Episode 7 – Mengapa Sulit Untuk Bisa Memaafkan (dan Bagaimana Agar Bisa)
Memaafkan adalah proses yang sangat sakral, di dalamnya tersimpan sebuah proses yang sangat kompleks yang bersifat ‘membebaskan’.
Memaafkan berarti mengurai rasa negatif di sistem kesadaran kita, ia juga melepaskan energi negatif yang menempel di medan energi atau vibrasi diri kita, memaafkan berarti membebaskan diri untuk naik kelas ke tingkat evolusi kesadaran yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik.
Namun fenomenanya, memaafkan ini bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang, mereka terjebak dengan dilema antara satu bagian kesadaran dalam diri yang tahu betul pentingnya melepaskan emosi negatif yang membebani dirinya dengan bagian kesadaran lain yang tidak bisa memaafkan.
Apa saja lima hal yang membuat kita sulit memaafkan? Bagaimana memahami lima langkah ini agar kita justru jadi bisa memaafkan?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketujuh Life Restoration Podcast berjudul ‘Mengapa Sulit Untuk Bisa Memaafkan (dan Bagaimana Agar Bisa)’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Mengapa Sulit Untuk Bisa Memaafkan (dan Bagaimana Agar Bisa)'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode ketujuh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast. Seperti biasa, tentunya semoga Anda sekalian selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Tiba di episode ketujuh kali ini, tetap dengan tujuan menginspirasi Anda sekalian para pendengar podcast ini dalam proses restorasi kehidupan, mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati-diri otentik Anda.
Seperti sebelum-sebelumnya, ada beberapa keterhubungan dari apa yang akan kita bahas di episode kali ini dengan yang sudah kita bahas di episode sebelumnya.
Di episode sebelumnya, saya mengulas berbagai hal tentang cara melepaskan luka batin dan berdamai dengan masa lalu. Bukan perkara kecil memang, karena hal ini berhubungan dengan banyak sekali aspek kehidupan yang kita jalani.
Luka batin adalah perkara yang sangat menyedot energi psikis kita dalam menjalani kehidupan, dari pengalaman saya memfasilitasi sesi coaching, konseling dan terapi pada beragam klien dengan beragam permasalahan, ada begitu banyak permasalahan fisik yang dilatari oleh luka batin ini.
Saya teringat salah satu kasus yang dialami seorang klien saya, yang terganggu oleh rasa sakit berkepanjangan yang sedemikian menyiksa pada bagian dadanya, seperti rasa nyeri yang sulit untuk dijelaskan, rasa sakit atau nyeri itu terasa tapi sulit untuk menjelaskan mengapa rasa sakit atau nyeri itu menyerang. Klien saya ini lantas memeriksakan kondisinya ke dokter namun setelah menjalani serangkaian pemeriksaan hasilnya lantas menyatakan sesuatu yang aneh: tidak ada yang salah dengan dirinya!
Anda tidak salah dengar, di balik rasa sakit dan nyeri yang sangat menyiksa itu tidak ada yang salah dengan dirinya, tidak ada gangguan fungsi organ atau gangguan medis lain apa pun.
Terdengar aneh? Bagi kebanyakan orang mungkin begitu. Yang jelas, karena gangguan yang dialaminya tidak bersifat medis, maka besar kemungkinan masalah yang dialami oleh klien saya ini adalah jenis masalah psikosomatis, atau masalah fisik yang bermula dari pikiran, atau tepatnya permasalahan emosional-psikologis.
Saya lalu meminta klien saya ini berkonsultasi terlebih dahulu terhadap dokter yang menanganinya apakah ia boleh menjalani prosesi hipnoterapi, karena dokter yang menanganinya sendiri tahu bahwa masalah yang dialaminya adalah psikosomatis maka dokternya pun memperbolehkannya untuk menjalani sesi hipnoterapi, terlebih setelah mengetahui bahwa layanan yang saya sediakan adalah layanan resmi yang diketahui oleh Dinas Kesehatan.
Dari sesi penanganan yang saya fasilitasi pada klien saya ini, ditemukanlah luka batin yang ‘bersarang’ di pikiran bawah sadarnya, yang bersumber dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan terhadap mendiang keluarganya, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Masih di sesi terapi yang sama, saya juga menggali informasi lebih lanjut pada pikiran bawah sadarnya apakah karena luka batin ini rasa sakit itu dirasakannya. Anda bisa menebak hasilnya, demikianlah alasannya, ternyata masalah sakit fisik yang dialami klien saya ini memang bermula dari luka yang tanpa disadari terus bersarang dalam batinnya.
Bukan perkara mudah membantu klien saya ini melepaskan luka batinnya, bertahun-tahun ia memendam semua itu, sampai kemudian rupanya ‘wadah’ dirinya atau tubuh fisiknya tidak kuat lagi menahan akumulasi beban itu sampai kemudian rasa sakit itu pun muncul.
Agar Anda bisa memahami fenomena ini dengan baik, perlu kita pahami bahwa manusia adalah makhluk yang holistik, atau ‘utuh’, kita memiliki sirkuit yang saling terhubung satu sama lain antara tubuh fisik dan pikiran, apa yang kita rasakan secara emosi akan mempengaruhi tubuh kita secara fisik dan begitu juga yang kita rasakan secara fisik akan mempengaruhi respon mental-emosional kita.
Coba amati saja mereka yang sedang stres, seperti apa raut wajahnya, seperti apa postur dan gestur tubuhnya, sangat mungkin Anda akan bisa melihat betapa penampakkan fisik dari mereka yang stres akan menunjukkan gejala ‘tidak biasa’, entah itu nampak lemah, letih, lesu, bisa juga bahkan sampai menunjukkan gejala tidak stabil yang terlihat sakit.
Dari contoh itu saja kita bisa melihat bahwa apa yang kita rasakan atau pendam secara emosional akan mempengaruhi tubuh fisik kita secara signifikan, dari sana juga bermunculan banyaknya ragam jenis penyakit fisik, yang padahal bermula dari pikiran, atau istilah resminya: psikosomatis.
Bagaimana dengan sebaliknya, kondisi fisik yang mempengaruhi respon mental-emosional? Yang satu ini seharusnya cukup jelas dan mudah kita temukan di sekitar kita, terutama pada kaum wanita, contohnya yaitu ketika mengalami periode menstruasi bulanan, seperti apa kondisi mental-emosionalnya ketika sedang mengalami situasi ini? Anda tentu tahu jawabannya, betapa kondisi hormonal dalam diri seseorang sangat mempengaruhi respon mental-emosional yang dihasilkannya.
Secara umum, apa yang Anda alami ketika sedang sakit namun ada seseorang yang membicarakan topik yang Anda tidak sukai? Anda bisa merasakan diri Anda lebih sensitif secara emosional bukan?
Nah, itulah kira-kira keterhubungan dari tubuh fisik dan pikiran, saya lebih suka menjelaskannya dalam ilustrasi sederhana seperti itu di podcast saya ini. Saya memang membedakan gaya penjelasan di setiap media informasi yang saya berikan, podcast menjadi sarana saya berbagai inspirasi secara audio yang diupayakan disampaikan sesederhana mungkin dengan ilustrasi dan kisah-kisah, sementara untuk bahasan-bahasan yang agak mendalam dan ada kalanya mengulas literatur saya letakkan di artikel, sehingga mereka yang menyukai bahasan jenis ini bisa meluangkan waktu untuk membaca berulang di setiap paragrafnya dan menemukan referensinya di dalamnya.
Begitu juga bahasan kali ini, cukup kiranya saya membahas bagaimana ilustrasi dari keterhubungan tubuh fisik dan pikiran, mari kembali ke kasus yang dialami klien saya tadi. Setelah melalui proses yang tidak mudah, klien saya ini akhirnya bisa melepaskan luka batin yang bersarang dalam pikirannya, ia bisa memaafkan keluarganya yang dianggapnya menyakitinya, dan terjadilah keajaiban, masih di sesi yang sama ia langsung merasakan betapa rasa sakit yang selama ini dirasakannya hilang tidak berbekas.
‘Keajaiban dari memaafkan’, atau ‘the miracle of forgiveness’, Anda mungkin pernah mendengar kalimat tersebut, itulah yang dialami klien saya, ketika ia bisa memaafkan mereka yang dirasanya pernah menyakitinya ternyata dampaknya bisa langsung ia rasakan.
Bagi saya, memaafkan adalah proses yang sangat sakral, di dalamnya tersimpan sebuah proses yang sangat kompleks yang bersifat ‘membebaskan’.
Memaafkan berarti mengurai rasa negatif atau saya lebih suka menyebutnya sebagai mengurai energi negatif yang menempel di medan energi kita dan menyabotase kualitas hidup kita.
Jika Anda masih ingat pada bahasan di episode kedua tentang ‘hukum semesta’, saya sudah mengulas betapa manusia adalah ‘makhluk energi’, diri kita yang bisa disentuh secara fisik ini jika diurai sampai ke strukturnya yang terkecil akan berakhir di sebuah struktur terkecil yang disebut energi, bukan sebatas energi biasa, namun energi yang bergetar dengan karakter getarannya yang khas, yang membuatnya juga dikenal sebagai ‘vibrasi’.
Masih di episode kedua juga, saya sudah membahas bagaimana apa yang disebut vibrasi ini sangat berpusat pada pikiran dan perasaan kita, disinilah manusia dianugerahi suatu karunia yang menjadikan kita berbeda dengan makhluk lain, yaitu diberikannya ‘kehendak bebas’ atau ‘akal’, yang menjadikan kita lebih bisa mengendalikan medan vibrasi dalam diri kita.
Tapi manusia juga punya keterbatasan, ada saja perkara-perkara yang mungkin tidak bisa kita kendalikan secara sadar, karena ia berjalan begitu saja sebagai suatu kebiasaan otomatis, dimana kebiasaan ini tersimpan di level yang kita sebut sebagai pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar adalah pusat dari segala pemikiran kita, dimana porsi kekuatan dari pikiran bawah sadar ini adalah 90% jika dibandingkan dengan pikiran sadar yang hanya sebesar 10%, artinya 90% vibrasi kita ditentukan dari apa yang ada di pikiran bawah sadar.
Di sepanjang perjalanan kehidupan yang kita alami, tentu ada kalanya kita mengalami berbagai peristiwa yang kita rasa tidak nyaman, tidak suka, benci dan membuat kita kecewa, atau kita lebih sering menyebutnya sebagai ‘luka batin’.
Dalam prosesnya, luka batin ini sering kali terakumulasi di pikiran bawah sadar, kita tidak lagi mampu mengingat kejadian yang membentuknya secara sadar, tapi tetap saja energi negatif yang terbentuk dari akumulasi peristiwa itu sudah terlanjur menjadi bagian dari medan vibrasi kita.
Jika tadi kita sudah membahas bagaimana pikiran dan perasaan mempengaruhi kondisi fisik, kita juga tidak boleh melupakan bahwa sebagai makhluk holistik atau ‘utuh’, diri kita ini juga memiliki medan energi atau ‘medan vibrasi’ yang berpusat pada apa yang kita pikirkan dan rasakan, disinilah energi negatif yang melekat di medan vibrasi ini turut mempengaruhi struktur diri kita secara fisik dan kelak menjadi penyakit.
Memaafkan menjadi proses yang sakral karena ia mengurai rasa, ia membersihkan medan vibrasi kita dari energi negatif yang selama ini menempel padanya, artinya semakin banyak kita memaafkan maka semakin banyak kita melepaskan muatan energi negatif yang selama ini menempel di medan vibrasi kita sehingga medan vibrasi kita semakin bersih dan energi yang kita pancarkan pada kehidupan pun menjadi lebih kuat, hal ini yang kelak membantu proses penyembuhan penyakit fisik dan bahkan mendukung terjadinya hukum semesta yang kedua, yaitu ‘hukum atraksi’ atau hukum ketertarikan dimana kita lebih mudah beresonansi dengan hal yang kita inginkan, hal ini juga yang menjadikan proses memaafkan ini seolah mendatangkan banyak keajaiban dalam hidup.
Nah, sampai sini, bisa kita sadari betapa dahsyatnya kekuatan dari memaafkan?
Masalahnya adalah, dalam beberapa kasus tertentu memaafkan ini bukanlah proses yang mudah, betul?
Saya tidak tahu dengan Anda, tapi secara pribadi dalam praktik yang saya jalani saya menjumpai begitu banyak klien yang mengatakan dengan terus terang bahwa mereka sulit untuk memaafkan peristiwa masa lalunya, tidak bisa memaafkan mereka yang telah menyakitinya di masa lalunya, entah kenapa sulit sekali menerima semua yang sudah terjadi.
Ada juga mereka yang menyatakan bahwa mereka sudah memaafkan peristiwa masa lalunya, mereka merasa sudah memaafkan orang-orang yang dianggap menyakitinya, namun ketika saya menggali informasi lebih lanjut ternyata luka batin itu masih ada, ternyata mereka belum bisa memaafkan secara penuh.
Ada lagi yang lebih parah, yaitu orang-orang yang ‘ngotot’ bahwa mereka merasa sudah memaafkan peristiwa masa lalunya dan orang-orang yang dianggap menyakitinya, mereka bersikeras bahwa mereka sudah memaafkan dan menolak ketika dikatakan bahwa mereka belum memaafkan, namun sama saja dengan yang sudah dibahas sebelumnya tadi, sebenarnya mereka juga belum memaafkan, mereka hanya bersikeras ingin beranggapan bahwa dirinya sudah bisa memaafkan.
Hal ini sama dengan fenomena yang kita alami di Indonesia setiap tahunnya, yaitu di setiap perayaan terbesar Umat Islam: hari raya Idul Fitri.
Anda tentu sudah familiar dengan kalimat-kalimat yang bernadakan ‘mohon maaf lahir dan batin’ yang beredar di sekitar kita di momen hari raya ini, hari raya menjadi momen dimana orang-orang saling meminta maaf dan saling memberi maaf.
Pertanyaannya adalah: apakah benar proses memaafkan terjadi dalam momen tersebut?
Jawabannya adalah: ada yang benar terjadi, namun lebih banyak yang sebenarnya tidak terjadi, karena apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang terjadi di pikiran bawah sadar.
Intinya adalah: ada tiga jenis kondisi yang dialami mereka yang kesulitan untuk memaafkan: pertama, mereka yang dengan terus terang menyatakan bahwa mereka belum bisa memaafkan. Kedua, mereka yang merasa sudah memaafkan namun ternyata proses memaafkan yang sebenarnya belum terjadi, luka batin itu masih bersarang dalam diri mereka tanpa disadarinya.
Ketiga, yang paling parah, yaitu mereka yang bersikeras bahwa mereka sudah memaafkan sampai-sampai selalu mengelak untuk menerima kemungkinan bahwa jangan-jangan mereka belum memaafkan secara penuh, yang ketiga inilah yang paling membuat repot, karena adanya ego yang enggan mengakui kenyataan, bersikerasnya mereka mengaku-ngaku bahwa mereka sudah memaafkan adalah agar ia tidak perlu merasa-rasakan ulang perasaan mereka yang sebenarnya dalam dirinya dan mendapati kenyataan bahwa mereka sebenarnya belum bisa memaafkan secara penuh.
Bagaimana cara termudah untuk mengetahui apakah kita sudah memaafkan secara penuh atau belum?
Ada dua langkah sederhana yang bisa kita lakukan, langkah pertama yaitu mengingat dan menghayati ulang peristiwa masa lalu dan orang-orang yang kita anggap menyakiti kita, lalu membuka diri untuk menyadari apa yang sebenarnya kita rasakan dalam diri kita sejujur mungkin.
Ketika melakukan ini, sadari sejujur mungkin, adakah sensasi tidak nyaman yang samar-samar dirasakan – atau malahan yang jelas sekali dirasakan – ketika menghayati ulang peristiwanya. Jika ada, maka akui dan terima saja bahwa kita memang belum bisa memaafkan secara penuh, pengakuan dan penerimaan adalah kunci penting dalam membebaskan diri kita sendiri dari luka batin ini.
Langkah kedua, yaitu dengan mendoakan mereka yang kita rasa menyakiti kita, masuklah dalam keheningan dan doakan mereka yang sudah menyakiti kita setulus mungkin agar mereka mendapatkan segenap kebaikan dalam hidupnya. Jika ketika melakukan ini Anda sudah bisa merasakan kenyamanan penuh maka besar kemungkinan Anda sudah berhasil memaafkan, namun jika ketika melakukannya ada sensasi tidak nyaman yang dirasakan, baik itu samar-samar atau pun jelas, maka masih ada proses memaafkan yang belum terselesaikan penuh.
Maka kembali ke judul dari episode podcast kali ini: mengapa sulit untuk bisa memaafkan?
Waktunya kita mengulas jawabannya, bersama jawaban ini, saya akan turut jelaskan juga cara-cara untuk melaksanakan poin-poin dari jawaban ini, mari kita mulai saja.
Terdapat lima hal yang membuat proses memaafkan menjadi sulit.
Hal pertama yaitu karena adanya kesalahpahaman dari memaafkan itu sendiri dan hal ini juga yang harus kita luruskan di awal.
Beberapa orang beranggapan bahwa memaafkan berarti kita melupakan yang terjadi, menyetujui yang terjadi atau bahkan mengijinkan hal yang menyakiti kita terjadi lagi dalam hidup kita.
Semua itu salah, memaafkan bukanlah berarti kita melupakan yang terjadi, melupakan tidak menyelesaikan persoalan, bahkan sering kali menjadi persoalan baru, karena meski secara sadar kita berusaha melupakan tetap saja di pikiran bawah sadar dan medan vibrasi kita luka itu tidak hilang, bahkan ia terakumulasi menjadi masalah yang lebih besar.
Memaafkan adalah proses mengurai rasa sakit yang menyertai sebuah peristiwa, yang kita lepaskan adalah rasa sakitnya, bukan peristiwanya, justru di akhir prosesnya yang kita lakukan untuk menguji apakah memaafkan sudah terjadi secara penuh yaitu dengan mengingat kembali peristiwanya dan menyadari yang kita rasakan, sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya.
Memaafkan juga bukan berarti menyetujui yang terjadi atau mengijinkan hal yang menyakiti kita terjadi lagi dalam hidup kita. Justru sebaliknya, kita belajar dari peristiwa itu agar tidak perlu terjadi lagi dalam hidup kita, namun kita meresponnya dengan sikap mental yang bebas dari belengu atas peristiwa itu.
Jika kejadian serupa terjadi lagi, maka kita bisa meresponnya dengan cara berbeda, kita lebih bijak, lebih rasional dan lebih matang dalam membuat keputusan tanpa dihantui bayang-bayang peristiwa masa lalu.
Contoh dari hal ini yaitu peristiwa yang dialami klien saya, seorang wanita yang jika anaknya membuat rumah berantakan maka ia secara spontan langsung marah dengan hebatnya, karena kejadian itu tanpa disadari mengaktifkan kenangan luka dalam dirinya yang ketika kecil dimarahi dan disiksa oleh ayahnya karena melakukan hal yang sama, yaitu membuat rumah berantakan.
Dalam proses memaafkan, klien saya ini tidak diajak untuk melupakan yang sudah terjadi, ia juga tidak diajak untuk menyetujui yang sudah terjadi, ia justru diajak untuk melepaskan emosi negatif yang melekat menyertai kenangan itu dan belajar darinya, setelahnya ia jadi bisa memperlakukan anaknya dengan lebih baik jika ia membuat rumah berantakan, tanpa harus dibelengu oleh rasa marah yang muncul dari kenangan menyakitkannya bersama ayahnya.
Esensi dari memaafkan adalah membebaskan diri kita dari belengu masa lalu yang selama ini mengunci diri kita, maka mari sadari bahwa memaafkan adalah untuk kebaikan dan kemajuan diri kita sendiri.
Hal kedua yang membuat memaafkan menjadi sulit adalah karena kita tidak sempat jujur pada diri kita sendiri atas yang kita rasakan.
Perlu kita sadari bahwa bersama rasa marah, tersimpan rasa kecewa, sedih dan banyak lagi perasaan lain yang menyertainya, ketika kita marah karena diperlakukan tidak pantas misalnya, sebetulnya di balik rasa marah itu tersimpan kekecewaan karena tidak mendapatkan yang kita rasa pantas dapatkan, namun kita tidak sempat menghayati kekecewaan itu karena ia terlanjur berubah menjadi kemarahan.
Penting bagi kita untuk bisa memahami alasan yang sebenarnya di balik rasa marah atau luka yang kita rasakan dan mengakuinya, hal ini karena berbagai alasan ini sering kali berhubungan dengan ketidakberdayaan. Karena kita tidak berdaya atau tidak sempat mengungkapkan yang sebenarnya maka kita memendamnya, yang kita pendam inilah yang kemudian berubah menjadi kemarahan.
Di episode keenam sebelumnya, saya memberikan tips dan trik cara melepaskan luka batin yang berhubungan dengan teknik menulis, dalam proses ini kejujuran menjadi hal yang sangat penting, karena di dalamnya tersimpan ekspresi yang membebaskan energi yang selama ini terkunci.
Jujurlah pada diri kita, di balik rasa marah yang kita rasakan, ada kekecewaan apa yang sebenarnya kita rasakan di balik itu semua, yang jika dengan jujur kita akui akan mengungkap sisi lemah kita, akui dan ekspresikan saja semua itu, caranya bisa Anda lakukan dengan mengikuti yang saya paparkan di episode keenam sebelumnya.
Mari melanjutkan ke hal ketiga yang membuat proses memaafkan menjadi sulit, yaitu karena kita tidak sadar apa yang dirasakan oleh mereka yang menyakiti kita, bahwa mereka sendiri adalah orang yang terluka dan oleh karenanya membuat orang lain terluka untuk melampiaskan luka mereka sendiri.
Bayangkan sebuah teko yang ketika dituangkan mengeluarkan air, apa isi dalamnya? Tentu air bukan? Bagaimana jika teko itu mengeluarkan kopi, apa isi dalamnya? Tentu kopi bukan? Begitu juga jika ada orang yang sering mengeluarkan perilaku yang menyakiti orang lain, ada apa dalam dirinya? Yes, rasa sakit, mereka sedang menjadi korban dari rasa sakitnya sendiri dan tidak berdaya menahannya, sehingga mereka harus mengekspresikannya pada orang lain agar mereka tidak kesakitan sendirian.
Bisa lebih paham kali ini? Ternyata di balik perilaku orang lain yang membuat kita terluka, mereka sendiri sebenarnya memendam luka, hal inilah yang harus kita sadari, karena energi kasar dari kemarahan tidak bisa dihilangkan dengan energi yang sama kasarnya, melainkan dengan energi kelembutan yang bermula dari cinta-kasih, cinta-kasih ini haruslah bermula dari pemahaman, yaitu rasa memahami sesama, akan kita rasakan rasa marah itu berubah menjadi rasa kasihan.
Hal keempat yang membuat kita sulit melepaskan rasa sakit yang pernah kita alami dan memaafkan adalah karena kita belum belajar dari pengalaman yang sudah kita alami.
Tadi sebelumnya sudah saya tegaskan bahwa memaafkan bukanlah menyetujui yang terjadi, memang demikian adanya. Yang sudah terjadi tidak bisa kita ubah, namun hal itu harusnya tidak menghentikan kita untuk belajar dari kejadian itu: apa yang harus kita lakukan di kemudian hari agar kejadian itu tidak lagi terulang dalam hidup kita.
Rasa marah adalah sinyal perlindungan dari pikiran bawah sadar yang tidak menyukai apa yang kita alami. Pikiran bawah sadar selalu ingin melindungi kita, maka selama kita belum belajar dari apa yang sudah terjadi rasa marah itu akan tetap dimunculkan, agar kita tidak sembrono mengulang kesalahan yang sama, dengan mengeluarkan reaksi yang keras.
Lain ceritanya jika kita sudah belajar dari kejadian itu, pikiran bawah sadar yang sudah memahami bahwa kita sudah lebih siap akan mengendurkan naluri perlindungannya. Pikiran bawah sadar sebenarnya selalu tahu bahwa ia tidak seharusnya membebani diri kita dengan emosi negatif seperti luka batin, namun ia tidak tahu harus bagaimana, di satu sisi ia ingin menjaga kita namun di sisi lain ia tidak tahu apakah kita siap jika kejadian serupa terjadi di kemudian hari, maka rasa marah itu tetap dipertahankannya agar kalau kejadian serupa terjadi rasa marah itu bisa melindungi kita dari rasa sakit yang dirasanya tidak nyaman.
Maka apa yang harus kita lakukan dalam hal ini? Berterimakasihlah pada pikiran bawah sadar kita, lalu merenunglah, pahami ada pembelajaran apa di kejadian yang kita rasa menyakitkan itu yang seharusnya kita petik, agar kita tidak lagi mengalami kejadian sejenis di kemudian hari, setelah dapatkan pembelajarannya nyatakan pada diri kita sendiri bahwa kita berterimakasih atas perlindungannya selama ini, nyatakan bahwa kita sudah belajar dari kejadian itu dan kita mengijinkannya untuk melepaskan luka itu sekarang dan memaafkan apa pun yang sudah terjadi, karena kita sudah siap menghadapinya dengan lebih matang jika kejadian sejenis terjadi lagi di kemudian hari.
Hal kelima, dan yang paling menantang untuk bisa memaafkan, yaitu karena kita belum memaafkan diri kita sendiri.
Ya, mungkin terdengar aneh, tapi hal ini memang nyata adanya. Di balik luka yang kita rasakan, yang membuat kita sulit memaafkan sebetulnya tersimpan dua jenis kekecewaan yang kita tujukan pada diri kita sendiri, pertama yaitu kekecewaan yang kita tujukan karena bisa-bisanya kita membiarkan peristiwa dulu terjadi dalam hidup kita, ada berbagai pertanyaan yang kita sesalkan dalam diri kita yang berbunyi “Kenapa saya dulu tidak melakukan ini…kenapa saya dulu tidak melakukan itu?” dan berbagai pertanyaan lain yang pada akhirnya berujung pada penyesalan.
Kekecewaan kedua yaitu dampak dari memendam semua akumulasi luka itu selama ini, ada kekecewaan yang kita tujukan pada diri kita sendiri akibat membebani diri kita sendiri dengan rasa sakit yang tidak perlu, karena kita menyakiti diri kita sendiri.
Disinilah penting bagi kita untuk memberi maaf dan meminta maaf pada diri kita sendiri, memberi maaf pada diri kita di masa lalu karena dengan ketidaktahuan dan keterbatasannya harus mengalami peristiwa itu dan meminta maaf pada diri kita di masa kini karena selama ini membebani diri kita sendiri dengan berbagai luka yang malah menyakiti diri kita sendiri.
Nyatakan semua itu pada diri kita sebagaimana kita sedang menyatakannya pada orang yang kita sangat sayangi, Anda bisa menuliskannya, bisa juga mengheningkan cipta dan membisikkan semua kalimat memaafkan diri sendiri itu pada batin Anda sendiri.
Untuk membantu prosesnya, Anda juga bisa mendengarkan audio-sugesti Ho’oponopono yang saya unggah di episode keempat, untuk semakin memudahkan Anda menjalankannya.
Nah, demikian kira-kira isi podcast kali ini, jadi apa saja kesimpulan kita tentang langkah-langkah yang bisa kita lakukan agar bisa memaafkan sepenuhnya?
Sebagaimana sudah dibahas tadi, yaitu dengan memahami persepsi yang benar tentang memaafkan, bahwa memaafkan bukanlah melupakan, menyetujui atau mengijinkan yang sudah terjadi.
Berikutnya yaitu dengan jujur, sejujur mungkin atas apa yang kita rasakan atas apa yang menyakiti kita, ekspresikan itu dengan cara yang sudah saya berikan di episode keenam sebelumnya.
Sambil melakukannya, merenunglah dalam hati, ada kejadian apa yang dialami orang-orang yang menyakiti kita yang membuat mereka sakit dan kelak menyakiti kita, ada hal apa yang harus kita kasihani dalam hidup mereka.
Agar kita lebih ‘plong’ melepas luka itu, sadari juga ada pembelajaran apa yang harus kita petik di balik semua yang sudah terjadi agar hal itu tidak terulang dalam hidup kita, yakinkan diri kita bahwa kita sudah siap dan tidak akan membiarkan kejadian itu terjadi lagi dalam hidup kita.
Terakhir, yaitu maafkanlah diri kita sendiri, bebaskan diri kita dari belengu yang selama ini tanpa sadar kita ikat ke diri kita sendiri. Mintalah maaf dan berikan maaf dalam diri kita sendiri, itulah salah satu anugerah terbesar yang kita bisa hadiahkan pada diri kita.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.