3 Golongan Bermasalah Yang Tidak Akan Lepas Dari Masalahnya
Daftar Isi
Sebagai manusia kita memiliki naluri alami untuk ‘tidak betah’ mengalami permasalahan, hal ini juga yang memacu kita untuk berpikir dan bertindak, mengupayakan solusi untuk bisa lepas dari masalah, makin besar masalah yang dialami, makin besar juga pemikiran dan upaya dituangkan untuk bisa lepas dari masalah.
Dalam konteks terapi dan konseling, hal ini juga yang menjadikan seseorang mulai mencari solusi untuk bisa lepas dari permasalahannya.
Namun demikian dalam praktik profesional yang saya jalani saya mendapati adanya tiga jenis golongan manusia bermasalah yang justru paling sulit untuk lepas dari masalahnya, terlepas dari seberapa besar masalah yang dialaminya, bahkan mereka justru mendatangkan masalah pada orang di sekitarnya.
Ketika dalam sesi konsultasi pra-penanganan saya mendapati indikasi bahwa calon klien adalah termasuk ke dalam salah satu atau lebih dari tiga golongan ini, saya pribadi tidak akan melanjutkan prosesnya ke tahapan penanganan, semata karena penanganan jenis apa pun akan menjadi kesia-siaan bagi orang-orang golongan ini, maka lebih baik atensi dan upaya dicurahkan untuk menyadarkan mereka atas kondisinya, agar mereka bisa keluar dari kondisinya dan tidak lagi termasuk ke dalam golongan itu.
GOLONGAN PERTAMA
Golongan yang pertama adalah mereka yang bermasalah tapi tidak sadar dirinya bermasalah.
Bentuk lebih detail dari golongan ini bisa kita temukan pada orang-orang yang merasa dirinya adalah korban dari lingkungan yang dianggapnya adalah lingkungan yang bermasalah, mereka terus menyoroti perilaku orang di sekitarnya yang dirasanya bermasalah, padahal ketika ditanya pada orang-orang di sekitarnya justru merekalah yang sebenarnya menjadi sumber masalah dalam lingkungan itu dengan segala perilakunya yang egois, seenaknya sendiri dan tidak mau memahami orang lain.
Mereka menglaim bahwa dirinya adalah korban dari lingkungan yang bermasalah tapi tidak menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya menjadi sumber masalah dalam lingkungan itu!
Ciri-ciri yang khas dari orang-orang di golongan ini yaitu biasanya bersikap seenaknya, merasa benar sendiri dan orang lainlah yang salah, ingin dipahami tapi tidak ingin memahami sesama. Jangankan berubah, mau sadar saja tidak!
Saya sering menemukan fenomena ini pada orangtua yang mengeluhkan perilaku anaknya yang dianggap tidak sejalan dengan harapan mereka, namun ketika dikonfirmasi lebih jauh mereka sendiri ternyata belumlah menjalankan perannya sebagai orangtua dengan baik, masih ada begitu banyak kelalaian dan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan, yang justru mereka lakukan dan mereka tidak mau introspeksi diri, yang ada mereka malah bersikeras menyalahkan anak yang dianggapnya tidak bisa memenuhi harapan mereka.
Ingin kondisi ideal tapi tidak ingin berusaha, tidak ingin berubah dan inginnya orang lainlah yang harus berubah mengikuti harapan mereka, itulah kalimat yang mewakili orang-orang di golongan ini.
Apa yang saya lakukan jika bertemu dengan orang jenis ini yang ingin menjadi klien? Pertama-tama saya akan dengan baik-baik memohon ijin untuk menjelaskan kompleksitas situasi yang mereka hadapi, apa peran mereka di dalam permasalahan yang dihadapinya.
Jika mereka bisa menerima dan ‘tersadarkan’ maka barulah saya menyepakati jenis bantuan yang bisa saya berikan untuk menyikapi permasalahannya dan apa peran-serta mereka yang harus dilakukan untuk turut menyikapi permasalahan.
Tapi jika di tahap ini saja mereka sudah ‘ngeyel’ dan malah bersikeras bahwa orang lainlah yang harus berubah demi memenuhi harapan mereka maka saya akan jelas dan tegas menolak atau menyatakan ketidakmampuan saya membantu mereka, karena percuma saja, jika dibantu dan tidak terselesaikan pun mereka akan selalu mencari orang untuk disalahkan demi menghindarkan diri menjadi ‘orang yang salah’ dalam situasinya.
GOLONGAN KEDUA
Berikutnya, golongan kedua dari mereka yang bermasalah dan tidak akan bisa lepas dari masalahnya, yaitu: mereka yang bermasalah tapi menikmati masalahnya.
Menikmati masalah? Gila apa? Memang ada orang seperti itu? Begitu sebagian orang mungkin berpikir.
Tenang dulu, orang seperti itu memang ada dan mereka tidaklah gila, mereka hanya tidak sadar akan kondisinya, karena sedemikian menikmatinya.
Begini saja, pernahkah Anda melihat orang yang hobinya adalah curhat kesana-kemari mengisahkan masalahnya? Anehnya, selalu ada saja kisah penderitaan baru yang mereka bawa setiap waktunya.
Inilah salah satu ciri dari mereka yang bermasalah tapi menikmati masalahnya.
Mereka mengobral begitu banyak kisah penderitaan pada orang-orang yang mereka temui tapi sebenarnya mereka tidak mencari solusi, mereka hanya ingin dikasihani dan dipandang sebagai pribadi yang malang.
Sering kali orang-orang jenis ini ketika diberikan solusi hanya sebatas mengiyakan tapi tidak melakukan yang disampaikan pada mereka, atau mereka justru malah marah dan mengatakan “Kamu tidak tahu yang aku rasakan!”
Mengapa demikian? Karena sekali lagi, mereka memang tidak mencari solusi, mereka sedang mencari ‘panggung’ untuk bisa menempatkan dirinya sebagai orang yang malang di ‘panggung penderitaan’-nya, yang ingin mereka dapatkan adalah pembenaran dan simpati dari pendengarnya, jika pendengarnya mengiyakan dan menunjukkan simpati maka disitulah mereka puas, tapi jika pendengarnya tidak memperdulikan kisah penderitaannya dan malah memberikan solusi maka mereka akan merasa ‘ada yang kurang’, mereka tidak mendapatkan ‘panggung peran penderita’ yang mereka inginkan, bukan itu yang mereka cari, maka mereka akan sekedar mengiyakan tapi tidak menjalankan apa yang diberikan, atau malah marah karena merasa tidak dipahami.
Amati saja social media sekarang ini, seberapa sering Anda melihat orang-orang yang menuliskan sumpah-serapahnya di statusnya pada orang yang dianggap bermasalah dengannya? Anehnya, jika dilihat lebih jauh orang-orang yang bermasalah dengannya itu sebenarnya tidak ada di jaringan pertemanannya, jadi untuk siapa pesan itu ditujukan jika sampai ke pihak yang berkepentingan saja tidak?
Memang mereka tidak menujukan sumpah-serapah itu pada orang yang dianggap bermasalah dengan mereka, mereka hanya mencari perhatian dari orang-orang yang melihat statusnya, ketika ada yang melihat dan bertanya “Kenapa?” atau “Ada apa?” maka saat itulah mereka semakin berhasil menarik perhatian orang-orang dan mendapatkan ‘pembenaran’ di posisinya bahwa mereka adalah sosok yang malang dan menjadi korban dari situasinya.
Berhadapan dengan orang-orang seperti ini membutuhkan kesadaran ekstra untuk bisa mengetahui apakah mereka memang ‘sudah sedemikian parahnya’ berada di kondisinya.
Mengapa saya katakan ‘sudah sedemikian parahnya’? Karena sebagai manusia wajar adanya jika kita memiliki kebutuhan untuk bercerita pada orang lain ketika ada masalah, hal ini sangat manusiawi adanya.
Ketika ada seseorang yang bercerita pada kita mengenai masalahnya, belum tentu ia termasuk ke dalam golongan kedua ini, bisa jadi memang ia membutuhkan pertolongan, karena saat itu beban emosi yang dirasakannya sudah sedemikian menumpuk, maka saat itu wajar dan sangat baik adanya kita memberikan pertolongan dengan menjadi pendengar yang baik, syukur-syukur jika kita memiliki kemampuan untuk membantu membereskan masalahnya.
Mereka yang memiliki kesadaran diri yang ideal sekali pun selalu memerlukan waktu untuk mencurahkan beban emosinya di saat-saat tertentu, namun bedanya adalah ketika beban itu sudah tercurahkan mereka akan kembali ke kesadaran idealnya, mereka pun kembali fokus pada solusi, mereka siap menjalankan arahan positif yang diterimanya karena memang itulah yang mereka cari untuk bisa menyelesaikan masalahnya.
Beda ceritanya kalau yang mengisahkan masalahnya adalah pribadi berkesadaran rendah golongan kedua tadi, meskipun sudah mengisahkan beban emosinya mereka tidak lantas fokus pada solusi dan tidak bisa menerima arahan, karena memang bukan itu yang mereka cari, mendapatkan solusi dan masukkan justru merusak panggung penderitaan yang mereka sedang ciptakan untuk menempatkan dirinya sebagai sosok yang malang di kisah yang dialaminya.
Pribadi berkesadaran tinggi akan fokus pada solusi dan siap melakukan tindakan nyata, terlepas dari seberapa banyak pun masalah yang dihadapinya ia selalu siap menerima masukkan untuk bisa menyelesaikan situasi yang dihadapinya.
Sementara pribadi berkesadaran rendah hanya akan fokus pada kisah kemalangan, mereka datang dengan berbagai kisah kemalangan berbeda tanpa kejelasan, apakah masalah sebelumnya sudah teratasi atau belum, setelah mendengar kisahnya pun kita menjadi ikut lelah karenanya.
Bagaimana menyikapi orang seperti ini? Sebetulnya semua kembali pada pilihan Anda, namun sadarilah satu hal: menghadapi orang seperti ini menyita energi psikis yang tidak sedikit. Jika Anda memang memiliki energi psikis yang banyak dan berlimpah dan ingin meluangkan waktu untuk mendengarkan kisah mereka silakan saja, namun jika tidak, lebih baik buat keputusan tegas, hal ini karena kita tidak bisa menolong orang yang tidak ingin menolong dirinya sendiri.
Jika bisa menghindari situasi dan orang seperti ini, hindari saja, namun kalau pun tidak bisa dan Anda terlanjur ‘terjebak’ berada di situasi tertentu bersama mereka, jadilah saja pendengar yang solutif, tunjukkan perhatian namun selalu arahkan mereka pada solusi secara tegas, lama-lama mereka akan jengah sendiri karena tidak mendapatkan yang diinginkannya bersama Anda dan lama-lama mereka akan berhenti sendiri mencari Anda.
GOLONGAN KETIGA
Waktunya mengulas golongan yang ketiga, yang satu ini adalah golongan yang unik, yaitu mereka yang bermasalah tapi bangga akan masalahnya.
Lebih luar biasa lagi bukan? Bagaimana mungkin ada orang seperti ini?
Sekali lagi: ADA, manusia itu unik, begitu juga manusia unik yang jenis golongan seperti ini, ada dan memang bisa kita temukan juga di sekitar kita.
Golongan ketiga ini adalah golongan kedua yang sudah ‘berevolusi’, mereka cukup naik kelas dengan menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat dalam menghadapi masalahnya, namun tetap saja mereka tidak menjadi pribadi solutif, mereka masih memiliki hobi yang sama, yaitu mengisahkan masalahnya kemana-mana, bedanya adalah dalam mode yang lebih ‘tegar’, semata agar orang lain menilai mereka sebagai pribadi yang kuat dan tegar.
Golongan ketiga ini agak memprihatinkan, karena ada bonus tambahan yang menyertai mereka, yaitu sifat ‘sok tahu’ atau ‘sok bisa’, ketika diberikan solusi atau arahan mereka selalu menunjukkan kecenderungan bahwa mereka sudah menjalankan solusi yang diberikan, meski dalam kenyataannya belumlah demikian adanya.
Semua itu lagi-lagi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pribadi ‘di atas rata-rata’ dengan tingkat permasalahan yang lebih tinggi di atas orang kebanyakan dan ternyata mereka kuat melaluinya.
Ketika golongan ketiga ini terlihat mencari solusi, sebenarnya mereka bukan sedang mencari solusi, mereka sekedar ingin menunjukkan pada orang lain bahwa masalah yang mereka alami sedemikian beratnya dan solusi yang diberikan tidak akan mampu mengatasi masalah mereka karena sedemikian beratnya.
Dalam dunia terapi dan konseling, hal ini sering kita temukan pada diri klien yang sudah melakukan ‘safari terapi’ kemana-mana tapi tidak menemukan solusi, dalam hal ini sering kali yang terjadi adalah mereka sudah mencari solusi ke para ahli yang kompeten di bidangnya dan mereka sudah mendapatkan solusi itu, namun pola pikir merekalah yang menghalangi mereka untuk menjalankan solusi itu, karena sekali lagi, bukan itu yang mereka cari.
Perjalanan mereka menemui banyak praktisi sebenarnya hanya untuk membuktikan bahwa masalah mereka sedemikian beratnya, sampai para praktisi yang ahli dengan kaliber yang luar biasa pun tidak mampu membantu mengatasi masalah mereka.
Dengan kata lain: mereka tidak mencari solusi, mereka sedang ingin membuktikan bahwa mereka ‘tidak bisa dibantu’, lagi-lagi untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah pribadi yang kuat, lebih kuat dari orang kebanyakan.
Masalahnya adalah: semakin lama orang di golongan ketiga ini terjebak dengan masalahnya mereka akan semakin terjebak di kondisi yang memprihatinkan, mereka mungkin tidak suka masalah, tapi masalah jadi menyukai mereka!
Lalu bagaimana menyikapi pribadi golongan ketiga ini? Dibandingkan dengan dua golongan sebelumnya, golongan ketiga ini masihlah lebih baik, paling tidak mereka memiliki daya tahan untuk menghadapi masalahnya, mereka hanya terjebak di ego yang memerlukan pengakuan bahwa mereka adalah ‘pribadi kuat’.
Mereka yang berada di golongan ketiga ini masih bisa ‘diselamatkan’ dengan cara ‘diberi makan’ egonya, yaitu alih-alih memberikan solusi justru pancing mereka dengan pertanyaan dan stimulus yang membuat mereka merasa menemukan solusinya dari dalam diri mereka sendiri.
Karena mereka dasarnya mencari pengakuan, ketika mereka merasa menemukan solusinya dari dalam diri mereka sendiri maka mereka jadi bisa mengakui dirinya sendiri, ini sudah akan lebih memberikan mereka perkembangan dibandingkan hanya mencari-cari alasan untuk meyakinkan diri bahwa mereka kuat menghadapi masalah, kita memfasilitasi perubahan cara berpikir dari yang ‘kuat menghadapi masalah’, menjadi yang ‘kuat menyelesaikan masalah’.
BAHAN RENUNGAN
Mari renungkan ke diri kita sendiri, adakah salah satu atau lebih kebiasaan kita yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan itu? Adakah salah satu atau lebih kebiasaan orang di sekitar kita yang termasuk ke dalam tiga golongan itu?
Jika kita termasuk ke dalamnya, maka cepat-cepatlah tingkatkan kesadaran, lakukan perubahan pola pikir agar kita keluar dari golongan tersebut.
Jika orang di sekitar kita termasuk ke dalamnya, maka cepat-cepat jugalah tingkatkan kesadaran, putuskan apakah kita akan memilih meladeni mereka atau menghindari mereka, jika tidak memungkinkan untuk menghindari mereka dan kita harus meladeni mereka, maka pastikan kita memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi agar tidak terseret ke dalam zona mereka.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi, konseling atau coaching? Memerlukan layanan hipnoterapi, konseling atau coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi, konseling atau coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.