Filosofi “Chiron – Sang Penyembuh Yang Terluka (The Wounded Healer)”
Daftar Isi
Sepanjang pengalaman saya menekuni profesi yang berkaitan dengan kesehatan mental sejak belasan tahun lalu sampai saat ini, ada saja interaksi dengan mereka yang menyatakan minat atau ketertarikannya untuk turut menekuni profesi ini.
Meski saya tidak memiliki data resminya, melihat cukup banyaknya pelatihan yang mengajarkan berbagai topik yang berhubungan dengan kesehatan mental, dari mulai yang sebatas bersifat pembelajaran populer sampai ke pelatihan berbasis kompetensi, saya pribadi menarik sebuah kesimpulan bahwa agaknya cukup banyak individu yang “terpanggil” untuk turut serta terjun ke profesi ini.
Namun demikian, pengamatan saya pribadi juga mendapati bahwa terlepas dari seberapa banyak pun individu yang “terpanggil” untuk menekuni profesi ini dan seberapa besar pun ketertarikan mereka, ternyata pada akhirnya tidak banyak yang betul-betul sampai ke titik dimana mereka akhirnya menekuni profesi ini secara profesional.
Tulisan ini bertujuan mencurahkan pengamatan saya terhadap fenomena “bergugurannya” mereka yang ingin menekuni profesi kesehatan mental, yang juga mengadaptasi filosofi kisah mitologi Yunani kuno: “Chiron”, sebagai referensi dari pengamatan ini.
Perjalanan Para Peminat
Saya mengilustrasikan perjalanan menekuni profesi ini ke dalam tiga tahap “perjalanan”.
Tahap pertama, yaitu tahap “persiapan perjalanan”. Tahapan ini mencakup tahapan awal ketika seseorang mulai menurutkan minatnya menekuni profesi ini dimana mereka mulai “belajar”.
Pembelajaran ini bisa bermacam-macam jenisnya, dari mulai sebatas membaca buku, menelusuri informasi dari internet, mulai berinteraksi dengan para praktisi di bidang ini, sampai ke belajar secara resmi di kelas-kelas pelatihan.
Tahap kedua, yaitu tahap “awal perjalanan”. Tahapan ini dimulai ketika seseorang mulai “mencoba-coba” berpraktik. Di tahap ini seseorang tidak lagi sebatas belajar, namun mulai mempraktikkan yang dipelajarinya, atau dengan kata lain: memulai langkah awalnya menjadi seorang praktisi.
Di tahap ini biasanya tingkat pembelajaran seseorang juga semakin menguat, dengan adanya pengalaman praktik ia mulai lebih banyak menemukan keterhubungan dari apa yang dipelajarinya dengan kenyataan sebenarnya. Biasanya di tahap ini seseorang semakin giat mencari wawasan dan semakin giat berinteraksi dengan praktisi lain, termasuk bergabung ke komunitas yang atau forum yang dirasanya sesuai dengan topik ketertarikannya.
Tahap ketiga, yaitu “perjalanan yang sebenarnya”, tahapan dimana seseorang mulai memantapkan diri menekuni profesi ini dan secara bertahap terus meningkatkan kapasitas dirinya.
Dari ketiga tahapan di atas, mereka yang saya kategorikan akhirnya benar-benar menjadi menekuni profesi ini adalah yang sampai ke tahap ketiga. Bukan berarti yang sebatas sampai ke tahap pertama dan kedua otomatis gugur. Bisa saja mereka hanya butuh waktu lebih untuk naik ke tahap berikutnya. Seseorang baru saya kategorikan “gugur” ketika ia memang sudah benar-benar membuat keputusan mutlak untuk berhenti dan menyudahi tahapan perjalanannya.
Di ketiga tahap perjalanan ini jugalah saya kemudian mengkategorikan pengamatan saya lebih lanjut atas mereka yang “gugur”, atas apa saja yang menjadikan mereka kemudian “berhenti”.
Pertama, yang hanya sebatas “tertarik”.
Ada orang-orang yang ketika sampai ke tahapan kedua menyadari bahwa mereka hanyalah sebatas “tertarik”. Semakin mereka belajar dan berinteraksi dengan para praktisi mereka menyadari bahwa ada banyak hal di profesi ini yang mereka rasa tidak sejalan dengan ketertarikan mereka yang sebenarnya, bahwa mereka sebenarnya bukan ingin menjadi praktisi, melainkan sebatas ingin mempelajari hal-hal yang ada di dunia profesi ini sebagai media pengembangan diri mereka.
Ada juga yang semakin banyak belajar dan berinteraksi menyadari bahwa menekuni profesi ini akan mensyaratkan kesiapan moral, mental dan materiil yang tidak sedikit, disinilah mereka menyadari bahwa mereka tidak sepenuhnya siap untuk itu dan memutuskan untuk berhenti, entah itu benar-benar berhenti secara total, atau kemudian sebatas mempelajari hal-hal yang ada di dunia profesi ini sebagai media pengembangan diri mereka.
Kedua, yang tidak mendapatkan support system.
Lain dengan yang sebatas tertarik, mereka yang di kategori ini adalah mereka yang benar-benar ingin menjadi praktisi dan bahkan mereka siap dengan segala konsekwensi yang menyertai profesi ini, hanya saja mereka tidak mendapatkan support system yang memadai, yang bisa menyiapkan mereka menekuni profesi ini dengan baik.
“Support system” dalam hal ini yaitu yang berhubungan dengan proses belajar dan bimbingan pasca pembelajaran. Ada saja saya temukan kisah dari mereka yang benar-benar serius ingin menekuni profesi ini namun kemudian terhambat karena yang mereka pelajari di program pembelajarannya tidaklah memadai, atau mereka tidak mendapatkan fasilitas arahan dan dukungan yang memadai pasca pembelajaran, sehingga mereka tidak siap atau tidak percaya diri untuk memulai perjalanan praktik sebenarnya.
Ketiga, yang tidak siap untuk “bertumbuh”.
Arti dari “bertumbuh” di sini bukan sebatas belajar, menambah pengetahuan serta keahlian, namun membenahi sisi-sisi dalam diri (inner side), termasuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai perkara lama dalam diri yang belum terselesaikan (unresolved issue). Hal inilah yang diwakilkan oleh sebuah ilustrasi dari kisah mitologi Yunani kuno, “Chiron, Sang Penyembuh Yang Terluka (The Wounded Healer)”.
Kisah “Chiron, Sang Penyembuh Yang Terluka (The Wounded Healer)”
Dalam kisah mitologi Yunani kuno, tersebutlah seorang Centaurus yang bernama “Chiron”.
Dalam mitologi ini, Chiron terlahir dari hubungan antara Cronus, yang digambarkan sebagai dewa penguasa para Titan, dan Philyra, dewi air puteri dari Oceanus dan Thetys. Ketika menjalin hubungan dengan Phylira, Cronus konon mengambil wujud sebagai seekor kuda, dimana hasil dari hubungan mereka melahirkan Chiron, yang berwujud setengah manusia dari pinggang ke atas dan setengah kuda dari pinggang ke bawah.
Malu dengan wujud Chiron, Phylira kemudian membuang Chiron di gunung Pelion di Thessaly dimana ia kemudian ditemukan dan diasuh oleh Apollo, dewa matahari dan cahaya.
Apollo dan saudaranya, Artemis, mendidik dan mengajarkan Chiron berbagai keahlian, mulai dari keahlian seni, penyembuhan, peperangan, dan berbagai keahlian lainnya. Chiron pun tumbuh menjadi seorang Centaurus yang ahli menguasai berbagai keahlian tersebut, sampai konon ia pun melahirkan berbagai teknik penyembuhan dan pengobatan.
Selain Chiron, ada juga Centaurus lain yang memang sejak awal murni merupakan Centaurus, namun sikap para Centaurus itu dikategorikan liar, tidak bisa diatur dan bisa mati (mortal). Berbeda dengan Chiron, sebagai keturunan Cronus ia memiliki sifat abadi (immortal). Cronus sendiri adalah ayah dari tiga dewa utama Yunani, yaitu Zeus, Poseidon dan Hades, yang menjadikan Chiron sendiri sebenarnya bersaudara dengan ketiga dewa utama tersebut. Sebagai murid Apollo dan Artemis ia tumbuh menjadi sosok yang pandai, bijak dan berkeahlian tinggi.
Chrion di kemudian hari menjadi guru dari banyak tokoh besar di mitologi Yunani kuno, seperti Asclepius, Perseus, Theseus, Jason, Ajax, Patroclus, Achilles, dan banyak lagi tokoh lainnya.
Pada suatu ketika, di sebuah pertempuran, Chiron terpanah secara tidak sengaja oleh Herakles (Hercules) dengan panah yang sudah dicelupkan ke racun mematikan dari ular raksasa Hydra.
Meski memiliki pengetahuan dan keahlian yang luar biasa, Chiron tidak bisa mengobati dirinya sendiri dari rasa sakit racun Hydra, yang menjadikan munculnya frasa penyembuh yang terluka (the wounded healer). Namun demikian, sebagai putra Cronus ia terjebak dengan keabadian, yang menjadikannya tidak bisa mati oleh racun tersebut.
Di ujung perenungannya, Chiron bertemu dengan Zeus dan meminta Zeus untuk menukar keabadiannya demi membebaskan Prometheus, yang sebelumnya mendapatkan hukuman dari para dewa karena mencuri api untuk dibagikan pada umat manusia.
Zeus mengabulkan permintaan Chiron. Setelah keabadiannya hilang ia pun akhirnya mati karena luka dari racunnya. Untuk menghormati kebijaksanaan dan ketulusannya, Zeus mengabadikan Chiron sebagai salah satu rasi bintang yang kita kenal sebagai zodiak Sagittarius.
Perjalanan Ilustrasi Chiron Dalam Dunia Konseling & Terapi
Ada berbagai interpretasi atas mitologi Chiron dalam dunia konseling dan terapi. Beberapa di antaranya akan kita bahas berikut ini.
Pertama, Chiron adalah representasi kesadaran kita. Tubuh Chiron yang berupa setengah manusia dan setengah kuda melambangkan sisi dalam diri kita yang melambangkan akal (tubuh manusia) dan hawa nafsu (tubuh kuda yang dikonotasikan “liar”). Keberadaan Chiron sebagai sosok yang bijak melambangkan perjalanan manusia untuk menjadi pengendali dari hawa nafsunya.
Kedua, seperti Chiron yang membawa luka penolakan (rejection) dari momen kelahirannnya dan luka terancam (life threat) dari momen kematiannya, perjalanan kehidupan kita tidak lepas dari luka. Namun luka bukanlah sesuatu yang kelak “mengatur” diri kita. Seperti Chiron yang kemudian bertumbuh menjadi sosok Centaurus yang bijak dan beradab (tidak seperti Centaurus lain yang liar dan hanya menurutkan hawa nafsu), kita punya pilihan apakah akan membiarkan luka itu membentuk sisi liar dalam diri kita yang tidak bisa kita kendalikan, atau kita memilih untuk meningkatkan kesadaran dan kebijaksanaan kita agar luka itu tidak mengendalikan diri kita, dan kitalah yang justru memetik hikmah dari luka itu untuk mendewasakan diri kita.
Ketiga, dalam konteks konseling dan terapi, Chiron melambangkan Konselor atau Terapis (selanjutnya akan ditulis sebagai “praktisi”), yang akan lebih jelas kita bahas berikut ini.
Konselor dan Terapis Sebagai Chiron
Dalam banyak referensi konseling dan terapi, Chiron melambangkan praktisi itu sendiri, dimana praktisi pun bukanlah makhluk yang bebas dari luka, dan oleh karenanya turut membawa luka dalam menjalankan praktik konseling dan/atau terapinya (Yalom, 1980).
Hal inilah yang sedari dulu Jung (1951) bahas dalam tulisannya bagaimana Chiron melambangkan filosofi bahwa seorang praktisi hendaknya bertumbuh dengan menyembuhkan luka-luka dalam dirinya sendiri, agar ia bisa membantu proses penyembuhan sesama dengan lebih baik.
Lebih jauh lagi, empati adalah satu hal yang sangat berperan penting dalam proses konseling dan terapi. Praktisi yang memiliki empati yang baik akan lebih mudah terhubung dengan kliennya dan menempatkan diri sebagai praktisi yang “supporting” dalam proses penyembuhan (Norcross & Guy, 2007). Disinilah praktisi yang mengenali luka dalam dirinya dan memulai perjalanan menyembuhkan luka dalam dirinya bisa menumbuhkan empati yang lebih baik terhadap para kliennnya dan membimbing proses penyembuhan mereka dengan lebih bermakna (Tedeschi & Calhoun, 2004).
Di tulisan saya terdahulu saya pernah menulis bahwa bukanlah “aib” untuk seorang praktisi memiliki luka dalam dirinya. Hal ini justru menjadi sebuah penanda bahwa kita adalah manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Namun demikian bukan berarti kekurangan ini lantas kita biarkan begitu saja dan kita jadikan pembenaran. Disinilah penting bagi seorang praktisi untuk terus bertumbuh, salah satunya yaitu sebagaimana dibahas sebelumnya di atas, menyembuhkan berbagai luka dalam dirinya sebagai tanda ia bertumbuh dalam hidupnya, terutama yang berpotensi menghambat kinerjanya dalam membersamai penyembuhan para kliennya.
Seiring membersamai perjalanan pertumbuhan para kliennya, sangat mungkin praktisi kemudian menemui klien yang ternyata membawa permasalahan yang serupa dengan luka dalam diri praktisi itu sendiri, yang kemudian memicu gejolak reaksi dalam diri sang praktisi, yang dikenal sebagai “countertransference“. Disinilah penting bagi seorang praktisi untuk membenahi luka dalam dirinya dan mengelola strategi regulasi dirinya agar countertransference itu tidak merintangi kinerjanya dalam membersamai penyembuhan kliennya (Zur, 2007).
Bertumbuh Di Perjalanan Profesi ini
Jika kita kembali ke topik awal tulisan ini, salah satu kategori yang menghambat seseorang untuk memantapkan perjalanannya di profesi ini adalah tidak siapnya mereka untuk bertumbuh, yaitu untuk membenahi sisi-sisi dalam diri (inner side) mereka, untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai perkara lama dalam diri yang belum terselesaikan (unresolved issue).
Sepanjang pengalaman saya, semakin jauh kita menekuni profesi ini, akan semakin jauh juga kita diajak berkenalan dengan sisi-sisi dalam diri kita, termasuk luka-luka lama kita. Ada kalanya luka-luka lama ini muncul dan “naik ke permukaan”, menjadi gangguan yang jelas-jelas menyabotase kinerja kita, dalam bentuk masalah mental-emosional. Ada kalanya juga luka ini bukan muncul menjadi gangguan emosional, namun “tersamarkan” oleh mekanisme pertahanan ego (ego-defense mechanism) yang mewujud menjadi berbagai masalah perilaku, ego, atau godaan nafsu lainnya.
Disinilah kita semakin dituntut “memilih”, akan menjadi centaurus yang seperti apa diri kita. Apakah menjadi centaurus liar yang hanya menurutkan hawa nafsu dan ego sebagai hasil dari luka lama dalam diri kita. Ataukah kita menjadi Chiron yang mampu menguasai desakan hawa nafsu itu dan menjadi sosok yang lebih bijak karenanya.
Bahkan ketika kita memilih menjadi Chiron sekali pun, hal itu tidak menjadikan kita begitu saja bebas dari luka. Sebagaimana Chiron sendiri adalah “penyembuh yang terluka (the wounded healer)” yang tidak bisa begitu saja menyembuhkan luka dirinya sendiri, kita pun sama adanya. Di profesi ini kita akan dihadapkan dengan berbagai situasi yang “mengaduk-aduk” ego dan sisi-sisi dalam diri kita.
Dilambangkan oleh situasi dilematis Chiron, di satu sisi ia adalah makhluk abadi, di sisi lain ia terluka dan kesakitan, diri kita di profesi ini pun sama. Di satu sisi kita adalah praktisi yang lekat dengan label “menangani permasalahan sesama”, di sisi lain kita tetaplah manusia biasa yang tidak luput dari luka dan kekurangan.
Sebagaimana Mauger (2013) nyatakan, seorang praktisi hanya bisa membawa kliennya sejauh kemana ia sendiri sudah pernah pergi, yang artinya seorang praktisi hanya bisa membantu kliennya mengenali luka dan ruang kesadarannya sejauh ia sendiri sudah mengenali luka dan ruang kesadaran dalam dirinya sendiri. Hal ini yang menjadikan dalam psikoterapi klasik seorang psikoterapis harus menjalani rangkaian sesi psikoterapi dulu dengan pembimbing atau senior yang dipilih untuk mendampinginya, semata agar ia sendiri bisa mengenali dan lebih bisa mengendalikan dirinya sebelum mengawali profesinya.
Chiron pada akhirnya mencapai puncak perjalanannya ketika ia melepas ego keabadiannya, di situlah ia justru bisa lepas dari siksaannya dan menjadi manfaat yang menerangi banyak orang dengan bebasnya Prometheus dan ia sendiri menjadi rasi bintang Sagittarius. Begitu juga diri kita di profesi ini, perlu berlepas dari ego sebagai praktisi yang lekat dengan label “pemecah masalah sesama” dan berdamai dengan kenyataan bahwa kita pun memiliki luka dan kekurangan yang tidak selalu bisa kita tangani sendiri. Disini jugalah sebagai praktisi ada kalanya kita pun memerlukan bantuan dari praktisi lain yang kita percaya untuk bisa mengenali titik buta (blind spot) diri kita sendiri yang menghambat pertumbuhan kita.
Sebagaimana kita mungkin bisa menduga-duganya, hal inilah yang tidak mudah untuk dilakukan, yang kerap kali menjadikan bahkan mereka yang sudah mulai mengalami perjalanannya di profesi ini pun kemudian mundur dan “gugur” di perjalanannya.
Milikilah kesiapan untuk bertumbuh, untuk berdamai dengan sisi-sisi dan ego dalam diri yang bisa jadi menghambat perjalanan kita. Harapannya, dengan itulah kita justru bisa terus melalui perjalanan di profesi ini dan terus meningkatkan kadar manfaat yang kita bisa kontribusikan, bukan hanya bagi klien yang kita bersamai, namun juga bagi banyak orang di sekitar kita.
Referensi
Jung, C. G. (1951). Fundamental questions of psychotherapy. In The practice of psychotherapy: Essays on the psychology of the transference and other subjects (2nd ed., Vol. 16, pp. 111–125). Princeton University Press. (Original work published 1935).
Mauger, B. (2013). Chiron In The 21st Century: Wounded Healers Today. Irish Association of Humanistic and Integrative Psychotherapy.
Norcross, J. C., & Guy, J. D. (2007). Leaving It at the Office: Psychotherapist Self-Care. Guilford Press.
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2006). Posttraumatic Growth: Theory, Research, and Applications. Routledge
Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. Basic Books.
Zur, O. (2007). Boundaries in Psychotherapy: Ethical and Clinical Explorations. APA Books.