Episode 19 – Memaafkan vs Melepaskan
Hari raya Idul Fitri menjadi momen dimana prosesi ‘bermaaf-maafan’ dilakukan oleh segenap masyarakat Indonesia, baik di lingkaran keluarga, pertemanan, dan bahkan dalam lingkungan bermasyarakat.
Lantas mengapa terjadi fenomena dimana orang-orang ‘merasa’ sudah memaafkan tapi tidak lama berselang mereka kembali memendam kemarahan, kekecewaan, kekesalan, kebencian atau emosi negatif sejenis lainnya pada orang yang mereka ‘katanya’ sudah maafkan.
Yaitu karena ada satu hal yang hilang dari proses memaafkan, yang saya sebut: ‘melepaskan’.
Seperti apa penjelasannya?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilanbelas Life Restoration Podcast berjudul ‘Memaafkan vs Melepaskan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Memaafkan vs Melepaskan'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan belas.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian, seperti biasa, semoga Anda sekalian selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia, dimana pun Anda berada.
Berjumpa kembali di Life Restoration Podcast, di episode kesembilan belas kali ini, yang bertepatan juga dengan hari raya Idul Fitri di tahun 2021.
Maka, pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat terlebih dahulu bagi semua yang merayakannya: selamat merayakan hari raya Idul Fitri, semoga segenap amal-ibadah yang sudah dijalankan selama bulan suci Ramadhan menjadi manfaat-kebaikan yang sebesar-besarnya, baik bagi diri-sendiri, bagi lingkungan sekitar, dan bagi semesta ini.
Membicarakan Idul Fitri, atau di Indonesia kita lebih familiar menyebutnya sebagai ‘lebaran’, apa yang langsung dan spontan muncul di pikiran kita? Tentunya selain dari ketupat, opor dan makanan-makanan khas lainnya ya he..he…
Yes, satu kalimat yang selalu diulang dalam setiap ucapan hari raya Idul Fitri di Indonesia adalah: “Mohon maaf lahir dan batin.”
Begitulah, Idul Fitri menjadi momen dimana prosesi ‘bermaaf-maafan’ dilakukan oleh segenap masyarakat Indonesia, baik di lingkaran keluarga, pertemanan, dan bahkan dalam lingkungan bermasyarakat.
Tahun demi tahun mengamati jalannya perayaan Idul Fitri, kali ini saya tergelitik untuk mengangkat satu tema di episode kali ini, yang spesifiknya berhubungan dengan ‘memaafkan’, mumpung sedang hangat-hangatnya juga tema memaafkan ini menjadi bagian dari perayaan hari raya Idul Fitri sekarang ini.
Bahasan ‘memaafkan’ sebenarnya bukan bahasan baru, di episode terdahulu, tepatnya di episode ketujuh, saya sudah pernah mengangkat tema ‘memaafkan’ ini dalam bahasan ‘Mengapa Sulit Untuk Bisa Memaafkan (dan Bagaimana Agar Bisa)’.
Di episode kali ini saya ingin mengangkatnya dari sudut pandang yang berbeda, yaitu mengapa ada orang-orang yang ‘merasa’ sudah memaafkan – dan katakanlah mereka memang benar-benar sudah memaafkan – tapi tidak lama berselang mereka kembali memendam kemarahan, kekecewaan, kekesalan, kebencian atau emosi negatif sejenis lainnya pada orang yang mereka – katanya – sudah maafkan.
Ngomong-ngomong, kalau Anda belum mendengarkan episode ketujuh sebelumnya, saya sangat menyarankan Anda untuk mendengarkan dulu episode itu, supaya pemahaman Anda tentang perspektif dari ‘memaafkan’ ini lebih lengkap jadinya.
Di episode ketujuh, saya sudah banyak sekali membahas dasar-dasar pemahaman dari memaafkan, seperti: apa pentingnya, mengapa ada kalanya hal itu sulit dilakukan dan bagaimana caranya agar pada akhirnya prosesi memaafkan itu bisa kita benar-benar lakukan, jadi sekali lagi: kalau Anda belum mendengarkan episode itu silakan menyempatkan diri untuk mendengarkannya terebih dulu ya.
Oke, kita lanjut ke bahasan episode kali ini, katakanlah berbekal pemahaman di episode ketujuh dulu Anda sudah memahami dan bahkan mampu mempraktikkan lima langkah yang berhubungan dengan prosesi memaafkan pada mereka yang memang Anda ingin berikan maaf, sewaktu mengingat kejadian yang berhubungan dengan sikap mereka yang dulu dianggap menyakiti, atau ketika memikirkan kembali mereka Anda sudah tidak lagi merasakan emosi negatif itu dalam diri Anda.
Waktu berlalu, Anda menjumpai kembali mereka dalam kehidupan nyata, dan memang Anda sudah tidak lagi merasakan emosi negatif atas diri mereka, luar biasa bukan? Tunggu dulu, ceritanya belum selesai, katakanlah waktu berjalan dan Anda kembali sering berinteraksi bersama mereka, interaksi demi interaksi Anda lalui bersama mereka, dan ternyata mereka belum berubah! Mereka tetap menunjukkan sikap lamanya, yang memang Anda tidak sukai, dan tidak lama berselang Anda mulai merasakan lagi-lagi emosi negatif merayapi diri Anda atas sikap mereka!
Bisa dibayangkan? Atau mungkin pernah mengalaminya? Tenang, hal ini sangat manusiawi sekali adanya, di episode kali ini kita akan membahas lebih dalam fenomena ini dan juga cara menyikapinya.
Tidak mudah memang yang saya bahas di episode kali ini, prosesnya akan cukup melelahkan, tapi lebih baik kelelahan dalam upaya menjadikan hidup lebih baik daripada kelelahan meratapi hidup yang tidak kunjung membaik, setuju?
Mari kita mulai saja bahasannya.
Dari pengalaman saya selama ini menjalankan praktik coaching, konseling dan terapi profesional, saya mendapati satu hal yang sangat mendalam dan sangat bermuatan spiritual sekali, yang ternyata pengaruhnya jauh lebih besar dari memaafkan, ketika ada kasus yang mensyaratkan memaafkan dan ternyata hal itu sudah dilakukan tapi emosi negatifnya muncul kembali, maka prosesi yang satu inilah yang menjadi jawaban penyelesaiannya.
Apa hal yang saya maksudkan ini? Ia adalah satu hal yang bernama ‘melepaskan’.
Nah, hal ini saja sudah menjawab alasan di balik judul episode podcast kali ini kan? Yes, bukan tanpa sebab saya mengangkat tema ‘Memaafkan vs Melepaskan’, karena memang keduanya sangatlah berhubungan erat satu sama lain, tapi kedalamannya berbeda.
Sederhananya begini, saya biasa menggambarkan esensi dari memaafkan sebagai proses ‘mengurai energi’, atau tepatnya ‘mengurai energi negatif yang pernah ada’, agar ia terurai dan menjadi energi yang netral.
Mengapa saya katakan ia adalah proses ‘mengurai energi’? Karena seperti sudah pernah saya bahas di beberapa episode podcast terdahulu, emosi yang dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai ‘emotion’, juga sering kali diartikan sebagai ‘energy in a motion’ atau ‘energi yang bergerak’.
Sebagaimana ‘Hukum Kekekalan Energi’ berbunyi: “Energi tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan, ia hanya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya,” manusia adalah makhluk energi, segala pemikiran kita pastinya melibatkan energi sebagai bahan bakarnya, hasil dari pemikiran itu sendiri nantinya akan menjadi bentuk energi lain.
Ketika energi itu terkunci dan tidak bisa bergerak, atau ‘not in a motion’, maka terciptalah ketidakseimbangan sistem energi dalam diri, energi yang terkunci inilah yang menjadi cikal-bakal dari berbagai jenis masalah psikologis, perilaku dan bahkan masalah fisik.
Dari mana kemarahan, atau kebencian tercipta? Sudah jelas dari energi yang terkunci, atau tepatnya ‘energi kehendak’ yang terkunci dan tidak bisa terekspresikan.
Untuk memahaminya dengan cara sederhana begini saja, katakanlah Anda sedang berada di sebuah lingkungan pekerjaan bersama atasan atau teman kerja Anda, di satu situasi tiba-tiba atasan atau teman kerja Anda melakukan satu hal yang menyinggung dan bahkan menyakiti hati Anda di depan umum, saat itu juga nilai-nilai yang Anda yakini terlanggar dan emosi mulai terasa ‘naik’ dalam diri Anda.
Emosi yang naik ini membawa kehendak untuk ‘membela diri’, untuk menegaskan nilai-nilai yang Anda yakini dan membalas, untuk membuat orang yang menyakiti Anda ini ‘kapok’, semua itu bercampur menjadi satu sebagai sebuah energi yang ‘liar’ dan inginnya mengekspresikan semua itu pada atasan atau teman kerja yang menyakiti Anda itu.
Pertanyaannya, apakah mudah untuk mengekspresikan semua ‘energi liar’ itu begitu saja?
Anda tentu tahu jawabannya, yaitu: tidak mudah, sangat mungkin Anda memikirkan atau mempertimbangkan berbagai hal sebelum membiarkan emosi itu mengendalikan diri Anda, Anda mempertimbangkan dampak dari tindakan Anda jika sampai emosi itu terluapkan keluar di lingkungan kerja, dan akhirnya logika Anda menang, Anda memutuskan untuk menahan emosi itu terekspresikan karena tidak mau sesuatu yang fatal terjadi, yang menciderai masa depan Anda.
Apa yang terjadi di situasi itu? Sudah bisa memahami yang saya maksudkan sebagai ‘energi kehendak’ yang tidak terekspresikan? Jelas sekali bukan?
Yes, di situasi yang menyakitkan itu emosi Anda naik dan ingin menegaskan prinsipnya, namun logika dan kesadaran Anda menahan ekspresi emosi itu, disinilah emosi atau emotion, atau ‘energi in a motion’ yang membawa kehendak itu terkunci dan berdiam di dalam diri sebagai ‘kemarahan yang terpendam’.
Sekarang begini, bayangkan situasinya berbeda: atasan atau teman kerja Anda meyakiti hati Anda di depan orang banyak, saat itu juga Anda tahu bahwa situasi itu tidak bisa dibiarkan dan Anda harus membalas perlakuan mereka, agar mereka merasakan ketidaknyamanan yang Anda rasakan, lalu Anda benar-benar melakukannya, Anda meluapkan emosi Anda pada orang itu, bahkan dengan cara yang sangat ekstrim sampai orang itu tidak berdaya membalas balik Anda, Anda melihat ekspresi wajahnya yang sangat tidak berdaya dan tersiksa oleh ketidaknyamanan yang disebabkan oleh ulahnya sendiri, kali ini apa yang Anda rasakan? Berbeda bukan?
Tentu saja, karena kali ini energi kehendak itu sudah diekspresikan keluar dan bergerak, maka saat itu kemarahan itu tidak lagi mengganjal dalam diri Anda. Tapi tunggu, jangan senang dulu, itu bukan akhir dari segalanya, di akhir ekspresi emosi itu biasanya muncul episode berikutnya: mulai dari rasa takut karena sudah melakukan hal yang mengancam masa depan, atau rasa penyesalan karena bisa-bisanya membiarkan emosi menguasai diri Anda, atau bahkan rasa marah dan menyalahkan diri-sendiri, kenapa bisa-bisanya melakukan semua itu, di titik ini bisa saja muncul kembali kemarahan pada mereka yang sudah menjadi objek pelampiasan itu, mengapa mereka harus melakukan hal yang memancing emosi Anda sampai seperti itu, nah makin ruwet bukan? Bukankah ternyata mengekspresikan emosi juga tidak menjadi jaminan bahwa diri Anda menjadi damai dan masalah terselesaikan karenanya?
Kembali ke bahasan kita tentang memaafkan sebagai proses ‘mengurai energi’. Ingat, kemarahan muncul sebagai bentuk dari ‘energi yang terkunci’, maka energi yang terkunci inilah yang kita urai melalui proses memaafkan agar ia kembali netral, tanpa harus mengekspresikannya dengan cara yang destruktif.
Bagaimana cara mengurai energi yang terkunci ini? Jawaban dan langkah-langkahnya sudah saya bahas di episode ketujuh podcast saya sebelumnya, lagi-lagi saya tidak bosan-bosannya mengingatkan, jika Anda belum mendengarkan episode itu pastikan Anda meluangkan waktu untuk menyimaknya terlebih dulu.
Ketika kita memaafkan, yang terjadi adalah kita mengurai ‘energi kehendak’ yang terpendam, sebagai wujud dari berbagai pemikiran dan tindakan yang ingin kita ekspresikan pada orang yang kita rasa menyakiti kita namun kita tahan, energi kehendak inilah yang kita urai sampai ia menjadi netral kembali.
Sampai sejauh ini terdengar baik adanya bukan? Betul, tapi ini juga yang membuat energi yang terpendam ini bisa muncul kembali.
Begini, ingat yang kita urai adalah energi kehendak atas apa yang ingin kita ekspresikan pada orang yang kita rasa menyakiti kita, saat itu energi kehendak yang terbentuk atas ulah orang itu di masa lalu memang sudah terurai, tapi ketika kita bertemu dengan orangnya kembali – yang ternyata belum berubah – maka sangat mungkin energi kehendak ini terbentuk kembali karena tindakan orang itu – yang kita anggap berlawanan dengan nilai-nilai yang kita yakini – lagi-lagi menyinggung dan membuat kita ingin melakukan tindakan tertentu terhadap orang itu.
Munculnya lagi rasa marah ini bukan berarti kita gagal memaafkan, emosi dari energi kehendak yang terbentuk di masa lalu memang sudah terurai, yang kali ini kita hadapi adalah emosi dari energi kehendak baru yang terbentuk di masa kini karena lagi-lagi orang itu di masa kini melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang kita harapkan.
Nah, sampai sini sudah cukup jelas?
Catatan: saya bukan sedang mengatakan bahwa memaafkan itu buruk, justru memaafkan adalah kunci meraih kesembuhan psikis dan hal itu sangatlah penting adanya, yang ingin saya tekankan adalah bahwa memaafkan belum cukup untuk ‘mempertahankan’ kesembuhan psikis ini secara berkepanjangan untuk seterusnya. Ingat, meraih dan mempertahankan adalah dua hal yang berbeda, mengurai energi dan emosi kehendak yang terpendam yang terbentuk di masa lalu adalah langkah awal meraih kesembuhan, tapi belum tentu kesembuhan ini bisa dipertahankan terus-menerus, karena ketika energi dan emosi kehendak ini muncul lagi di masa kini maka kesembuhan itu kembali terganggu.
Disinilah ‘melepaskan’ menjadi kunci penting dari mempertahankan kesembuhan dan menciptakan rasa damai dalam diri yang lebih berkepanjangan, karena ia menyasar akar yang menjadikan munculnya emosi dan energi kehendak yang terpendam dan menjadi kekecewaan serta kemarahan, yaitu: harapan.
Begini, emosi atau energi terpendam yang berubah menjadi kekecewaan serta kemarahan muncul karena adanya harapan yang terlanggar, betul? Artinya, ada standar tertentu yang kita tetapkan atas orang lain, tentang cara bagaimana mereka seharusnya bersikap atas diri kita, karena mereka tidak bersikap sebagaimana harapan kita inilah maka muncul kekecewaan dan harapan, kalau kita renungkan, apa yang sebenarnya menyakiti kita: sikap dan tindakan mereka, atau harapan yang kita tetapkan?
Yes, harapan kita sendirilah yang menyakiti kita!
Contoh praktisnya begini, bayangkan Anda sedang berjalan di taman dan melihat ada orang dengan gangguan jiwa atau istilah umumnya ‘orang gila’, berjalan di depan Anda, penampilan dan tingkahnya jelas sekai mencerminkan bahwa ia memang gila. Lalu dari jarak yang cukup jauh ‘orang gila’ itu melakukan tindakan yang bernada mengejek pada Anda, ia menunjukkan ekspresi mengejek dan menghina Anda dari kejauhan.
Apakah Anda akan marah padanya? Mungkin saja ‘iya’, tapi saya yakin bersama kemarahan itu – kalau memang Anda marah padanya lho ya – juga terkandung rasa ‘maklum’, karena memang dengan mengetahui dia gila saja Anda sudah bisa mengira-ngira sendiri seperti apa perilakunya, perkiraan itu melambangkan apa? Yes: tingkat harapan.
Karena Anda sendiri memang tidak berharap apa pun, dan bahkan memakluminya, maka bisa dipastikan kadar emosi atau energi kehendak yang muncul pun tidak terlalu intens, lain ceritanya kalau ejekan atau hinaan itu dilakukan orang yang Anda harapkan untuk bersikap sopan dan memperlakukan Anda dengan wajar, dalam hal ini pasti energi kehendak yang muncul pun jauh lebih besar karenanya.
Dengan kata lain, jika dalam memaafkan kita mengurai energi kehendak yang terpendam atas perlakuan orang lain yang tidak sejalan dengan harapan, maka dalam melepaskan kita mengurai energi kehendak yang menjadikan munculnya harapan, yang nantinya menjadi akar munculnya energi kehendak yang terpendam karena harapan itu terlanggar.
Istilah sederhananya yaitu: melepaskan harapan.
Bentuk praktik nyata dari hal ini biasa saya rangkum dalam 5 langkah.
Pertama, ketika kita terluka atas ulah atau sikap seseorang, sadari apa jenis harapan yang kita tujukan pada orang itu atas caranya dalam bersikap kepada kita, apa tepatnya harapan yang kita rasa terlanggar oleh sikapnya.
Langkah kedua, sadari bahwa yang melukai kita adalah harapan kita sendiri dan bukan sikap orang itu, sadari bahwa sebagai manusia memang wajar untuk memiliki harapan atas cara orang lain bersikap, tapi kita tidak boleh sampai naif menginginkan orang lain untuk selalu memenuhi harapan kita, kita hanyalah manusia, bukan Tuhan yang bisa membolak-balik hati seseorang, artinya dalam diri orang lain tersimpan kendali atau kehendak mereka sendiri yang menentukan sikap dan perilakunya.
Berikutnya, yaitu langkah ketiga, pahami bahwa sikap seseorang menjadi cerminan atas apa yang ada dalam dirinya, sadari bahwa bisa saja selama ini kita belum cukup mengenal orang itu dan mengenal situasi dalam dirinya, bisa saja ternyata di balik segala harapan yang kita tetapkan pada orang itu atas imej yang biasa ia tampilkan sebenarnya tersimpan ketidaktahuan bahwa orang itu memiliki berbagai permasalahan dalam dirinya yang menjadikannya tidak bisa mengendalikan perilakunya atas diri kita.
Jangan menganggap bahwa orang itu berubah – jika ia tidak sejalan dengan cara pandang atau harapan kita atas dirinya sebelumnya – cukup maknai bahwa ia bukan berubah, melainkan baru menunjukkan sosok aslinya yang sebenarnya, dengan ini kita pun tidak menyesali harapan kita sendiri, melainkan menerima ketidaktahuan kita atas sifat asli dari orang itu yang belum kita ketahui.
Keempat, lepaskan harapan kita atas orang itu, terima kenyataan bahwa ternyata harapan kita sendirilah yang menyakiti kita, yaitu cara pandang kita atas orang itu, yang mengharuskannya bersikap sesuai standar kita, ketika ia tidak bisa memenuhinya maka kita terluka karenanya.
Kelima dan terakhir, nyatakan bahwa Anda meminta maaf dan membebaskan orang itu dari segala harapan yang Anda tetapkan atas caranya bersikap, yang satu ini sebenarnya cukup Anda lakukan dengan kesadaran dan cara pandang baru, tapi Anda bisa meningkatkan efektivitasnya jika ingin, dengan melakukan sebuah visualisasi sederhana.
Tutup mata Anda, bayangkan orang yang Anda rasa sikapnya menyakiti Anda, bayangkan bahwa di antara Anda dengan dirinya terbentang sebuah jalinan tali cahaya yang menghubungkan diri Anda dengan dirinya. Berikutnya, bayangkan segala sikapnya yang Anda rasa menyakiti Anda, yang pernah Anda maafkan tapi kembali membuat Anda marah.
Berikutnya lagi, sadari apa harapan Anda yang Anda tetapkan pada orang itu, pada caranya bersikap. Bayangkan dan rasakan bahwa harapan itulah yang dilambangkan oleh jalinan tali cahaya yang menghubungkan Anda dengannya, bayangkan dan rasakan apa warna tali cahaya itu yang menghubungkan diri Anda dengannya, rasakan sampai cukup jelas keberadaannya.
Inilah tahap penentunya, nyatakan secara verbal, boleh dengan berbisik saja, nyatakan bahwa Anda meminta maaf karena selama ini berharap-harap padanya untuk memenuhi harapan Anda, nyatakan bahwa Anda meminta maaf karena selama ini tidak memahami jenis luka yang ada dalam dirinya, yang membuatnya bersikap menebar luka pada Anda, nyatakan bahwa Anda membebaskan dirinya dari harapan yang Anda tetapkan padanya nyatakan bahwa Anda tidak lagi mengharuskannya untuk bersikap memenuhi harapan Anda, nyatakan bahwa segala sikap dan perilakunya adalah tanggungjawabnya bagi dirinya dan hidupnya sendiri, lalu terakhir: bayangkan tali cahaya yang menghubungkan Anda dengannya terputus, tali yang terhubung dengannya kembali ke dalam dirinya dan tali yang terhubung dengan Anda kembali ke dalam diri Anda.
Seperti yang saya katakan, proses ini tidaklah mudah, tapi percayalah hasilnya sepadan, Anda membebaskan diri Anda dari penjara harapan yang melukai diri Anda sendiri.
Nah, demikian kiranya penjelasan dari episode kali ini, cukup jelas bukan? Sekali lagi, selamat merayakan hari raya Idul Fitri bagi Anda yang merayakannya dan sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.