Episode 24 – Menghadapi Orang Yang Menyebalkan – Part 2
Melanjutkan bahasan episode sebelumnya yang sudah mengulas dasar-dasar teknik komunikasi tentang bagaimana cara menghadapi orang yang menyebalkan, episode kali ini akan melengkapi dan menutup bahasan yang sudah kita ulas di episode sebelumnya, dengan membahas strategi komunikasi asertif ‘9-Si’ dalam menghadapi mereka.
Bukan sebuah kebetulan juga selama beberapa minggu ini komunikasi menjadi satu tema yang rutin mewarnai program pelatihan di korporasi, maka episode ini pun sekalian dibuat untuk menjadi bahan referensi para peserta dalam belajar.
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keduapuluhempat Life Restoration Podcast berjudul ‘Menghadapi Orang Yang Menyebalkan – Part 2’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Menghadapi Orang Yang Menyebalkan - Part 2'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode dua puluh empat.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian, semoga selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia dimana pun Anda berada.
Kembali mengunggah podcast dari kantor praktik saya di Bandung kali ini, setelah sebelumnya – minggu lalu – saya mengunggahnya dari Jakarta, di sela-sela kegiatan memfasilitasi program pelatihan dan pengembangan kepemimpinan, dengan menggunakan pendekatan coaching, di salah satu anak perusahaan BUMN.
Seperti yang saya janjikan di episode sebelumnya, episode kali ini akan meneruskan bahasan di episode terdahulu, yaitu cara ‘menghadapi orang yang menyebalkan’.
Bagi Anda yang belum sempat menyimak episode sebelumnya, di episode sebelumnya saya mengisahkan bagaimana dari sekian banyak pertanyaan yang sering kali saya dapatkan dari para peserta pelatihan sehubungan dengan tema komunikasi, salah satu pertanyaan yang selalu muncul berulang adalah ‘bagaimana caranya menyikapi orang yang ‘menyebalkan’ ini’.
Kalau Anda belum menyimak episode sebelumnya, maka saya sarankan luangkan waktu untuk mendengarkan dulu bahasan di episode itu ya. Tidak bosan-bosannya, saya juga kembali menyarankan Anda untuk mendengarkan lebih banyak episode lain yang pernah saya unggah di Life Restoration Podcast ini, semakin banyak Anda mendengarkan setiap episode tersebut saya yakin pemahaman yang lebih utuh dalam diri Anda tentang esensi dari podcast saya akan semakin kuat Anda dapatkan.
Kembali ke bahasan bagaimana caranya menyikapi orang yang ‘menyebalkan’ ini, lagi-lagi saya sekedar mengingatkan, kata ‘menyebalkan’ yang saya gunakan di sini bukan untuk melabeli seseorang secara negatif ya, tapi sebatas meminjam istilah umum untuk menggambarkan sikap seseorang yang tidak kita sukai – atau ‘sebal’ – dimana ketidaksukaan kita ini bukan sekedar karena sentimen pribadi semata, tapi memang karena sikap orang-orang itu jelas-jelas tidak disukai oleh lingkungan, terutama karena memang sikap mereka membawa kerugian atau meresahkan sesama, bisa dalam bentuk selalu merasa benar, tidak mau mendengar pendapat orang lain, ketus, tidak memahami perasaan orang lain, tidak pedulian, egois atau apa pun itu.
Pernah berhadapan dengan orang-orang seperti itu? Saya yakin pasti pernah lah ya, namanya menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial tentu belum lengkap kalau belum menemui jenis-jenis orang seperti itu…he…he…
Esensi dari pertanyaanya tetap sama, yaitu ‘bagaimana menghadapi para pribadi yang menyebalkan ini’.
Pertama-tama, saya sudah mulai mengulasnya di episode kemarin dengan pertanyaan balik sederhana: mengapa harus dihadapi? Kalau bisa dihindari ya hindari saja, lebih sehat kan bagi batin kita?
Tapi mari kita realistis, itu kan ‘kalau bisa’, memang benar kalau bisa dihindari lebih baik dihindari saja, tapi ya itu tidak realistis, karena pasti selalu ada titik dimana kita tidak bisa menghindari mereka, lagipula sebenarnya tidak baik menghindari orang seperti ini hanya karena kita tidak ingin standar kenyamanan pribadi kita terganggu.
Mengapa? Begini, karena segala bentuk pengalaman ketidaknyamanan sebenarnya adalah salah satu bentuk ‘pelatihan’ pada sistem kesadaran kita agar ia lebih kuat dan ketahanannya meningkat.
Sama seperti tubuh, kalau dari kecil tidak pernah terkena penyakit atau ketidaknyamanan fisik maka daya tahannya juga tentu jadi tidak terlatih, ketika harus menghadapi situasi asing maka tubuh jadi lebih rentan sakit jadinya dibandingkan orang lain yang lebih terlatih ketahanannya.
Ilustrasi sederhananya begini saja, coba amati warga negara asing yang berkunjung ke Indonesia, terutama mereka yang datang dari negara yang lebih maju dengan standar pengolahan makanan yang sudah sangat higienis, pada umumnya ketika mereka berinteraksi dengan makanan kita maka sistem pencernaannya akan cukup ‘kaget’ dan membuat mereka sakit perut dulu selama beberapa waktu sebelum mereka perlahan mulai beradaptasi dan mulai bisa menyesuaikan diri.
Bandingkan dengan sistem pencernaan kita yang sehari-hari sudah tidak aneh dengan semua itu, hari-hari kita makan makanan yang dijual di pinggir jalan, dengan beragam bumbu yang sering kali juga tidak lepas dari rasa pedas, juga sering kali dengan standar pengolahan yang mungkin ala kadarnya, dari kecil sistem tubuh kita sudah menyesuaikan diri dengan semua itu, alhasil daya tahan perut kita jadi lebih kuat kan dibandingkan mereka..he..he…
Saya tidak sedang mengatakan kondisi pengolahan makanan di kita yang tidak sehigienis mereka ini baik lho ya, inti pesan yang sedang ingin saya sampaikan adalah bahwa pengalaman beradaptasi dengan ketidaknyamanan inilah yang pada akhirnya membangun sistem ketahanan yang lebih kuat.
Sistem kesadaran kita memiliki mekanisme ‘homeostasis’, yaitu suatu mekanisme yang mengatur dan selalu menempatkan diri kita di suatu kondisi tertentu yang dirasanya aman dan nyaman, ketika kita sudah terbiasa menghadapi situasi tertentu secara berulang maka situasi itu menjadi standar homeostasis kita, ketika situasi itu berubah menjadi asing maka akan muncul gejala ketidaknyamanan, hal ini karena sistem kesadaran kita tidak familiar dengan situasi itu dan ingin kita keluar dari situasi itu – karena dirasa asing – demi bisa kembali ke situasi lama yang dirasa aman dan nyaman.
Jika mekanisme homeostasis ini kita ikuti maka jangan heran kalau standar ketahanan kita tidak berkembang, tapi kalau kita bersedia untuk sementara mengorbankan waktu dan tenaga untuk bisa beradaptasi dengan situasi asing atau ketidaknyamanan itu, maka lama-lama akan tercipta mekanisme homeostasis baru dalam diri kita yang sudah siap mengakomodir ketidaknyamanan itu sebagai bagian dari standar kenyamanan baru, yang semula tidak biasa menjadi biasa, artinya: sistem ketahanan kita ‘naik kelas’.
Jadi ya, begitulah esensinya menghadapi para pribadi yang menyebalkan ini, memang betul kalau bisa dihindari ya hindari, tapi juga sebaliknya: kalau bisa hadapi ya hadapi saja, karena itu akan menguatkan daya tahan dan keahlian sosial kita dalam menghadapi orang-orang jenis ini, karena sekali lagi: orang-orang seperti ini akan selalu ada, justru dengan bisa semakin luwes menghadapi orang-orang seperti ini maka kita akan semakin mudah berinteraksi dengan orang jenis apa pun nantinya.
Sejauh ini jelas ya? Nah, sekarang mari mulai masuk ke inti cara menyikapinya.
Di episode sebelumnya saya sudah mengulas tentang empat jenis kesadaran dan dua jenis strategi yang diperlukan untuk menyiapkan diri dalam menghadapi ‘orang-orang menyebalkan’ ini.
Sekedar pengingat singkat saja, empat jenis kesadaran yang saya kemarin saya ulas adalah: (1) kesadaran tentang seberapa harus dan seberapa sering kita menghadapi orang jenis ini, (2) kesadaran tentang seberapa dekat dan seberapa berharap kita pada orang-orang ini, (3) kesadaran emosional tentang pentingnya memahami luka dalam diri mereka yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu dan (4) kesadaran spiritual bahwa jiwa mereka sendiri pun tidak suka dengan perilakunya, tapi mereka sendiri tidak berdaya menolaknya karena itulah tema kehidupan yang harus mereka jalani.
Empat jenis kesadaran tadi berguna untuk menyiapkan mental kita agar kita lebih penuh welas asih, lebih siap dan lebih bisa menerima situasi yang terjadi ketika kita berinteraksi bersama mereka, hal ini karena kesiapan kita akan selalu berbanding terbalik dengan beban dari situasi yang kita rasa tidak nyaman, semakin siap kita menghadapi sebuah situasi maka semakin situasi itu kita rasa ringan dan tidak membebani kita, sebaliknya: semakin kita tidak siap menghadapi sebuah situasi maka semakin situasi itu akan kita rasa berat dan membebani kita.
Oh iya, kesadaran yang lebih tinggi ini juga penting untuk memastikan kita tidak ‘terseret’ ke level yang sama dengan mereka.
Mereka yang bermasalah dengan perilaku menyebalkan ini sebenarnya sedang terjebak di level kesadaran yang cukup rendah, ‘ekspresi menyebalkan’ mereka sebenarnya merupakan bentuk ‘permintaan tolong’ dari mereka agar ada orang yang menolong mereka naik dari level mereka berada saat ini, atau justru cara mereka ‘mencari teman’ agar mereka tidak sendirian, jadi mereka bersikap menyebalkan agar orang di sekelilingnya ikut bersikap menyebalkan juga dan terciptalah geng ‘pribadi menyebalkan’, duh amit-amit lah ya.
Tapi ya memang demikian, itulah kenapa panduan sederhananya adalah: kalau sampai terjebak interaksi yang tidak terduga dan tidak diharapkan dengan satu orang menyebalkan, pastikan di akhir interaksi itu orang menyebalkannya tetap cuma satu, jangan dibuat jadi dua, artinya: jangan ikut-ikutan jadi orang menyebalkan juga!
Oke, itu tadi soal kesadaran, untuk lebih lengkapnya silakan simak di episode sebelumnya ya, berikutnya yaitu dua jenis strategi yang diperlukan untuk menyikapi mereka,
Kesadaran membantu kita untuk tidak mudah terbawa dan lebih bisa mempertahankan kendali diri, tidak terpengaruh oleh sikap mereka, sementara strategi adalah cara kita bersikap agar kita tidak dirugikan oleh sikap mereka, dan malah kita mungkin – syukur-syukur – bisa membantu mengubah mereka.
Strategi pertama adalah strategi mengarahkan fokus kendali, yaitu dengan memastikan kita mengarahkan fokus kita pada hal yang bisa kita kendalikan dan bukan yang tidak bisa kita kendalikan,
Fokus pada perilaku orang yang menyebalkan adalah fokus yang salah karena di sini kita fokus pada hal yang tidak bisa kita kendalikan. Daripada menghabiskan waktu dan tenaga mengarahkan fokus kendali pada meratap dan berharap-harap sikap mereka berubah, lebih baik arahkan fokus kendali kita pada sikap kita, yaitu mengubah sikap kita dalam berinteraksi dengan mereka.
Strategi kedua yaitu strategi menyikapi mereka dimana strategi ini akan berhubungan dengan strategi komunikasi asertif, inilah inti dari bahasan kita di episode kali ini.
Sebelum memulai dengan strategi komunikasi asertif ini ada baiknya kita memulai dari hal yang sangat mendasar terlebih dahulu, yaitu dengan menyiapkan diri sebaik mungkin, menyadari bahwa kalau kita memang sudah meniatkan sepenuh hati maka kita harus siap dengan kemungkinan yang terburuk, ketika kita meniatkan diri mengubah fokus kendali tadi dan mengubah sikap, bukan tidak mungkin ‘gesekan’ terjadi, yang menyebabkan nuansa konflik tercipta.
Perilaku menyebalkan sering kali menjadi perilaku yang seseorang tampilkan untuk bisa merasa ‘memiliki kendali’ atas situasi di sekitarnya, disinilah kita harus siap mental untuk menahan ketidaknyamanan ketika gesekan itu muncul di interaksi kita bersama mereka.
Kendali situasinya terusik, disinilah homeostasis dalam interaksi kita bersama mereka diuji, ada pola lama yang berubah, ada standar kenyamanan mereka yang terganggu, yang menyebabkan mereka ‘berontak’ dan ingin kembali mengambil kendali. Disinilah juga kita perlu siap dan fokus-konsisten pada perubahan sikap kita, bahwa kita memang sepenuh hati meniatkan diri mengubah sikap agar sikap mereka ikut berubah, kalau mereka berusaha mengembalikan keadaan ke kondisi semula maka kita harus juga punya kekuatan untuk mempertahankan perubahan ini agar justru merekalah yang berubah.
Cara ini tidak kita lakukan dengan cara yang keras, ada kata kunci ‘asertif’ yang sebenarnya menjadi kunci utamanya.
Tapi…ada kalanya juga meski kita sudah melakukannya seasertif mungkin tetap saja potensi gesekan tidak terhindarkan, disinilah kita perlu lebih menguatkan hati untuk siap menahan ketidaknyamanan di dalam gesekan ini, memegang teguh kesadaran bahwa seburuk apa pun gesekan terjadi yang harus kita pastikan bukanlah melampiaskan isi emosi kita – dan ikut jadi pribadi menyebalkan – tapi memastikan kita menegaskan pesan-pesan penting yang ingin kita sampaikan.
Saat gesekan sedang berlangsung sudah pasti pesan itu tidak akan langsung diterima oleh orang ini, tapi seiring emosinya mereda, perlahan-lahan ketika ingatannya kembali ke suasana ketika gesekan terjadi, pesan-pesan yang kita nyatakan di situasi itu akan kembali diingat dan direnungkan, hal inilah yang diharapkan menggerakkan hatinya untuk perlahan-lahan berubah.
Itulah kenapa saya sering kali mengatakan, tidak semua gesekan atau konflik itu buruk, ada kalanya itu diperlukan untuk membantu kedua belah pihak saling memahami yang dirasakan pihak lainnya, pemahaman itulah yang diharapkan membantu mereka untuk memperbaiki sikap mereka menjadi lebih baik.
Maka, penting bagi kita untuk memahami cara menegaskan pesan ini dengan asertif, sehingga kalau gesekan terjadi pesan itu tetap tersampaikan dengan baik, syukur-syukur kalau memang tidak perlu terjadi gesekan tapi pesan tetap sampai dengan baik.
Oke, mari pahami apa itu strategi komunikasi asertif.
Agar tidak terlalu teoritis, sederhananya begini, kita membagi gaya komunikasi dalam menghadapi orang menyebalkan ini menjadi tiga, yaitu pasif, agresif dan asertif, ada satu tambahan yang sebenarnya lebih ke gabungan dari dua gaya komunikasi tadi, yaitu pasif-agresif.
Gaya komunikasi pasif maksudnya kita cenderung menahan diri ketika menghadapi ketidaknyamanan, bisa disebut ‘mengalah’ juga lah.
Gaya komunikasi agresif maksudnya kita cenderung mengkonfrontir balik secara emosional ketika menghadapi ketidaknyamanan, bisa juga disebut ‘melawan’ atau melampiaskan.
Nah, si gaya komunikasi pasif-agresif maksudnya di depan pasif-mengalah, tapi di belakang sebenarnya sedang agresif, mencak-mencak, menyumpahi lah, melampiaskan kemarahan ke objek lain lah dan sejenisnya.
Ketiga gaya komunikasi itu cenderung membawa masalah ketika digunakan menghadapi orang yang menyebalkan, gaya yang pasif membuat mereka jadi tidak berubah, gaya yang agresif membuat kita malah jadi berkonflik, karena malah emosi yang dikedepankan, bukan isi pesan, sementara pasif-agresif membuat mereka jadi tidak berubah dan malah kita jadi rentan terkena masalah psikis jadinya.
Disinilah gaya asertif bermain, yaitu gaya yang menyikapi ketidaknyamanan bukan dengan mengedepankan atau melampiaskan emosi, kita fokus menyampaikan isi pesan kita, dengan cara yang baik, isi pesan yang jelas, dan tidak menghina atau merendahkan si penerima pesan, mungkin ada kalanya cara bicara kita perlu agak tegas – tergantung situasi tentunya – untuk memastikan pesan ini sampai, tapi meski tegas tetap saja kita tidak bermaksud untuk melampiaskan emosi, lagi-lagi esensinya adalah: menyampaikan inti pesan.
Mengapa hal ini penting untuk kita sadari betul, untuk menjaga mode netral yang fokus pada penyampaian isi pesan tanpa mengedepankan emosi ini? Karena masuknya mode ‘pelampiasan’ emosi pribadi dijamin akan ‘mengotori’ jalannya komunikasi, getaran atau vibrasi yang dipacarkan oleh emosi ini akan mempengaruhi pikiran orang lain, dan menarik emosi mereka untuk semakin terlibat, pada akhirnya lebih banyak emosi ‘bertumpahan’ dalam jalannya komunikasi tapi tidak ada inti pesan yang sampai, ini bukan komunikasi namanya, tapi konflik emosi! Di akhir proses, masing-masing pihak kelelahan dan tegang, tapi tidak ada kesadaran dan pemahaman baru terbangun,malah justru lebih banyak dendam dipupuk karenanya.
Sudah paham ya landasannya? Nah, sekarang mari kita mulai ulas strategi komunikasi asertif ini, saya membaginya menjadi 9-SI, yang dibagi atas: intensi, apresiasi, validasi, permisi, isi, interaksi, opsi, konklusi dan impresi.
Kita mulai dari yang pertama, yaitu ‘intensi’, atau ‘niat’.
Pertama-tama tentu sebelum memulai strategi komunikasi asertif ini kita harus memperjelas isi niat kita dulu, apa niat kita melakukannya, lain posisi, lain kebutuhan, maka tentu lain juga niat yang akan melandasinya.
Mereka yang posisinya sedang menjadi customer service yang menghadapi customer yang komplain dengan cara menyebalkan misalnya, maka kebutuhannya adalah menenangkan customer yang komplain dengan cara yang menyebalkan ini. Kebutuhan komunikasi mereka tentu lain dengan kebutuhan komunikasi seseorang lainnya yang harus menghadapi sikap menyebalkan rekan kerjanya yang selalu merasa benar dan mereka merasa sikap rekan kerjanya ini harus diperbaiki, maka tujuannya adalah memperbaiki sikap rekan kerjanya. Bisa lain lagi kebutuhan komunikasi yang dialami para bawahan yang harus menghadapi sikap atasan yang bersikap menyebalkan karena semena-mena memberikan tugas dimana mungkin saja kebutuhan yang muncul adalah merasa perlu menjelaskan situasinya agar si atasan lebih cermat dalam memberikan tugas.
Lain kebutuhan maka tentu lain juga niatnya, disinilah niat ini perlu kita tetapkan dengan jelas, apakah niat kita adalah untuk menenangkan, atau untuk memperbaiki sikap, atau untuk menjelaskan situasi, intinya: tetapkan niat yang jelas, karena niat yang jelas inilah yang akan menjadi kompas-acuan utama kita dalam menegaskan isi pesan nantinya, agar tetap sejalan dengan niat yang kita tetapkan.
Berikutnya, yang kedua, yaitu ‘apresiasi’ atau ‘penghargaan’.
Sederhananya begini, tidak ada orang yang suka dikritik dengan ‘pedas’, belum-belum isi pesan sampai saja bisa-bisa malah penolakan yang muncul karena sudah terlanjur tidak suka dengan cara pesan itu disampaikan.
Perlu kita sadari bahwa untuk memastikan isi pesan diterima, yang kita juga perlu terima adalah orang yang menyampaikannya dan cara pesan itu disampaikan. Kalau kedua hal itu tidak kita sukai maka kualitas isi pesan sudah pasti berkurang penerimaannya.
Katakanlah isi pesannya bagus, tapi disampaikan oleh orang yang kita tidak sukai, maka kualitas penerimaan kita akan pesan itu sudah akan berkurang. Atau di situasi lain, isi pesannya bagus dan disampaikan oleh orang yang kita rasa nyaman, tapi cara menyampaikannya tidak kita sukai maka sudah pasti kualitas penerimaan pesan pun akan berkurang.
Apresiasi adalah cara kita menunjukkan penghargaan kita atas keberadaan dari orang yang menyebalkan ini, membangun dulu feel good dalam dirinya agar ia lebih siap menerima isi pesan yang akan kita sampaikan nanti.
Untuk memberikan apresiasi yang tepat caranya sederhana, pastikan kita memberikan perhatian penuh pada mereka ketika berinteraksi, lalu fokus saja pada hal sederhana yang orang itu lakukan yang rasanya bisa diapresiasi, misalnya kejelasan ceritanya, kejujurannya, atau sejenisnya.
Contohnya pada customer yang komplain dengan cara menyebalkan tadi misalnya, kita bisa mengatakan: “Baik bapak/ibu, pertama-tama, saya ucapkan terima kasih atas keterangan yang sudah disampaikan. Terima kasih karena sudah menceritakannya dengan sangat jelas dan bisa dipahami dengan baik.”
Pada contoh lain menghadapi teman kerja yang selalu merasa benar misalnya, kita bisa mengatakan: “Terima kasih atas pendapat kamu, saya senang kamu memberikan pandangan yang jelas dan mewakili isi prinsip kamu.”
Contoh lainnya, ketika menghadapi atasan yang memberikan tugas semena-mena misalnya, kita bisa mengatakan: “Baik pak/bu, terima kasih atas penjelasan dan penugasannya, cukup bisa saya pahami karena cara penjelasannya pun baik sekali.”
Intinya adalah: temukan hal yang bisa Anda apresiasi dengan tulus dan bisa membuat mereka merasa nyaman karenanya.
Berikutnya kita lanjut ke langkah ketiga meneruskan langkah kedua tadi, yaitu ‘validasi’ atau ‘pengakuan’.
Yang dimaksud validasi di sini adalah cara kita dalam mengakui emosi atau maksud mereka dan menyatakannya agar membuat mereka merasa dipahami, lalu memberikan kebutuhan emosi yang mereka inginkan.
Misalnya melanjutkan kalimat pada customer yang komplain dengan cara menyebalkan tadi, kita bisa mengatakan: “Saya bisa memahami ketidaknyamanan Bapak/Ibu, memang pasti mengesalkan sekali sudah menghubungi berkali-kali tapi tidak mendapatkan kejelasan, untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.” Hal ini karena yang mereka rasakan adalah emosi kekesalan dan yang mereka butuhkan adalah ekspresi penyesalan dari kita.
Validasi ini tidak hanya pada emosi, tapi juga pada maksud positif, misalnya dalam contoh lain menghadapi teman kerja yang selalu merasa benar tadi, kita bisa mengatakan: “Saya bisa melihat bahwa kamu berpikir panjang dan mengantisipasi hal-hal buruk yang jangan sampai terjadi.” Dalam hal ini kita mengakui maksud positif di balik sikapnya – yang dirasa menyebalkan.
Seberapa buruk pun sebuah sikap, di balik sikap itu pasti ada maksud positifnya, paling tidak: positif untuk si pelakunya, disini kita tidak menghakiminya, karena memang bukan untuk itu tujuannya, tapi justru mengapresiasinya agar membuka jalan untuk proses yang lebih besar nantinya.
Termasuk juga pada contoh lain ketika menghadapi atasan yang memberikan tugas semena-mena tadi misalnya, kita bisa mengatakan: “Saya paham saat ini ada banyak hal yang harus kita kerjakan agar semua target tercapai tepat waktu dan kita tidak ingin sampai terkena masalah karena hal ini.” Semata karena kita mengakui bahwa maksud positif si atasan adalah menghindari masalah dari atasannya lagi yang dikarenakan tidak tercapainya target.
Kunci penting dari validasi ada pada empati dan ketajaman dalam mendengarkan pilihan kata, empati dalam merasakan yang mereka rasakan dan ketajaman kata dalam mendengarkan pilihan kata yang menyiratkan perasaan dan maksud mereka.
Perlu pembiasaan untuk melatih keahlian validasi ini agar kita juga tidak terdengar asal dan ‘sok tahu’, padahal yang kita katakan salah.
Ada kalanya kita harus berputar-putar di tahapan apresiasi dan validasi ini beberapa kali sekedar untuk membuat ‘isi kepala’ mereka keluar semua terlebih dahulu. Logikanya begini, kita akan memasukkan ide kita ke kepala mereka, kalau masih ada ganjalan dalam kepala mereka maka ide itu tidak akan masuk kan? Maka lebih baik siapkan mental saja dulu, bersabar dan berikan waktu untuk mereka menghabiskan dulu isi kepala mereka dalam ekspresinya pada kita.
Ingat untuk jangan sampai terbawa emosi, lebih baik untuk mengalah di tahap ini dan memenangkan tahap akhir daripada mengikuti emosi di tahap ini dan melampiaskan emosi, yang membuat kita merasa menang sesaat padahal kita kehilangan lebih banyak peluang besar di akhir-akhir nanti.
Berikutnya, yaitu tahap keempat, yaitu ‘permisi’ atau ‘meminta ijin’, tahap ini bisa kita lakukan kalau kelihatannya isi kepala mereka sudah terkuras habis keluar atau mereka sudah mendapatkan giliran yang cukup untuk berbicara, biasanya hal ini terlihat dari intensitas emosi yang menurun, napas yang melambat atau sikap yang lebih tenang.
Disinilah kita menciptakan ijin dengan bertanya kalimat retoris: “Sehubungan dengan hal ini, karena Bapak/Ibu sudah menjelaskan dengan lengkap, agar lebih jelas dan penyelesaiannya pun baik, boleh kalau saya juga sedikit menjelaskan situasi yang sedang berlangsung sambil memastikan hal-hal yang perlu diantisipasi?”
Mungkin terdengar sederhana: kita meminta ijin, bahkan mungkin ada yang berpikir bahwa tidak perlu minta ijin, kan mereka sudah berkesempatan bicara, sekarang giliran kita.
Betul, secara mendasar bisa saja begitu, hanya saja proses ini dilakukan bukan tanpa sebab, melainkan sebagai cara mengkondisikan pikiran bawah sadar mereka agar siap mendengarkan, begitu mereka menjawab ‘Boleh’, atau ‘Silakan saja’, maka saat itu mereka secara tidak sadar sudah menyerahkan kendali untuk kita berbicara dan mereka dalam posisi siap mendengarkan.
Jadi jangan remehkan proses ‘bertanya dan meminta ijin’ ini ya, justru teknik ini sangat powerful sekali untuk meningkatkan ketajaman proses komunikasi yang kita ingin mereka dengarkan, saya sering menggunakan teknik ini dalam proses terapi, konseling dan coaching untuk menegaskan pesan pada klien bahwa yang akan saya tanyakan berikutnya sangat penting sampai-sampai saya harus meminta ijin dulu sebelum menanyakannya, hal ini membuat klien lebih fokus pada pertanyaan berikutnya yang saya berikan.
Oke, langkah kelima sekarang, yaitu ‘isi’, maksudnya sederhana: ya disinilah penjelasan kita berikan, atau isi pesan kita tegaskan. Kalau semua proses sebelumnya sudah dilakukan dengan baik maka seharusnya tahap ini berjalan tanpa banyak hambatan berarti.
Menyampaikan isi ini hendaknya disampaikan dengan santun, dengan pilihan kata yang mudah dipahami oleh mereka sesuai level berpikirnya. Hindari kata ‘tapi’ ketika akan menyampaikan isi pesan, karena ia menganulir apresiasi!
Misalnya begini, Anda sudah mengapresiasi dan memvalidasi dengan baik, mereka juga merasa nyaman karenanya, lalu mengucapkan ‘tapi’, ini sama saja dengan menganulir apresiasi dan validasi yang sudah mereka dengar.
Bayangkannya begini: seseorang menuji Anda, “Kamu itu ganteng, cantik, baik, supel, rajin, tapi…” Nah, sekarang semua pujian tadi jadi tidak berarti karena sekarang Anda fokus pada hal buruk yang akan muncul menyertai ‘tapi’ tadi kan?
Maka hindari kata ‘tapi’, fokus saja melatih diri menyampaikan isi tanpa awalan ‘tapi’, fokus saja pada penjelasan yang jelas dan sesuai level berpikir mereka, isi penjelasan ini haruslah sesuai dengan kepentingan mereka, Anda bisa mulai memberikan ide dan masukan disini, yang jelas ide dan masukan ini harus disertai fakta-fakta yang bisa membuat mereka merasa penting untuk menerima ide dan masukan itu, dengan kata lain: ide dan masukan itu harus ada manfaat jelasnya untuk mereka, kalau tidak ada maka ya sulit memberikan masukan itu, mereka saja tidak merasa ada kepentingan untuk menerimanya.
Nah, langkah kelima ini bisa dilakukan berbarengan dengan langkah keenam, yaitu ‘interaksi’, artinya penjelasan yang kita sampaikan pada mereka bukan penjelasan satu arah, tapi penjelasan yang interaktif, selang beberapa penjelasan kita melontarkan pertanyaan pada mereka, pertanyaan ini bisa berupa pertanyaan, seperti ‘Betul?’ atau ‘Apakah begitu?’ Atau bisa juga pertanyaan yang memang ditujukan untuk membuat mereka menanggapi.
Tahap kelima dan keenam tadi juga termasuk satu paket dengan tahap ketujuh, yaitu tahap ‘opsi’, disini kita mulai menyatakan butir-butir pilihan yang bisa kita ajukan sebagai pilihan ide yang kita ‘ajukan’ atau sarankan pada mereka dan menjelaskan lebih jauh lagi dampak dari setiap opsi itu, artinya: tahap kelima, keenam dan ketujuh ini bisa juga berputar-putar cukup panjang karena ada interaksi berulang di dalamnya.
Disini lihat reaksi mereka, kalau interaksi mereka mulai ‘menurun’: cara mereka berbicara tidak lagi seintens di awal maka tandanya isi kepala mereka memang sudah keluar semua tadi, dan isi penjelasan kita sudah mulai bisa diterima dengan cukup baik oleh mereka.
Mungkin tidak langsung mereka setujui, tapi paling tidak bisa mereka pahami, itu saja dulu! Jangan ingin instan langsung membuat seseorang berubah dalam pemikiran tertentu, lakukan saja bertahap, mulai dengan membuat mereka paham saja dulu, bisa jadi mereka perlu ruang dan waktu khusus sebelum kemudian memutuskan, kalau pun mereka tidak bisa menyetujuinya sekarang mereka akan merasa ‘berhutang’ harus menjelaskan balik pada Anda alasan di balik ketidaksetujuannya, inilah yang membuat proses komunikasi nantinya membaik karena selalu ada proses menjelaskan satu sama lain yang meminimalisir asumsi negatif.
Langkah kedelapan, yaitu ‘konklusi’ atau ‘kesimpulan’, ini juga merupakan hal sederhana yang tidak kalah pentingnya, yaitu tahap menutup pembicaraan. Ingat, semua tahap tadi itu bisa berputar-putar, bisa saja di akhir pembicaraan mereka sendiri malah bingung atau lupa dengan isinya.
Yang cenderung kita ingat dari sebuah pembicaraan adalah isi pembicaraan terakhir sebelum kita menutupnya, maka di penutupan ini pastikan kita merangkum isi pembicaraan sampai ke opsi-opsi yang diajukan atau disarankan, agar kesimpulan akhir inilah yang mereka ingat dan jadikan bahan pertimbangan, kalau pun mereka tidak membuat keputusan saat itu paling tidak informasi penting yang kita harapkan mereka ingat sudah kita rangkum di akhir pembicaraan agar menjadi informasi yang paling mereka ingat.
Tahap terakhir yaitu ‘impresi’, sebetulnya ini serupa dengan tahap kedua tadi, yaitu apresiasi, intinya kita menutup pembicaraan dengan kesan positif, bisa dengan berterima kasih atau memberikan apresiasi sejenis lainnya, yang jelas menjadikan orang itu mengakhiri pembicaraan bersama kita dengan kesan positif, kesan positif inilah yang diharapkan membantunya berubah menjadi lebih setuju dengan yang kita sampaikan.
Nah, demikian penjelasan penutup dari episode ‘menghadapi orang yang menyebalkan’ ini, ingat bahwa kita tidak bisa mengubah sikap orang lain, tapi kita bisa mengubah sikap kita atas mereka, harapannya adalah ketika sikap kita berubah maka sikap mereka pun kelak berubah dengan sendirinya secara bertahap.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.