Episode 67 – Siapa Sebenarnya Yang Menyakitimu?
Beberapa waktu lalu, saya membantu seorang klien melepaskan sebuah beban emosi atas kejadian yang dirasa menyakitkannya.
Dalam kenyataannya, sebagai manusia wajar adanya jika kita merasa tersakiti oleh ulah orang lain yang kita rasa menyakiti kita.
Pertanyaannya, benarkah perilaku mereka yang menyakiti kita?
Klien saya sendiri merasa heran mendapati pernyataan saya bahwa bukan perilaku mereka yang sebenarnya menyakiti kita.
Jadi siapa sebenarnya yang menyakiti diri kita?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga segala ibadah yang dijalankan menjadi bekal kebaikan bagi diri-sendiri dan juga bagi mereka yang dikasihi.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keenampuluhtujuh Life Restoration Podcast berjudul ‘Siapa Sebenarnya Yang Menyakitimu? ’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Siapa Sebenarnya Yang Menyakitimu?
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode enam puluh tujuh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, episode ke-67 kali ini, di minggu kedua bulan April tahun 2022.
Mengingat di minggu dimana episode ini diunggah masih dalam momentum bulan Ramadhan, maka tidak lupa saya juga mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, semoga selalu dilancarkan dan diberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa ini, dari awal sampai selesai nanti.
Baiklah, seperti biasa tentunya, yang akan kita angkat di episode kali ini pun adalah bahasan yang pastinya relevan dengan berbagai temuan terkini dalam aktivitas yang saya jalankan, yaitu aktivitas memfasilitasi prosesi coaching, konseling dan terapi pada para klien saya, di kantor praktik saya di Bandung.
Saya mulai dari awal mula kisah dulu lah ya, jadi begini, beberapa waktu lalu saya membantu seorang klien melepaskan beban emosi yang mengganggunya untuk sekian tahun lamanya.
Klien saya ini pernah merasa tersakiti oleh ulah dari salah satu sanak familinya yang menurutnya menghinanya di depan keluarga besarnya.
Singkat cerita, di kejadian itu ia sedang berkumpul bersama keluarga besarnya, ketika sedang berkumpul dan bercanda-tawa seperti biasa, tanpa disengaja ia menumpahkan minuman, yang kemudian mengenai tas salah seorang sanak familinya.
Nah, dari sanalah masalah bermula, sanak familinya itu marah dan memaki-makinya dengan kata-kata yang tidak pantas di depan keluarga besarnya.
Spontan suasana berubah, yang semula ceria menjadi tidak karuan, sanak famili itu entah beranjak kemana, sementara klien saya ini, yang masih terkejut dan tidak menyangka akan mengalami kejadian itu seperti terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah lebih bisa mengendalikan diri, klien saya ini tidak banyak berkata apa-apa, ia terus memutuskan untuk pergi dan segera pulang.
Sepanjang perjalanan pulang ia hanya bisa bengong, dampak dari keterkejutan itu agaknya masih cukup terasa baginya, baru ketika sampai rumah ia mulai menangis dan bersikap emosional, berbagai respon emosi muncul dalam dirinya, rasa kesal, rasa marah, rasa bodoh, rasa menyesal dan banyak lagi, semua itu muncul tanpa bisa ditahannya.
Singkat cerita lagi, sejak saat itu ia tidak pernah mau berkumpul bersama keluarga besarnya, setiap kali ada acara kumpul keluarga atau acara bertemakan sejenisnya ia selalu mencari-cari alasan untuk menghindar.
Bertahun-tahun berlalu, klien saya ini merasa sedemikian sakit hatinya pada kejadian itu, ia merasa tidak bisa terima, banyak hal berkecamuk dalam dirinya, berbagai perasaan muncul silih berganti, mulai dari perasaan bodoh kenapa bisa-bisanya ceroboh menumpahkan minuman, perasaan kesal kenapa sanak familinya itu harus sedemikian reaktifnya bersikap, sampai-sampai harus melontarkan kata-kata yang tidak pantas di depan keluarga besarnya, perasaan kesal kenapa keluarganya yang lain hanya diam saja, tidak menengahi atau melakukan suatu hal apa pun untuk menyelesaikan kejadian itu, juga perasaan menyesal dan tidak bisa terima kenapa ia hanya diam saja, kenapa dulu ia tidak sekalian saja melawan balik dan meributkan peristiwa itu sekalian, paling tidak ia tidak harus merasa terhina oleh sikap sanak familinya itu.
Singkat cerita lagi, beberapa minggu lalu, sanak familinya itu meninggal, klien saya ini merasakan perasaan yang semakin tidak karuan, berbagai rekaman rasa itu muncul kembali dalam dirinya dan membuatnya jadi serba salah, ia merasa tidak seharusnya terus memendam rasa kesal dan bencinya atas kejadian itu, atas perilaku sanak familinya yang ia rasa menyakitinya itu, tapi ya begitulah, tetap saja ia tidak kuasa mengendalikan dorongan kemarahan dan kebencian atas peristiwa itu.
Dalam perkembangannya, klien saya ini mengetahui saya dari salah seorang temannya yang pernah menjalani sesi terapi dan coaching bersama saya, maka ia pun memutuskan menghubungi saya dan meminta bantuan untuk mengatasi permasalahan emosi yang berdampak negatif, yang ingin bisa dilepaskannya itu.
Begitulah, setelah menjalani sesi konsultasi dan mengisahkan garis besar permasalahannya dan saya juga menyatakan kesiapan membantunya maka dimulailah sesi penanganan untuk membantunya melepaskan beban emosi itu.
Mengenai teknis dari jalannya penanganan ini saya tidak bahas lah ya, karena isinya akan cukup teknis dan membahas berbagai teknik, yang akan saya bahas adalah esensinya saja, terutama yang berhubungan dengan pembicaraan yang saya lakukan bersamanya yang akhirnya membuka pola pikirnya, sampai ia kemudian bisa melepaskan beban emosi yang semula sedemikian menyakitkannya itu, sampai merasa ringan setelahnya.
Di pembicaraan yang saya lakukan bersamanya, pertanyaan yang saya ajukan adalah “Apa yang membuat kamu kesal dan marah padanya?” dan jawaban dari klien saya ini, seperti Anda mungkin bisa duga, yaitu “Karena dia telah menghina dan menyakiti saya.”
Disinilah saya kemudian menanyakan satu pertanyaan yang mungkin membingungkannya, pertanyaan saya yaitu “Siapa sebenarnya yang menyakitimu? Benarkah dia yang menyakitimu?”
Nah, seperti Anda juga mungkin bisa duga, muncullah ekspresi bingung darinya, ia lalu menegaskan “Jelas saja Coach, ia menyakiti saya di kejadian itu dengan mengatakan hal-hal yang tidak pantas di depan keluarga besar saya.”
Saya lalu bilang, “Nanti dulu, kita pisahkan dulu ya, dia mengatakan hal yang tidak pantas di depan keluarga besar, itu sesuatu yang mungkin memang terjadi saat itu, tapi kemudian merasa tersakiti, itu belum tentu karena perbuatannya, bisa jadi rasa sakit itu muncul dari dirimu sendiri.”
Makin bingung lah ekspresinya, saya tidak langsung menjelaskan, tapi lanjut bertanya pada klien saya ini, “Begini, saya tidak membela siapa pun di sini ya, tujuan saya adalah membantu kamu sesuai dengan disiplin keilmuan yang saya kuasai. Nah, untuk itu, saya ingin membantu kamu memperluas cara pandang kamu terlebih dahulu sebelum kita memulai prosesnya.”
“Kalau sepanjang yang kamu tahu, sanak famili yang menghina kamu dulu itu orangnya bagaimana kesehariannya?”
Klien saya ini menjawab “Ya, saya tidak terlalu kenal sih, tapi yang saya tahu orangnya memang banyak masalah, agak stres begitu lah kurang lebih.”
Saya lalu menyambung lagi, “Kalau begitu, tindakan dia di situ karena dia ingin menyakiti kamu atau karena dia yang memang dasarnya sakit?”
Kali ini klien saya ini mulai terdiam, saya lalu menyambung menggunakan ilustrasi yang sering saya gunakan bersama para klien saya, ilustrasi ini adalah tentang “teko dan isi”.
Bayangkan sebuah teko yang tertutup dan kita tidak bisa melihat isinya, teko ini lalu dituangkan dan mengeluarkan kopi, kira-kira apa isinya? Ya sudah pasti kopi kan.
Kalau sekarang teko ini dituangkan dan mengeluarkan teh atau susu, kira-kira apa isinya? Ya sudah pasti teh atau susu kan, begitu juga kalau dituang dan mengeluarkan air, sudah pasti isinya air.
Artinya apa? Sikap yang keluar dari diri seseorang mencerminkan isi dalam diri orang itu, mereka yang dirinya penuh berisi kebahagiaan akan mengeluarkan sikap yang membahagiakan juga, karena memang itu isi yang ada dalam diri mereka dan akan keluar dengan sendirinya ketika dituangkan.
Begitu juga ketika diri seseorang dipenuhi rasa sakit atau tersakiti, maka mereka akan mengeluarkan sikap menyakiti ketika isi dalam dirinya dituangkan.
Apakah mereka bermaksud menyakiti orang lain? Belum tentu, hal itu terjadi karena memang hanya hal itu yang ada dalam diri mereka, tidak banyak pilihan tersedia dalam diri mereka, maka hal itulah yang keluar ketika isinya dituangkan.
Dari ilustrasi itu klien saya ini terdiam lebih lama, tapi ia lalu kembali menjawab “Tapi kan ia mempermalukan saya di depan keluarga besar saya.”
Lagi-lagi saya hanya menggunakan pertanyaan sederhana, “Apa betul begitu? Kalau dipikir-pikir, ia sedang mempermalukan kamu atau ia sedang mempermalukan dirinya sendiri?”
Nah, makin terdiamlah ia kali ini.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa saya menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam sesi bersama klien.
Alasannya sederhana, karena pertanyaan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membuka cara pandang seseorang, itu yang menjadikan seorang Coach, Konselor atau Terapis hendaknya luwes dan cakap dalam mengajukan pertanyaan pada kliennnya, dan bukan pernyataan, karena kita memang bukan sedang menasihati mereka, melainkan membuka cara pandang mereka, agar lebih bisa memandang situasi yang dialaminya dengan sudut pandang yang lebih bermanfaat.
Ketika kita memberikan pernyataan, maka pernyataan itu akan langsung beresonansi dengan cara pandangnya saat itu, bukan tidak mungkin muncul perdebatan sebagai respon atas pernyataan itu nantinya.
Tapi lain dengan pertanyaan, ia justru memancing rasa penasaran dalam diri pendengarnya untuk menemukan jawabannya, di momen ia sedang mencari jawaban ini maka ia memasuki mode bertanya-tanya dalam dirinya dan bahkan memasuki mode berdebat dengan dirinya sendiri untuk bisa mengeluarkan jawaban yang paling menjawab pertanyan itu, momen ketika ia sedang masuk ke dalam dirinya itulah yang membantunya untuk bisa memperluas cara pandangnya dengan lebih efektif.
Begitu juga dengan klien saya tadi, pertanyaan-pertanyaan itu memang sengaja ditujukan untuk menstimulus dirinya agar bisa mengadaptasi cara pandang lain yang lebih membawa manfaat baginya, agar lebih bisa melepaskan beban emosinya dengan lebih efektif nanti.
Setelah memberinya berbagai pertanyaan yang ditujukan untuk membantunya mengubah cara pandangnya itulah saya lalu merangkumnya menjadi kalimat yang lebih menegaskan, yaitu, “Oke jadi begini, pertanyaan saya tadi adalah siapa yang sebenarnya menyakitimu? Apakah sanak familimu itu memang bermaksud menyakitimu, atau karena memang ia adalah pribadi yang sakit, yang sedang mengeluarkan rasa sakitnya? Berikutnya, kamu merasa ia mempemalukanmu di depan keluarga besarmu, lagi-lagi, apakah ia sedang mempermalukan kamu atau dirinya sendiri? Apa menurut kamu tanggapan keluarga besar kamu melihat perilaku yang tidak pantas seperti itu?”
Saya sambung lagi, “Artinya, yang selama ini menyakiti kamu bukan dirinya dan bukan perilakunya, tapi kamu sendiri yang menyakiti dirimu sendiri. Pertama, yaitu dengan memaknai atau memandang semua itu dengan sudut pandang yang dengan sendirinya membuat kamu merasa tersakiti karena semua sudut pandang itu membentuk skenario seperti itu.”
“Yang lebih penting lagi adalah, katakanlah ia memang benar-benar menyakiti kamu dengan tindakan yang tidak pantas tadi. Jangan lupakan bahwa kejadiannya memang benar-benar terjadi, tapi kejadian itu terjadi satu kali, saat itu, setelahnya kejadian itu sudah berlalu, tapi kamulah yang mengulang-ngulang kejadian itu berkali-kali dalam benak kamu, dengan sudut pandang yang menyakitkan tadi.”
“Jadi, siapa sebenarnya yang menyakitimu?”
Kali ini klien saya mulai tersadarkan dan tercerahkan, ia mulai menyadari bahwa selama ini bukan perilaku sanak familinya itu yang menyakitinya, melainkan dirinya sendiri, ialah yang menyakiti dirinya sendiri dengan sudut pandang yang menyakitkan yang dilekatkannya pada kejadian itu, dan ia juga yang mengulang-ngulangnya berkali-kali dalam pemikirannya sendiri, kali ini tanggungjawab atas keberadaan emosi itu sudah menjadi miliknya sepenuhnya, maka dari sinilah proses pelepasan emosi yang dilakukan dengan teknik lanjutan kemudian berjalan dengan lebih mudah dan lancar.
Demikian kisah sederhana yang saya angkat kali ini, mari fokus pada pembelajaran pentingnya, bahwa ketika kita merasa tersakiti oleh ulah atau perilaku seseorang, hendaknya kita merenungkan, siapa sebenarnya yang menyakiti kita?
Pada akhirnya akan kita sadari bahwa yang menyakiti atau membuat diri kita tersakiti sebenarnya adalah diri kita sendiri dan bukan orang lain atau peristiwa di luar diri kita.
Kenapa demikian? Mari kita sadari bahwa Tuhan memberikan satu hal yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya, yaitu akal, sebuah ruang untuk memilih dan berkehendak.
Kita tidak bisa mengatur kejadian di luar diri kita, tapi mari sadari bahwa kita selalu punya pilihan untuk bisa memandang kejadian itu dari sudut pandang yang lebih membawa manfaat.
Seperti klien saya tadi contohnya, ketika ia memandang bahwa perilaku sanak familinya menyakitinya maka ia sedang menggantungkan dirinya pada peristiwa di luar dirinya, yang menyakitinya adalah sesuatu di luar dirinya, maka tidak banyak yang bisa ia lakukan dengan peristiwa itu, apalagi peristiwa itu sudah lama berlalu.
Tapi lain ketika ia bisa memandang bahwa bukan perilaku sanak familinya yang sebenarnya menyakitinya, melainkan ia sendiri yang menyakiti diriya sendiri dengan memandang kejadian itu dengan sudut pandang yang memaknai itu sebagai kejadian yang menyakitkannya, ketika ia bisa melakukan ini maka sekarang ia tidak lagi menggantungkan dirinya pada kejadian di luar dirinya, karena penyebab dari rasa sakitnya adalah sikapnya sendiri maka ia lebih memiliki kendali kali ini untuk bisa mengubah sikapnya sendiri.
Ia tidak bisa mengubah sikap orang lain, tapi ia bisa mengubah sikapnya sendiri, yang mana kira-kira yang lebih bisa di kendalikan dan lebih pasti bisa di lakukan dengan daya-upaya sendiri? Sikap diri sendiri kan? Maka itulah penting untuk kita memfokuskan atensi bahwa diri kitalah yang menjadi penyebab dari berbagai respon perasaan dan pemikiran dalam diri kita, maka kitalah yang hendaknya bertanggungjawab untuk mengubah cara pandang dalam diri kita yang menyebabkan munculnya berbagai respon pemikiran dan perasaan itu.
Ketika klien saya ini memaknai “perilaku sanak familinya menyakitkannya” maka inilah yang diyakininya, tapi ketika ia memaknainya sebagai “perilaku sanak familinya hanyalah ungkapan rasa sakit dalam diri mereka sendiri atas berbagai permasalahan yang dialaminya”, maka akan muncul respon yang berbeda.
Perhatikan bahwa dengan mengubah sudut pandang atas sesuatu yang terjadi saja kita sudah bisa mengubah respon kita atas peristiwa itu, kalau sekarang sudut pandang yang sudah berubah ini kita ulang-ulang sekali pun tidak akan menjadi masalah lagi kan.
Ingat, bahwa salah satu hal lain yang membuat kita merasa tersakiti adalah karena kita sendiri yang menyakiti diri kita dengan terus mengulang-ngulang hal itu dalam pemikiran kita sendiri, diulang-ulangnya pun dengan pemaknaan negatif yang menyakitkan, alhasil semakin tidak karuan lah rasanya.
Iya kejadian itu pernah terjadi dan pernah mempengaruhi kita secara negatif dulu, tapi mari ingat-ingat bahwa kejadian itu terjadi dulu, saat itu, di masa lalu, setelahnya kita sudah tidak lagi mengalami kejadian itu dalam kenyataan hidup yang sebenarnya, tapi kemudian ingatan atas kejadian itu kita putar berulang-ulang dalam pikiran kita, alhasil kita juga yang menyakiti diri kita sendiri kan, dengan mengulangnya berkali-kali dalam pikiran kita, dengan makna yang negatif dan menyakitkan pula.
Sama juga ketika klien saya ini mulai saya ajak memaknai apakah sanak familinya mempermalukannya atau mempermalukan dirinya sendiri, yang saya lakukan sebenarnya mengajaknya menyadari bahwa dari beberapa opsi makna yang ada, kenapa dia harus memilih opsi pemaknaan yang malah membuatnya merasa tidak nyaman.
Kejadian di luar diri kita adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan, tapi kita selalu bisa memilih dengan cara apa kita akan memaknai kejadian itu, dan pada kenyataannya memang bukan kejadian di luar diri kita yang menyakitkan kita, tapi makna atau cara pandang kita sendiri atas kejadian itu.
Ketika kita bisa memilih makna yang lebih memberdayakan, maka lain juga dampak dari kejadian itu pada diri kita, sayangnya malah makna tidak memberdayakan atau yang menyakitkan, yang membatasi, yang mengekang itulah yang kita pilih untuk kita gunakan memaknai kejadian itu.
Jadi, siapa sebenarnya yang menyakiti diri kita?
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.