Episode 93 – Ciptakan Masalah Yang Sepadan
Meski mungkin terdengar janggal, saya mendapati bahwa manusia adalah makhluk yang “butuh masalah”.
Disadari atau tidak, ada naluri alami dalam diri manusia untuk “mencari masalah”, karena ia berhubungan dengan naluri bertahan hidup (survival instinct) dalam diri kita.
Maka itulah, menghindari masalah justru bisa di kemudian hari melahirkan masalah baru yang lebih kompleks.
Alih-alih mengindari masalah, satu solusi yang mungkin terdengar absurd adalah “ciptakan masalah”, namun pastikan ia menjadi masalah yang sepadan.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh tiga Life Restoration Podcast berjudul ‘Ciptakan Masalah Yang Sepadan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Ciptakan Masalah Yang Sepadan
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh tiga.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada … berjumpa kembali bersama saya … Alguskha Nalendra, kali ini di episode ke-93 Life Restoration Podcast.
Seperti biasa tentunya, mengawali episode kali ini, doa terbaik untuk Anda sekalian, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
“Masalah” … satu kata yang sering kali tidak terlalu disukai banyak orang … betul tidak?
Begitulah, pada umumnya ketika mendengar kata “masalah” muncul reaksi yang menganggapnya sebagai hal negatif.
Ya tidak salah-salah amat sih … he … he …di kadar yang tidak tepat memang ia menjadi gangguan. Tapi di kadar yang tepat masalah sesungguhnya bisa menjadi “aset”.
“Kadar yang tidak tepat” apa maksudnya? Tenang dulu, ini akan kita bahas di episode kali ini kok. Satu petunjuk yang menjawab “kadar yang tidak tepat” atas masalah ini yaitu ketika masalah yang kita hadapi “tidak sepadan”.
Lha … lha … lha … agaknya makin membingungkan nih ya … he … he …
Ya sudah kita langsung saja masuk ke inti bahasan dari podcast kali ini ya.
Jadi begini, seperti Anda bisa melihat judul episode kali ini, “Ciptakan Masalah Yang Sepadan”, fokus dari episode kali ini memang membicarakan masalah.
Bahasan di episode kali ini menjadi satu topik yang sering mewarnai jalannya pembicaraan saya bersama klien, termasuk juga di forum-forum pembelajaran yang saya adakan.
Bahkan sebenarnya episode ini dibuat juga, itu ada kontribusi usulan dari para alumni, dan juga klien, yang merasa bahasan ini penting untuk dijadikan episode podcast. Selain memudahkan mereka mengingat yang saya bicarakan, juga agar lebih banyak orang mendapatkan pemahaman, yang menurut mereka bermanfaat. Ya setidaknya semoga bahasan ini memang bisa jadi manfaat untuk Anda lah ya, agar bisa memandang masalah dengan cara berbeda.
Jadi begini. Seperti saya jelaskan di awal episode kali ini, ada banyak orang yang bereaksi negatif ketika mendengar kata “masalah”. Meski hal ini manusiawi, kita tetap perlu waspada agar jangan sampai reaksi negatif ini muncul berlebih dan membuat kita malah jadi lembek, tidak punya ketahanan dalam menghadapi masalah.
Satu cara pandang yang bagi saya penting untuk diadaptasi tentang masalah adalah, “jangan pandang masalah sebagai musibah, tapi pandang masalah sebagai ajang untuk meningkatkan nilai diri”.
Nah ini maksudnya bagaimana? Begini. Dalam konteks bahasan ini, kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu hal yang menentukan nilai diri seseorang dalam berkehidupan, terutama dalam konteks sosial.
Namanya dihadapkan dengan masalah, kita tentu tidak suka dan tidak nyaman. Lagi-lagi saya katakan, itu manusiawi. Tapi begini, terlepas dari tidak suka dan tidak nyaman, ketika masalah itu sudah kita lewati, bagaimana rasanya? Yes, ada rasa lega pastinya.
Bukan hanya lega. Ketika sebuah masalah berhasil kita pecahkan, nilai diri kita pasti bertambah.Ketika dihadapkan dengan permasalahan yang sama, kita sudah tahu bagaimana masalah itu harus disikapi, karena kita sudah punya referensi pengalaman dalam menghadapi masalah itu sebelumnya.
Sekarang, kalau ada orang lain yang sedang dilanda permasalahan dan ternyata permasalahan yang sedang ia hadapi adalah permasalahan yang pernah kita pecahkan, bagaimana nilai diri kita di situasi yang sedang terjadi itu? Yes, kita jadi pribadi yang bernilai lebih. Kalau orang yang mengalami permasalahan itu memerlukan bantuan, atau sosok yang bisa membantu memecahkan masalah, yang dicari pastilah orang yang berpengalaman dalam menghadapi masalah itu. Karena kita adalah sosok yang punya kapasitas untuk itu, kita jadi punya nilai lebih di mata orang yang memerlukan bantuan itu.
Dalam konteks bisnis profesional, hal ini yang kemudian menjadi “produk” yang bernilai mahal.
Coba lihat para konsultan yang dibayar mahal. Mereka dibayar mahal pastilah karena kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Betul? Semakin besar masalah yang bisa mereka pecahkan, semakin tinggi nilai mereka di mata yang memerlukan bantuannya.
Sekarang kapasitas memecahkan masalah itu akan terbangun tidak kalau mereka tidak pernah terlatih untuk memecahkan masalah? Tentu tidak. Dengan kata lain, mereka yang punya kemampuan memecahkan masalah adalah mereka yang memang terlatih dalam kehidupan untuk memecahkan masalah. Semakin besar masalah yang pernah mereka pecahkan, semakin mahal nilai mereka.
Jadi, pandang masalah sebagai ajang untuk meningkatkan kapasitas diri. Jangan menghindar ketika masalah melanda. Ketika situasi itu sudah terlewati, pasti kapasitas dan nilai diri kita naik.
Tapi … bukan berarti hal ini membuat kita jadi cari-cari masalah ya … he …he …
Menghadapi masalah berbeda dengan cari masalah. Dalam “cari masalah”, masalah yang ada tidaklah sepadan, tapi malah jadi muncul dan harus dihadapi, karena kita yang dasarnya ceroboh sehingga masalah itu terjadi.
Sementara dalam menghadapi masalah, yang kita hadapi sepadan nilainya, dan ketika ia kita pecahkan, kapasitas diri kita naik jadinya.
Ini maksudnya “sepadan” apa sih? Mungkin ada yang bertanya begitu.
Saya tidak akan langsung membahasnya, tapi saya akan membahasnya melalui sebuah penjelasan pengantar dulu, agar ada konteks yang jelas yang menjadi pijakan dari jawabannya nanti.
Begini. Meski terdengar aneh, tapi manusia adalah makhluk yang “butuh masalah”.
Nah, aneh kan? Tapi memang kenyataannya begitu. Masalah adalah tantangan. Sebagai makhluk yang punya insting dan ego, kita butuh tantangan.
Tantangan adalah hal yang memenuhi kebutuhan instingtif kita dan juga memenuhi kebutuhan ego kita.
Kita mulai dari kebutuhan instingtif dulu ya. Saya sering mengatakan begini, manusia adalah makhluk “pemangsa”, atau predator. Ada naluri “memangsa” dalam diri kita, seperti predator saja pada umumnya.
Predator ternyata bertahan hidup bukan hanya dengan mencari mangsa, tapi “mencari tantangan dalam mencari mangsa”. Ketika dihadapkan dengan tantangan, ada reaksi hormonal yang menjadikan predator bergairah dan gairah itu memunculkan daya atau energi yang meningkatkan daya kehidupannya.
Kalau Anda pernah melihat hewan predator yang kemudian dipelihara, misalnya burung elang atau burung hantu, Anda akan mendapati bahwa ada waktu-waktu khusus dimana mereka perlu diberi pakan berupa hewan hidup, yang bisa mereka buru dan mangsa.
Hewan predator yang hanya dikasih daging mentah dari hewan yang sudah mati pada umumnya tidak berumur panjang. Mereka makan hanya karena lapar, tidak ada gairah dan daya juang yang muncul dari proses berburu dan mencari mangsa, maka hanya soal waktu sebelum mereka kemudian lemas dan mati.
Justru ketika predator mendapatkan buruan yang kabur atau melawan, kebutuhan instingtifnya terpenuhi, ada gairah yang hidup dalam diri mereka yang membuat umur mereka lebih panjang jadinya.
Hal ini juga yang membuat adanya mekanisme “pura-pura mati” dalam diri para hewan yang dimangsa. Ketika mereka ditangkap oleh predator maka mereka pura-pura mati, terkulai layu dan lemas. Meski hal ini memberikan kemudahan, tapi justru hal ini tidak disukai oleh predator yang sedang berburu untuk memuaskan kebutuhan instingtifnya. Kalau tidak lapar-lapar amat, mangsa yang pura-pura mati ini justru akan ditinggalkan, karena ia tidak memunculkan gairah.
Manusia kurang lebih sama. Ketika dihadapkan dengan situasi yang monoton, tidak ada masalah atau tantangan, meski di satu sisi ada rasa nyaman, tapi hanya soal waktu sebelum rasa jenuh muncul. Kalau sudah jenuh, maka muncullah stres.
Nah unik kan, di satu sisi kalau ada masalah pusing, tidak ada masalah juga pusing. Begitulah manusia he … he …
Hal ini juga yang membuat beberapa orang yang hidupnya sudah baik dan aman-aman saja justru kemudian malah “cari masalah”, atau versi halusnya “cari tantangan”. Dalam bentuk sederhananya, contohnya yaitu “cari suasana baru”.
Kenapa cari suasana baru memberikan tantangan? Karena di suasana baru ada “ketidakpastian”. Ada hal-hal yang kita belum tahu dan tidak bisa kita prediksi. Hal itu memunculkan rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan dorongan untuk menguasai situasi, atau bahasa Inggrisnya: coping. Ketika situasi baru itu bisa kita kuasai atau taklukkan, muncullah rasa puas. Di sini kebutuhan instingtif kita terpenuhi, kebutuhan ego kita pun terpenuhi, muncul rasa bahwa “kita masihlah berarti”, atau “kita masihlah bernilai”.
Coba lihat orang-orang yang sebelumnya bekerja di perusahaan, yang sehari-harinya menghadapi banyak masalah untuk mereka pecahkan, dan satu waktu kemudian mereka pensiun.
Awal-awal pensiun mungkin mereka masih merasa nyaman dan tenang. Tapi hanya soal waktu lho, sebelum mereka mulai gelisah. Kenapa? Karena tidak ada masalah untuk mereka pecahkan. Biasanya hari-hari pecahkan masalah, kali ini terlalu tenang, terlalu damai, maka muncullah rasa resah.
Akhirnya … cari masalah untuk dipecahkan. Versi paling umum yaitu apa: bersih-bersih atau beres-beres rumah … makanya yang pensiun kesibukkannya tidak jauh dari itu, jadi rajin bersih-bersih dan beres-beres perbaiki rumah, betul tidak he … he …
Ada juga yang kemudian menata ulang perabotan, atau renovasi rumah, kenapa? Karena butuh suasana baru tadi. Butuh melatih diri untuk coping situasi yang baru. Hal itu yang memang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan instingtif dan egonya.
Kalau tidak tahan-tahan amat, akhirnya apa yang dilakukan? Cari kerja lagi. Cari kesibukan lagi. Cari tantangan lagi untuk dipecahkan. Padahal sudah hidup tenang, malah jadi cari tantangan lagi. Aneh ya … he … he … tapi ya itulah manusia.
Yang muncul dalam bentuk negatif juga ya ada, yaitu yang jadinya rewel, cari-cari masalah dengan orang dekat. Karena tadi itu, kebutuhan untuk memecahkan masalahnya sedang tidak terpenuhi, maka jadinya malah cari-cari masalah.
Itulah kenapa, disadari atau tidak, manusia itu selalu butuh tantangan. Tantangan adalah satu hal yang membuat kita merasa hidup.
Karena naluri ini ada dan menjadi bagian dari diri kita, maka itulah saya katakan, “ciptakan masalah yang sepadan”.
Arti dari “ciptakan masalah” di sini yaitu kita dengan penuh kesadaran menyadari bahwa memecahkan tantangan adalah bagian dari kebutuhan alami kita sebagai manusia, maka daripada hal ini tersalurkan dengan cara yang negatif, yang tadi kita bahas sebagai “cari-cari masalah”, lebih baik naluri ini kita salurkan secara sehat, yaitu kita “menciptakan masalah yang sepadan”.
“Menciptakan masalah” di sini maksudnya adalah menciptakan suasana yang menantang diri kita sendiri, yang memaksa kita untuk kembali aktif beradaptasi dan menghadapi tantangan. Sementara arti “sepadan” maksudnya tantangan yang kita pecahkan adalah tantangan yang membangun nilai diri kita. Dengan menghadapi tantangan itu kita jadi semakin bertambah kapasitas, nilai diri kita semakin bertambah, semakin ahli, semakin luwes, semakin berpengetahuan, semakin banyak pengalaman, semakin banyak referensi.
Naluri mencari masalah akan tetap ada dalam diri kita. Sebelum naluri itu muncul dan menyebabkan masalah yang tidak sepadan, kita yang hendaknya menyalurkan naluri itu secara sehat.
Bentuknya bisa macam-macam, menciptakan suasana baru dalam keseharian, banyak bertemu orang baru, terus meningkatkan lingkaran pergaulan, mencoba hobi baru, mencoba hal baru, belajar hal baru, menetapkan target baru, memberikan diri sendiri tantangan baru untuk ditaklukkan, dan banyak lagi.
Berbagai hal baru itu tadi, ketika dialami dan dihadapi akan menimbulkan apa? Yes, rasa waspada dan fokus, bahkan mungkin kadang ada rasa waswasnya juga, karena sedang mengalami hal baru. Itu yang mengaktifkan naluri pemangsa atau predator dalam diri kita, yang sedang mendapatkan perlawanan dari apa yang kita buru.
Tapi semua itu sepadan dengan penambahan kapasitas diri yang bisa kita dapatkan. Setelah menjalani berbagai hal itu. Bertambah wawasan, bertambah network, bertambah keahlian, bertambah keluwesan, dan banyak lagi lah manfaatnya ya.
Intinya adalah, berikan tantangan untuk diri sendiri hadapi. Tantangan ini haruslah tantangan yang sepadan, yaitu tantangan yang ketika dihadapi akan memberikan nilai tambah bagi keberadaan diri kita.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.