu berjalan, ternyata dorongan untuk bertanya itu berkurang. Ada sebuah grafik penurunan yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin berkurang kecenderungan untuk bertanya ini. Para pembelajar berubah, dari yang semula “ingin tahu”, menjadi para “penghapal” yang fokusnya adalah menghapalkan sebanyak mungkin hal-hal yang diajarkan di sekolah, agar lulus ujian. Fokus mereka terkunci pada menghapal hal lama yang mereka dapatkan agar lulus persyaratan administratif ujian, bukan pada bagaimana mengetahui hal baru yang bisa mereka gunakan dalam berkehidupan.
Bukan berarti menghapal ini adalah sesuatu yang jelek. Bagaimana pun juga hapalan menjadi sesuatu yang diperlukan dalam belajar dan berkehidupan.Bagaimana pun juga menghapal adalah cara kita mengingat hal-hal yang perlu diingat agar nantinya ketika diperlukan ingatan itu bisa kita akses untuk kita gunakan ulang.
Yang saya ingin soroti adalah fenomena tidak berimbangnya aktivitas menghapal ini. Jika kita hanya fokus pada menghapal yang sudah kita pelajari, lalu dimana ruang untuk memproses hal baru? Hal ini yang dikhawatirkan menjadikan kita pribadi tertutup yang sulit membuka diri terhadap perubahan.
Yang ideal dalam pandangan saya adalah terjadinya keseimbangan. Kita memproses hal lama yang sudah kita pelajari dalam bentuk menghapal, namun hapalan ini kita proses ulang dengan cara bertanya atau mempertanyakan yang sudah kita hapalkan ini. Sehingga kita mengkristalkan lebih jauh hal yang sudah kita kuasai sampai ia menjadi sebuah penguasaan keahlian yang bersifat personal.
Kenapa ini penting? Bagi saya, agar ia menjadi sesuatu yang kita kuasai dengan baik sampai ia bisa menjadi karya yang nantinya membawa manfaat bagi orang di sekitar kita.
Apa dampak lanjutan yang lebih buruk dari hilangnya rasa ingin tahu ini, yang ditandai dengan hilangnya dorongan untuk bertanya? Ya, kita menjadi manusia yang malas berpikir, atau kualitas berpikirnya di situ di situ saja, tidak berkembang.
Sekarang coba kita pahami, bagaimana rasa ingin tahu ini bisa jadi berkurang dalam diri banyak orang seiring kita bertumbuh dewasa.
Kali ini kita keluar dulu dari bahasan penelitian yang saya bicarakan bersama Dr. McCarthy ya. Kali ini saya ingin menuangkan hasil pengamatan dan pemikiran saya pribadi.
Dalam pandangan saya, rasa ingin tahu dalam diri kita menjadi berkurang karena empat hal, dimana keempat hal ini biasanya terjadi di masa kecil sampai kita beranjak remaja.
Pertama, karena takut. Biasanya hal ini terjadi karena ada pengalaman buruk ketika kita mencoba ingin tahu, atau belajar, atau bertanya.
Misalnya saja, anak yang ketika sedang belajar di kelas ingin tahu sesuatu, ingin memastikan sesuatu yang ia pelajari. Ia lalu mengangkat tangannya untuk bertanya. Tidak tahunya ketika bertanya ia malah dimarahi, karena dianggap tidak memerhatikan, atau dianggap cerewet, atau karena pengajarnya memang kelakuan-nya bermasalah.
Hal ini menjadikan si anak menganggap bahwa bertanya adalah hal yang berbahaya, yang membuatnya terkena masalah, maka ia jadi takut untuk bertanya di kemudian waktu. Meski ia tidak tahu sekali pun, ia jadi menahan rasa ingin tahunya dan memilih untuk tetap tidak tahu dengan cara tidak bertanya. “Karena kalau bertanya nanti kena masalah,” begitu pikir si anak.
Ironis kan? Di satu sisi kalau ia tetap tidak tahu hal yang ia ingin pastikan itu ia akan terus terkendala dalam belajar. Di sisi lain ketika ia ingin tahu ia justru mendapatkan masalah. Hal ini yang akhirnya membuat beberapa orang jadi membenci proses belajar. Karena belajar mensyaratkan kita untuk memastikan hal yang sudah kita pelajari, sementara hal ini yang justru mereka takutkan karena pernah membuat mereka merasa terancam.
Itu tadi hal pertama yang menjadikan rasa ingin tahu berkurang ya. Hal kedua, karena tidak ada ruang untuk itu.
Begini, di beberapa budaya atau kebiasaan, ruang untuk bertanya itu tidak diakomodir. Ketika seseorang ingin tahu sesuatu dan mempertanyakan hal itu pada generasi pendahulu atau tokoh yang dianggap “seharusnya tahu”, jawaban yang ia terima malah jawaban yang bernada “Ya memang sudah dari sananya begitu”.
Sedemikian seringnya hal ini terjadi sampai lama-lama mereka yang ingin tahu ini sudah bisa menebak jawabannya, bahwa “ya memang sudah dari sananya begitu”, maka mereka pun jadi malas untuk bertanya karena sudah bisa menduga-duga jawabannya.
Berikutnya, hal ketiga yang membuat rasa ingin tahu ini jadi berkurang, yaitu karena bingung. Biasanya hal ini dialami oleh mereka yang dulunya banyak bertanya, dan mereka mendapatkan jawaban, tapi jawaban yang mereka dapatkan “ketinggian” istilahnya, entah isinya atau pun cara menyampaikannya, atau memang cara menyampaikannya bermasalah, yang menjadikan si penanya ini bingung sendiri, semakin dipikirkan semakin bingung, tapi semakin ditanya juga ia jadi semakin bingung dan lelah. Akhirnya karena frustrasi dan bingung, sudah saja sekalian tidak perlu ditanyakan.
Yang terakhir, yaitu hal keempat, yang justru berkebalikan dari hal ketiga, yaitu terlalu mudah mendapatkan jawaban. Jadi ketika ada pertanyaan jawabannya didapatkan dengan terlalu mudah, sampai lama-lama keinginan untuk tahu lebih jauh berhenti ketika jawabannya sudah didapatkan.
Di era teknologi sekarang ini hal ini terjadi kan. Ketika mau tanya sesuatu, tanya saja pada artificial inteligence, atau kecerdasan buatan, jawaban pun langsung muncul dengan begitu lengkapnya. Sayangnya, saking lengkapnya jawaban ini dihadirkan, kita langsung dihadapkan dengan hal-hal yang jawabannya terlalu awal dimunculkan, sehingga pencarian pun berhenti sampai di situ.
Proses mencari tahu adalah proses yang tetap perlu melibatkan proses berpikir aktif. Artinya, jawaban yang didapat dari proses mencari tahu ini hendaknya menjadi sesuatu yang mengajak kita termotivasi untuk ingin tahu lebih jauh lagi. Hal ini biasanya didapat dari proses penambahan pengetahuan yang sifatnya bertahap.
Begitu pengetahuan ini didapat dengan terlalu mudah dan terlalu banyak di depan, maka ada rasa bosan yang secara perlahan mulai merayap muncul. Proses belajar menjadi proses yang tidak bisa diapresiasi, karena memang terlalu mudah untuk didapat.
Hal berikutnya lagi adalah karena proses ingin tahu ini terpenuhi dengan terlalu mudah dari jawaban-jawaban yang terlalu mudah didapat, maka kemampuan berpikir pun jadi semakin menurun. Terbiasa dengan kemudahan, sehingga ketika dihadapkan dengan sesuatu yang perlu berpikir lebih jauh dan dalam rasanya berat, langsung deh malas rasanya.
Rasa ingin tahunya tetap ada, hanya kualitasnya rendah sekali, hanya pada hal-hal yang cetek dan mudah untuk didapat jawabannya, naluri perjuangannya tidak terbangun.
Lalu bagaimana menyikapi hal ini? Apa pesan moral yang ingin saya sampaikan di episode kali ini? Satu hal. Sesuai dengan judul episode kali ini: hidupkan rasa ingin tahu dalam diri kita.
Yang paling pertama, kita mulai dari membangun kesadaran dalam diri kita dan orang di sekitar bahwa rasa ingin tahu adalah bahan bakar kehidupan. Tanpa rasa ingin tahu tidak akan ada kemajuan dan pertumbuhan dalam hidup. Miliki kesadaran bahwa rasa ingin tahu dan ingin belajar ini perlu kita pupuk seterusnya.
Berikutnya, kita latih diri kita dengan proses mencari tahu yang sehat. Kita menjadi pribadi yang berani bertanya dan berani mempertanyakan apa yang kita dapatkan. Hal ini agar kita mau menjadi pribadi yang berpikir dan mendapatkan esensi dari apa-apa yang kita ketahui di levelnya yang terdalam.
Terakhir, biasakan juga diri kita menjadi pribadi yang siap berjuang dalam mencari tahu ini. Kita menjadi pribadi yang siap untuk berpikir dalam mencari tahu, jangan ingin mudahnya saja. Karena hal ini yang ikut membentuk ketangguhan kita.
Ketika rasa ingin tahu ini sudah hidup dalam diri kita, kehidupan yang kita jalani pun pasti jadi lebih hidup.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.