5 Penyebab Gagalnya Induksi Hipnotik
Daftar Isi
Keahlian melakukan “induksi hipnotik” atau dalam Bahasa Inggrisnya “hypnotic induction” adalah satu kompetensi dasar yang perlu dikuasai setiap hipnoterapis dalam menjalankan praktik hipnoterapi.
Sebagai proses terapi yang melibatkan hipnosis (Royal College of Psychiatrist, n.d), prosesi terapi dalam hipnoterapi dilakukan dalam kondisi hipnosis, yang dalam konteks ini bisa secara sederhana diartikan sebagai “kondisi dimana seseorang mengalami peningkatan fokus yang menjadikan pikiran bawah sadar lebih mudah menerima sugesti” (Goldberg, 1997; Kappas, 2001).
Dalam hipnoterapi, pikiran bawah sadar dipandang sebagai level kesadaran dimana berbagai “program” yang melatari respon pemikiran, perasaan dan perilaku kita berada (Bernheim, 1886; Kappas, 2001). Disinilah—dalam konteks terapi—kondisi hipnosis, yang juga lazim dikenal sebagai kondisi trance, menjadi “pintu” bagi hipnoterapis untuk bisa memfasilitasi perubahan pada program yang ada di pikiran bawah sadar klien—sesuai dengan kebutuhan dan harapan klien—agar mereka bisa lepas dari permasalahan lamanya dan mewujudkan kondisi ideal yang mereka harapkan.
Induksi hipnotik (untuk seterusnya akan ditulis sebagai “induksi”) adalah prosedur yang dilakukan untuk menciptakan kondisi hipnosis (Society of Psychological Hypnosis, n.d). Dengan menggunakan proses induksilah seorang hipnoterapis memandu kliennya untuk bisa berpindah kesadaran dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar, sebelum kemudian memfasilitasi perubahan pada program yang ada di pikiran bawah sadar di sesi terapi yang dibersamainya.
Namun demikian, prosesi induksi sendiri ada kalanya menjadi satu hal yang “menantang” bagi beberapa hipnoterapis, terutama bagi mereka yang masih pemula. Kesulitan untuk memfasilitasi proses induksi ini dengan baiklah yang kelak menjadi awal permasalahan dalam memfasilitasi sesi hipnoterapi secara efektif bagi para klien karena pikiran bawah sadar tidak terakses optimal dalam sesi terapi
Tulisan ini dibuat untuk mengulas lima hal dari pembelajaran dan pengalaman saya pribadi yang saya dapati kerap kali menjadikan proses induksi hipnotik gagal dilakukan oleh hipnoterapis pada klien. Harapannya adalah dengan memahami hal-hal yang dibahas dalam tulisan ini seorang hpnoterapis lebih bisa mempersiapkan dan memfasilitasi jalannya prosesi induksi dengan lebih efektif.
Sekilas Induksi Hipnotik
Terdapat beberapa definisi atas induksi, namun satu yang boleh dikatakan cukup representatif dalam konteks tulisan ini adalah definisi yang diutarakan oleh Elman (1964), yang menyoroti induksi sebagai proses untuk menciptakan kondisi hipnosis “secara sengaja”.
Bagaimana pun juga hipnosis adalah sebuah kondisi kesadaran yang bersifat alami (Hillgard, 1977) yang menjadikan dalam keseharian yang kita alami, akan selalu ada kondisi dimana kita mengalami kondisi hipnosis secara tidak disengaja, baik karena satu dan lain hal. Disinilah Induksi menjadi proses yang ditujukan agar kondisi hipnosis tercipta secara sengaja.
Terdapat ragam teknik yang digunakan untuk memfasilitasi proses induksi dimana ragam teknik itu pada umumnya melibatkan sugesti verbal, relaksasi fisik dan pengarahan fokus spesifik (American Psychological Association, n.d).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada kalanya induksi menjadi proses yang menantang bagi beberapa hipnoterapis, terutama bagi mereka yang masih pemula. Tidak jarang hipnoterapis pemula mencoba mempraktikkan induksi namun justru berakhir dengan kegagalan. Jika fenomena ini tidak dipahami dan disikapi dengan baik maka hanya soal waktu sebelum hipnoterapis yang kerap gagal melakukan induksi ini kemudian menyerah dan meninggalkan hipnoterapi.
Dari pembelajaran dan pengalaman saya selama ini mempraktikkan hipnoterapi, saya mengkategorikan lima penyebab utama yang menjadikan induksi gagal.
Penyebab Pertama, Kompetensi dan Kepercayaan Diri Hipnoterapis
Satu penyebab utama yang saya pertama-tama soroti adalah kompetensi dari hipnoterapis sendiri yang memang belum memadai dalam memahami dan mempraktikkan hipnosis, yang bersumber dari proses pembelajaran yang sama tidak memadainya.
Masih berhubungan dengan hipnoterapis sebagai penyebab utama dari gagalnya teknik induksi, saya mendapati faktor “kepercayaan diri” hipnoterapis juga termasuk faktor yang sering menjadi biang kerok dari gagalnya proses induksi.
Bisa saja sebetulnya hipnoterapis memiliki pengetahuan dan kompetensi yang baik, masalahnya adalah karena ia tidak percaya diri dalam melaksanakan prosesnya maka jalannya proses induksi pun jadi terpengaruh efektivitasnya. Rasa ragu atau tidak percaya diri yang hipnoterapis rasakan terproyeksikan pada klien yang jadinya ikut merasa ragu atau malah jadi mengkritisi proses yang sedang ia jalani. Alhasil kondisi hipnosis yang dituju tidak bisa tercipta dengan ideal.
Penyebab Kedua, Klien Merasa Takut
Rasa takut dalam diri klien terhadap proses hipnosis menjadi faktor kedua. Saya mendapati klien sering kali membawa dua ketakutan mendasar dalam menjalani sesi hipnoterapi.
Pertama, ketakutan yang bersumber dari anggapan yang salah (miskonsepsi) tentang hipnosis. Misalnya klien takut nanti “tidak bisa bangun lagi dari kondisi hipnosis”, atau “takut kalau nantinya jadi kehilangan kendali diri”, dan berbagai ketakutan-ketakutan lainnya.
Kedua, klien takut (lebih tepatnya: tidak percaya atau ragu) pada hipnoterapis. Dalam hal ini klien tidak bisa sepenuhnya merasa aman bersama hipnoterapis. Bisa dalam bentuk takut kisah terapinya dibocorkan ke publik, atau ketakutan lain yang intinya tertuju pada hipnoterapis.
Ketika klien menjalani proses induksi dengan memendam ketakutan, bagian amygdala otaknya menjadi aktif secara berlebih (Barber, 1969) yang menjadikan mereka sulit rileks. Aktifnya amigdala secara berlebih ini juga kelak mengganggu cara kerja prefrontak korteks dalam memproses sugesti (Barber, 1969; Dienes & Hutton, 2013), sehingga klien tidak bisa sepenuhnya fokus pada jalannya proses induksi.
Penyebab Ketiga, Klien Merasa “Penasaran/Berharap-harap”
Berbeda dengan klien yang merasa takut, klien yang merasa “penasaran” pada jalannya hipnosis pun tidak jarang malah jadi memberikan kendala tersendiri.
Klien jenis ini tidaklah merasa takut pada proses hipnosis. Mereka bahkan tidak jarang justru “berharap-harap” ingin bisa memasuki kondisi hipnosis. Satu ungkapan yang saya sering dengar dari klien jenis ini adala “Penasaran, seperti apa rasanya dihipnosis”.
Meski klien jenis ini “menginginkan” dan “mengijinkan” dirinya dipandu untuk memasuki kondisi hipnosis, rasa penasarannya justru bisa jadi mengganggu. Ketika memproses sugesti, terjadi fenomena dimana mereka malah jadi “mengamat-ngamati” atau “merasa-rasai” pengalamannya sendiri (Duval, & Wicklund, 1972). Dengan kata lain, mereka tidak sepenuhnya fokus pada sugesti, melainkan sibuk sendiri dengan pertanyaan dalam diri mereka yang seolah bertanya, “Ini sebetulnya sudah trance apa belum?” (Festinger, 1957).
Penyebab Keempat, Segel Hipnotik (Hypnotic Seal)
Meski relatif jarang terjadi, ada kalanya hal ini tetap muncul dalam sesi terapi, yaitu klien yang mengalami “segel hipnotik”.
Segel hipnotik artinya kondisi dimana klien seolah “disegel” (sealed) oleh praktisi lain (hipnoterapis lain), yang “menanamkan” sugesti bahwa klien tidak akan bisa memasuki kondisi hipnosis selain bersamanya (Hunter, 2000). Sugesti yang ditanamkan ini menjadi sebuah “program” yang menghambat. Ketika klien menjalani sesi hipnosis bersama praktisi lain maka program ini “aktif” dan menjadikan klien tidak bisa memasuki kondisi hipnosis.
Penggunaan segel hipnotik dalam dunia hipnoterapi dianggap sebagai tindakan yang tabu atau tidak pantas. Hal ini karena klien yang jadi mengalami kesulitan karena ia tidak bisa memasuki kondisi hipnosis ketika diperlukan untuk menjalani proses terapi.
Terdapat beberapa ciri yang menandakan adanya segel hipnotik. Saya sendiri jujur saja dulu pernah kerepotan ketika menemui fenomena ini, karena klien tidak kunjung bisa dipandu memasuki kondisi hipnosis. Namun demikian, saya mencermati ada ciri yang muncul dalam prosesi induksi, yang menyiratkan adanya keberadaan segel hipnotik. Fenomena inilah yang kemudian saya pastikan lebih jauh, sampai didapat kejelasan bahwa memang ada segel hipnotik dalam diri klien ini. Pada akhirnya berbekal kecermatan dan kreativitas jugalah segel hipnotik itu bisa dinetralkan dan klien pun baru bisa dipandu memasuki kondisi hipnosis.
Penyebab Kelima, Resistensi Pikiran Bawah Sadar (Secondary Gain)
Peyebab kelima dan terakhir, yaitu karena adanya penolakan (resistensi) dari pikiran bawah sadar.
Resistensi dalam hal ini bukanlah yang dilatari oleh rasa takut pada proses hipnosis seperti pada faktor kedua sebelumnya di atas, melainkan karena pikiran bawah sadar memiliki “logikanya” sendiri atas situasi yang klien alami. Meski klien merasa terganggu dengan masalahnya, namun bagi pikiran bawah sadar masalah klien memiliki muatan positif yang membawa manfaat. Hal inilah yang kelak dikenal sebagai secondary gain atau “perolehan sekunder” (Hunter, 2000).
Dalam kasus secondary gain, pikiran bawah sadar pada dasarnya tidak menghendaki perubahan. Hal ini karena pikiran bawah sadar menganggap perubahan akan menyebabkan manfaat yang selama ini dinikmati—yang menyertai masalah—jadi hilang, dan hal itu dianggap sebagai sebuah kerugian. Maka demi menghindari fenomena inilah pikiran bawah sadar memunculkan banyak hambatan, salah satunya yaitu kesulitan untuk memasuki kondisi hipnosis.
Solusi Menyikapi Faktor Penyebab Gagalnya Induksi
Membicarakan kelima faktor di atas tadi dan memahaminya sebetulnya secara tidak langsung sudah menjelaskan apa yang menjadi solusi untuk mengantisipasi agar proses induksi berjalan efektif dan membawa hasil yang diharapkan, yaitu:
- Hipnoterapis yang memfasilitasi proses induksi hendaknya memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai seputar hipnosis-hipnoterapi, yang diertai kepercayaan diri yang baik.
- Hipnoterapis perlu mengedukasi klien perihal miskonsepsi hipnosis dan hipnoterapi, sampai klien merasa yakin bahwa hipnosis adalah proses yang aman dan bermanfaat baginya.
- Hipnoterapis perlu menampilkan citra profesional yang baik, yang membuat klien merasa aman dan percaya padanya.
- Hipnoterapis perlu membangun ekspektasi yang sehat dalam diri klien tentang kondisi hipnosis, bahwa yang menjadi tujuan utama dari proses hipnoterapi adalah “penanganan masalah”, bukan “memuaskan rasa penasaran akan kondisi trance”.
- Hipnoterapis perlu mengenali dan memahami cara menyikapi segel hipnotik.
- Hipnoterapis perlu mengendali dan mengantiipasi potensi secondary gain. Jika hipnoterapis mendapati ada ciri secondary gain di balik permasalahan klien maka ia perlu menyiapkan strategi penanganan untuk menyikapinya agar hal itu tidak jadi menghambat jalannya penanganan dan menghambat klien untuk menjalani proses induksi.
Referensi
American Psychological Association. (n.d.). Hypnotic induction. APA Dictionary of Psychology. https://dictionary.apa.org/hypnotic-induction
Barber, T. X. (1969). Hypnosis: A scientific approach. Van Nostrand Reinhold.
Bernheim, H. (1886). De la suggestion et de ses applications à la thérapeutique [On suggestion and its therapeutic applications]. Doin.
Dienes, Z., & Hutton, S. (2013). Understanding hypnosis metacognitively: rTMS applied to left DLPFC increases hypnotic suggestibility. Cortex, 49(2), 386–392.
Duval, S., & Wicklund, R. A. (1972). A theory of objective self-awareness. Academic Press.
Elman, D. (1964). Hypnotherapy. Westwood Publishing.
Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.
Goldberg, B. (1997). Self-Hypnosis: Easy Ways to Hypnotize Your Problems Away. Llewellyn Publications.
Hilgard, E. R. (1977). Divided consciousness: Multiple controls in human thought and action. Wiley.
Hunter, R. (2000). The Art of Hypnotherapy, 2nd Edition. Kendall Hunt Pub Co.
Kappas, J. (2001). Professional Hypnotism Manual. Panorama Publishing.
Royal College of Psychiatrist. (n.d). Hypnosis and hypnotherapy. https://www.rcpsych.ac.uk/mental-health/treatments-and-wellbeing/hypnosis-and-hypnotherapy
Society of Psychological Hypnosis. (n.d). About the Society of Psychological Hypnosis. https://www.apadivisions.org/division-30/about