Episode 98 – Memaafkan Yang Membuka Pintu Kemakmuran
Masih menyoroti tema seputar “maaf-memaafkan” yang kerap mewarnai fenomena hari raya Idul Fitri di Indonesia, jika di bahasan-bahasan terdahulu saya pernah membahas tentang hal-hal teknis seputar kenapa sulit untuk bisa memaafkan dan bagaimana agar bisa, kali ini saya menyoroti pentingnya memaafkan secara ilustratif dengan menggunakan metafora “proses ekskresi tubuh”.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh delapan Life Restoration Podcast berjudul ‘Memaafkan Yang Membuka Pintu Kemakmuran’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Memaafkan Yang Membuka Pintu Kemakmuran
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh celapan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada … kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, seperti biasa, di Life Restoration Podcast, episode 98 kali ini.
Mengawali episode kali ini, pertama-tama tentunya seperti biasa juga, saya ingin memulainya terlebih dulu dengan memanjatkan doa terbaik untuk Anda sekalian, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Berikutnya, bertepatan dengan momen hari raya Idul Fitri tahun 2025 yang baru saja berlangsung minggu lalu, saya juga dari dasar hati yang paling dalam mengucapkan selamat merayakan hari raya Idul Fitri bagi Anda sekalian yang merayakannya. Semoga semua kebaikan yang dicurahkan sepanjang menjalankan ibadah puasa menjadi berkah terbaik bagi Anda sekalian dan mereka yang Anda kasihi.
Nah, bertepatan hari raya Idul Fitri, apa kira-kira topik yang pas untuk kita bahas di episode yang juga menjadi 3 dari episode terakhir ini?
Lho, “3 episode terakhir?” Mungkin ada yang malah bertanya seperti itu. Ya hal ini sebetulnya sudah pernah saya bahas di episode-episode sebelumnya.
Sederhananya begini, Life Restoration Podcast menjadi salah satu playlist di Youtube Channel saya.
Saya pribadi, menetapkan sebuah standar bahwa setiap playlist di Youtube Channel saya akan terdiri dari 100 video maksimal. Setelah mencapai 100 video maka playlist itu akan saya akhiri.
Tidak ada alasan khusus sebetulnya. Lebih kepada alasan pengorganisiran konten saja. Paling tidak 100 episode bagi saya menjadi penanda bahwa saya sudah cukup produktif menuangkan ide di segmen tertentu. Sesudahnya ya bukan kemudian berhenti, tapi saya pindah ke segmen lain, membuat playlist baru lagi dengan karakteristik baru.
Begitulah, kalau Anda mengunjungi setiap playlist yang ada di Youtube Channel saya, sangat mungkin Anda akan bisa mencermati bahwa setiap playlist punya karakteristiknya masing-masing. Hal itu memang sengaja saya lakukan agar saya lebih mudah mengorganisir ide yang saya tuangkan sebagai karya.
Maka, kalau playlist Life Restoration Podcast ini sudah penuh berisikan 100 video maka saya akan tutup dulu playlist-nya, lalu siapkan playlist baru. Apa kira-kira jenis playlist-nya? Ya … saat ini masih rahasia dulu lah ya, tapi sedikit bocoran saja, kurang lebih ada persamaan dengan playlist sekarang, yaitu sama-sama berbasis audio podcast.
Audio podcast bagi saya memang memberikan satu kepuasan tersendiri. Ada upaya optimal yang perlu dituangkan untuk menjelaskan satu pemikiran hanya dalam bentuk suara. Berbeda dengan video yang bisa dibantu dengan bahasa tubuh, ekspresi visual, atau pun grafis visual lain yang bisa membantu penyampaian pesan. Maka, yang satu ini bagi saya lebih menantang, di setiap episodenya ada sebuah tantangan bagi saya untuk bisa menterjemahkan sebuah pemikiran, sebuah ide, menjadi sebuah penjelasan yang harapannya melalui penjelasan saja, inti dari pemikiran itu bisa sampai pada pendengarnya.
Tidak mudah kan? Ya memang, justru itu yang menjadikan saya tetap memilih audio podcast ini sebagai media berkarya, karena bagaimana pun juga dengan audio podcast ini saya tertantang dan terlatih untuk terus membiasakan diri menuangkan ide secara terstruktur.
Oke … oke … kembali dulu ke topik yang tadi sempat kita bahas ya, yaitu tema episode kali ini, yang bertepatan dengan momentum hari raya Idul Fitri. Agak-agaknya Anda juga sudah bisa menebak lah ya. Apalagi di judul episode kali ini juga sudah sedikit banyak bisa ditebak kemana arahnya, yaitu seputar “maaf memaafkan”.
Temanya mungkin sederhana, yaitu seputar memaafkan. Tapi di balik bahasan sederhana ini tersimpan kedalaman yang bagi saya tidak bisa dianggap remeh.
Ngomong-ngomong, bahasan ini juga berhubungan dengan yang pernah saya tulis di buku saya yang beredar tahun kemarin, yaitu “The Transformational Forgiveness”. Kalau Anda merasa ingin mendapatkan bahasan lebih lengkapnya bisa menemukannya di buku tersebut ya. Selain itu, topik seputar memaafkan ini juga pernah saya bahas teknisnya di episode-episode awal Life Restoration Podcast ini. Kalau dulu saya membahas secara lebih teknisnya, yaitu apa yang menjadikan kita sulit untuk bisa memaafkan, dan bagaimana agar bisa. Kalau memang topik yang satu ini cukup mengundang ketertarikan Anda, maka saya persilakan untuk Anda menemukan bahasannya nanti di podcast ini ya, ingat, di episiode-episode awal, kurang lebih di tahun 2021 lah.Jadi di episode kali ini saya bisa fokus pada bahasan yang lebih esensial sesuai judul dari episode kali ini, yaitu “memaafkan yang membuka pintu kemakmuran”.
Baiklah, kita lanjut dulu. Dari banyak keahlian dalam berkehidupan, atau yang biasa disebut life skill, saya akan menyatakan bahwa “memaafkan” adalah satu keahlian yang sering kali terlupakan. Ironisnya, keahlian yang satu ini yang sebenarnya sangat berhubungan dengan kualitas hidup yang kita jalani. Prinsip sederhananya begini, semakin keahlian ini terasah dengan baik maka semakin baik juga kualitas hidup yang kita jalani. Begitu juga sebaliknya, semakin keahlian ini tidak dikuasai, maka semakin buruk juga kemungkinannya kualitas hidup yang kita jalani.
Kenapa begitu? Karena memaafkan adalah satu hal yang mempengaruhi ringan atau beratnya hidup yang kita jalani, atau lebih tepatnya: cara kita menjalani hidup ini.
Membicarakan “ringan”, untuk memudahkan cara pandang atas pentingnya memaafkan ini, saya biasa menggunakan satu ilustrasi yang agak nyeleneh. Ya memang kadang yang nyeleneh-nyeleneh begini diperlukan juga untuk membantu kita memahami sesuatu dengan lebih baik he … he …
Ilustrasinya begini. Sebagai manusia kita hidup dengan adanya kebutuhan biologis untuk kita penuhi, salah satunya yaitu “makan”, betul?
Kebutuhan biologis ini ada dalam diri kita dengan disertai adanya mekanisme yang mengaturnya. Salah satu sifat dari mekanisme ini yaitu “mengalir”. Artinya, apa-apa yang kita alami, ia haruslah “mengalir”.
Kalau kita hubungkan dengan “makan” yang kita bicarakan tadi, seperti apa bentuk dari “mengalir” ini? Sederhananya begini, kalau kita hanya makan dan makan saja, tapi tidak ada yang dikeluarkan, kira-kira akan bagaimana? Yes, pastinya “sakit” kan.
Maka itulah bersama mekanisme makan yang fungsinya adalah “memasukkan” atau mengalirkan energi ke dalam diri kita, ada juga mekanisme untuk “mengeluarkan” lagi energi itu ke luar diri kita, yang disebut dengan proses “ekskresi”. Bentuk sederhana dari ekskresi ini yaitu “buang air”.
Nah makanya tadi saya bilang ilustrasinya agak nyeleneh kan he … he .. membicarakan memaafkan kok malah jadi nyambungnya ke ilustrasi “buang air”. Ya semoga saja dengan unik atau nyeleneh-nya ilustrasi ini, lebih mudah juga kita memahami dan mengingatnya ya he … he …
Oke kita lanjut ya. Sekarang kalau kita makan tapi tidak melalui proses ekskresi, atau buang air tadi, maka berbagai jenis asupan yang ada dalam diri kita itu akan membusuk di dalam, dan bisa-bisa malah jadi penyakit. Itu pun dengan catatan yang dimakan adalah makanan yang normal atau wajar. Sekarang bagaimana kalau ada tambahan skenario yang membuatnya jadi lebih rumit, yaitu kalau ternyata makanan yang kita makan adalah jenis makanan yang bernilai gizi buruk, atau amit-amit-nya: beracun, atau ada virusnya? Pastinya lebih rumit lagi kan.
Tubuh kita punya mekanisme alami untuk menolak hal-hal yang tidak seharusnya masuk ke dalam diri kita, atau yang membahayakan, yaitu “memberontak”. Maka itulah kalau kita memakan sesuatu yang tidak seharusnya, yang beracun contohnya, akan muncul reaksi, entah itu sakit perut, atau sakit-sakit yang lainnya. Berbagai reaksi itu muncul karena tubuh kita dimasuki oleh hal-hal yang tubuh kita tahu tidak baik, dan tubuh kita bereaksi agar racun yang tidak seharusnya masuk itu keluar lagi dari diri kita.
Proses pengeluaran racun ini sendiri bisa beragam durasinya, dari mulai yang sebentar, sampai ke yang lama. Di sepanjang pemrosesan ini kita juga pasti merasakan ketidaknyamanan. Baru kemudian setelah pemrosesan ini selesai tubuh kita berangsur-angsur kembali ke kondisi normalnya.
Kalau racun itu sudah keluar sepenuhnya maka puji syukur, setelah lemas atau mengalami penurunan kondisi fisik kita biasanya berangsur-angsur kembali bisa beraktivitas seperti biasa. Yang jadi masalah dan justru berbahaya adalah kalau ternyata racun itu belum sepenuhnya keluar, tapi tubuh kita memang tidak berdaya mengeluarkan racun itu, entah karena sebab apa pun. Alhasil racun itu terus tersimpan dalam tubuh kita. Dalam perkembangannya kita mungkin tetap bisa beraktivitas normal seperti biasa kemudian, dan nampaknya tidak ada yang salah dengan diri kita, di permukaan segala-sesuatunya nampak baik-baik saja. Tanpa kita ketahui, racun yang tersimpan dalam diri kita terus saja bekerja secara perlahan, mempengaruhi cara kerja tubuh kita, tidak sebaik yang seharusnya, atau di skala yang lebih buruk: merusak secara perlahan.
Memaafkan adalah proses yang dalam ilustrasi tadi serupa dengan melepaskan atau proses ekskresi ketika tubuh kita dimasuki racun.
Dalam keseharian yang kita jalani, ada berbagai pengalaman yang kita lalui dalam hidup. Berbagai pengalaman itu kita alami dan memorinya menjadi sebuah “rekaman energi” dalam diri kita. Jika pengalaman yang kita alami menyenangkan maka ia menjadi rekaman energi positif dalam diri kita, ia menjadi energi yang bersifat positif dan menguatkan. Kalau diibaratkan makan maka kita makan makanan yang bergizi tinggi dan gizi itu bisa diserap dengan baik oleh tubuh kita untuk digunakan beraktivitas.
Apa pun pengalaman yang kita lalui, kehidupan terus berjalan ke masa depan, maka apa pun yang kita alami, ia kemudian mengalir ke belakang, menjadi bagian dari masa lalu kita. Ini yang diibaratkan proses eksresi tadi. Kita menyerap, memproses dan mengalirkan apa-apa yang masuk melalui diri kita agar kembali keluar dari diri kita.
Sebaliknya, jika pengalaman yang kita alami tidak menyenangkan, menyakitkan, atau bahkan membahayakan dan mengancam, maka ia menjadi rekaman energi negatif dalam diri kita. Kalau dalam ilustrasi makan sebelumnya tadi, ia tidak ubahnya menjadi sebuah “racun” yang tubuh kita tahu buruk dampaknya.
Sebuah pengalaman jadi tidak menyenangkan pasti karena ada dua hal yang esensial: pertama, karena ada rasa terancam, yang berarti prinsip bertahan hidup atau survival terusik. Dan kedua, karena ada ego kita yang terusik di dalamnya.
Ketika hal ini terjadi maka memori yang kita simpan dalam diri kita adalah memori yang berisikan reaksi emosi negatif, atau dengan kata lain: ia menjadi rekaman energi negatif, yang diibaratkan tadi sebagai “racun”.
Seperti tubuh kita yang bereaksi negatif jika ada racun, batin kita juga sama, ia bereaksi negatif ketika ada rekaman energi negatif yang masuk ke dalamnya, yaitu memori yang berisikan reaksi emosi negatif tadi. Reaksi negatif inilah yang kita rasakan dalam bentuk “rasa tidak nyaman”, bisa berupa rasa kecewa, marah, benci, atau rasa-rasa tidak nyaman lainnya. Hal ini menandakan kita sedang memproses rekaman energi negatif yang terbentuk dari pengalaman tidak menyenangkan yang kita alami.
Bergantung pada tingkat kedewasaan, kematangan dan kebijaksanaan kita, berbeda juga cara kita memproses rekaman energi dalam diri kita. Bagi mereka yang tingkat kedewasaan, kematangan dan kebijaksanaannya bagus mungkin saja akan bisa memproses rekaman energi negatif ini dengan baik, sampai benar-benar semuanya ternetralisir. Kalau dalam ilustrasi racun tadi, sampai semua racun yang sempat masuk itu bisa kembali netral.
Seperti tubuh, batin kita pun sama, setelah memproses semua hal negatif itu akan lemas dulu untuk beberapa saat, sebelum kita nantinya baru bisa kembali beraktvitas seperti biasa. Ini yang sering dialami oleh mereka yang baru saja berdamai dengan luka batinnya dan kemudian selama beberapa saat tidak bisa berpikir fokus ke masa kini, seperti masih ada sensasi nge-fly istilahnya yang membuat mereka juga masih menikmati rasa rileks dan lega yang mereka rasakan setelah melepas beban lamanya. Baru setelah pelepasan itu terproses tuntas mereka bisa kembali fokus dan sering kali fokusnya pun bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena energi mereka kembali pulih.
Memaafkan adalah proses yang baik disadari atau tidak disadari memegang peranan penting dalam proses melepaskan beban lama atau rekaman energi negatif dalam diri.
Memaafkan di sini bukan berarti memaafkan yang bersifat formalitas yang hanya diucapkan, tapi lebih kepada proses yang bersifat utuh, dimana di dalamnya ada proses memahami, mengambil hikmah dan melepaskan ego, yang menjadikan terjadinya proses pelepasan reaksi emosi negatif.
Begitulah, memaafkan melibatkan dua proses yang saya sering katakan proses pelepasan beban emosi yang melibatkan energi tingkat rendah atau bawah, atau below, dan proses pendewasaan di tingkat atas, atau above, sehingga keduanya membentuk mekanisme yang dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai as above so below.
Ketika seseorang bisa memaafkan secara tuntas, maka ia sedang mengembalikan dirinya ke fungsi semulanya, seperti tubuh sebelum terkena racun, ia kembali kepada citra sehat sejati jiwanya.
Bagi beberapa orang, proses memaafkan ini bisa terjadi secara alami, melalui proses pendewasaan diri. Ia menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bijak, lebih berkesadaran, yang bisa memahami yang terjadi, menerima yang terjadi, dan mengambil hikmah dari yang terjadi, sehingga rekaman energi negatif yang pernah terekam dalam dirinya kemudian ternetralisir. Ibarat tubuh tadi, tubuh ini sembuh dari racun yang sebelumnya sempat masuk.
Beberapa orang lain mungkin tidak demikian adanya. Mereka sulit untuk bisa begitu saja meneteralisir rekaman energi negatif dalam dirinya, karena sedemikian menyakitkannya. Alhasil, mereka hidup dengan racun dalam dirinya terus-menerus, yang secara nyata mengganggu kesehatan mereka. Mereka jadi sulit menjalani hidup dengan baik, karena racun itu terus mengganggu kesehatan mereka. Hal ini yang sering kali kita temukan dalam bentuk hati yang gelisah, tidak tenang, cemas, dibayangi kemarahan, dan banyak lagi bentuknya.
Dan jangan salah, yang dimaksudkan sebagai “racun” di sini bukan sebatas “racun” ilustrasi belaka. Jika dibiarkan berlarut-larut, apa yang semula hanya dirasakan di pikiran ini bisa berkembang jadi lebih parah, sampai kemudian betul-betul mempengaruhi tubuh fisik, ia menjadi racun sungguhan bagi tubuh fisik yang menjadikan seseorang sakit-sakitan, yang kelak disebut sebagai “gejala psikosomatis”, atau lemah-letih-lesu, “tidak bugar” istilahnya.
Memaafkan adalah “obat”. Ia membebaskan diri kita dari rekaman energi negatif yang merusak batin dan fisik kita.
Yang sering menjadi masalah adalah ketika seseorang merasa sudah memaafkan, padahal yang sebenarnya terjadi tidaklah demikian. Sering waktu berlalu rasa sakit itu sebetulnya tidak hilang dalam diri mereka. Ego mereka sebenarnya belum bisa memahami yang terjadi, menerima yang terjadi dan mengambil hikmah dari yang terjadi, tapi ego mereka ini juga yang tidak rela kalau disebut tidak bisa memaafkan. Alhasil besar dan kuatnya kekuatan ego ini kemudian “meredam” cara kerja racun ini. Catat itu: “meredam”. Artinya, racunnya masihlah ada, hanya saja ia diredam sedemikian rupa sehingga terlihat dan terasa seperti tidak ada, atau seolah sudah hilang.
Di permukaan orang-orang ini bisa nampak baik-baik saja. Mereka bisa menampakkan sosok diri yang bijak, yang seolah sudah memaafkan. Padahal dalam dirinya, masih ada kobaran api luar biasa yang belum bisa dipadamkan, seperti api dalam sekam.
Dibandingkan mereka yang jelas-jelas terganggu oleh racun dari rekaman energi negatif tadi, yang satu ini yang bagi saya sebetulnya lebih berbahaya. Kenapa demikian? Sama dengan racun pada tubuh, ia menjadi racun yang tidak terdeteksi, tidak ketahuan, dari luar nampak baik-baik saja, tapi ia terus menggerogoti dari dalam. Ini yang sering kali di kemudian hari tiba-tiba menjadi masalah yang meledak tidak terkendali, seperti “bom waktu”.
Itulah kenapa, memaafkan adalah satu hal yang sering saya katakan “mudah untuk diucapkan, tapi tidak mudah untuk dilakukan”. Karena ia berhubungan dengan ego kita. Memaafkan bukan sekedar ucapan, bukan berarti dengan kita mengatakan “saya sudah memaafkan” maka itu tandanya kita sudah memaafkan.
Memaafkan adalah perkara yang berhubungan dengan rasa. Jika memaafkan itu benar-benar sudah terjadi secara tuntas maka yang kita rasakan adalah damai, damai yang sebenarnya. Bukan damai yang dibuat-buat karena ego.
Bagaimana mau hidup makmur kalau diri kita terus digembosi oleh gejolak emosi negatif yang bersumber dari rekaman energi negatif yang belum tuntas dalam diri kita? Yang ada, energi dalam diri kita terus gembos. Kita tidak bisa hidup di masa kini sepenuhnya karena energi kita tercerai-berai di berbagai kejadian masa lalu. Kesehatan terganggu, batin terganggu, kinerja terganggu, otomatis kualitas hidup pun juga pasti terganggu.
Ketika memaafkan terjadi secara tuntas, pintu kemakmuran terbuka dengan sendirinya. Kenapa begitu? Karena energi dalam diri kita terpulihkan kualitasnya. Kita jadi bisa hidup secara penuh di masa kini. Energi yang terpulihkan ini membantu kita menjadi lebih sehat, lebih bugar, lebih bisa bekerja dengan lebih baik, kinerja dan produktivitas jadi lebih baik, lebih bisa memanfaatkan berbagai peluang yang kehidupan ini hadirkan dalam hidup kita, daya pancar energi kita di semesta ini pun membaik. Kehidupan kita jadi bisa bergerak penuh mengalir ke masa depan karena tidak ada lagi yang menghambat aliran energi kita di masa lalu.
Jadi … ingin membuka pintu kemakmuran? Mulailah dari memaafkan. Bukan sekedar memaafkan yang hanya diucapkan, tapi memaafkan yang sesungguhnya, yang terjadi dalam diri secara tuntas, yang menjadikan kita lebih bijak, lebih matang dan lebih dewasa dalam memaknai yang terjadi.
Ingat … memaafkan itu memang mudah untuk diucapkan, tapi ia tidak mudah untuk begitu saja dilakukan. Tapi percayalah, ia sepadan untuk kita lakukan demi membuka lebih banyak pintu kemakmuran dalam hidup ini.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.