Episode 82 – Pelaksana, Pewacana dan Perencana
Pelaksana, perencana dan pewacana adalah istilah yang saya lekatkan pada tiga jenis sosok dan keahlian yang berbeda, yaitu keahlian untuk mewacanakan, merencanakan dan melaksanakan.
Ada orang-orang yang bisa mengemukakan begitu banyak ide dan pemikiran, tapi ide dan pemikiran itu yang hanya berakhir sebagai wacana, jangankan dilaksanakan, bahkan direncanakan saja tidak itulah sang pewacana.
Ada orang-orang yang bisa menterjemahkan wacana menjadi rencana, dengan begitu banyak konsep mendetail yang menyertainya, tapi mereka kesulitan dalam berinovasi mencari wacana dan melaksanakan yang direncanakannya, inilah yang saya katakan sebagai perencana.
Ada juga orang-orang yang hanya bisa melaksanakan yang diinstruksikan, tapi tidak memiliki kreativitas untuk mengeluarkan ide dan inovasi, termasuk membuat perencanaan, mereka hanya tahu mengerjakan yang memang harus dikerjakannya sesuai arahan yang diterimanya, itulah sang pelaksana.
Seperti apa tiga daya ini mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalani kehidupan, atau tepatnya dalam mengimbangi tuntutan peran karir, pekerjaan atau pun bisnis?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhdua Life Restoration Podcast berjudul ‘Pelaksana, Pewacana dan Perencana’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Pelaksana, Pewacana dan Perencana
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh dua.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali bersama saya, Alguskha Nalendra – seperti biasa – di Life Restoration Podcast, episode 82 kali ini.
Mengawali perjumpaan kita di episode kali ini, seperti biasa juga tentunya, doa terbaik semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang dikasihi.
Dua minggu berlalu sejak episode 81 terakhir ya, melihat dari jarak yang cukup lumayan jadi cukup banyak juga yang sebetulnya bisa dijadikan bahan cerita he…he…
Bagi Anda yang mengikuti podcast ini sejak episode pertamanya dulu, yang kemudian diunggah setiap satu minggu satu kali tentu sudah cukup familiar lah ya, bahwa sering kali tema dari episode sebelumya masih cukup berdekatan atau beririsan dengan tema yang diluncurkan di episode berikutnya, karena ya jaraknya hanya satu minggu, jadi kisah-kisah yang menyertai setiap minggunya masih cukup saling berdekatan untuk disoroti.
Kali ini berbeda, karena format diunggahnya podcast ini adalah dua minggu sekali kali ini, jadinya kisah yang berlangsung selama dua minggu ini lebih banyak, jadi ada lebih banyak pilihan untuk diangkat, di satu sisi ya jadi ada banyak bahan sebenarnya, tapi di sisi lain juga jadinya kadang agak bingung untuk memilih yang mana bahan yang mau diangkat he…he…karena ya itu tadi, jadi lebih banyak opsinya sekarang.
Pada akhirnya ya sudah, saya memilih mengangkat tema yang menurut saya lebih mewakili dorongan pesan moral dalam diri saya, yang menurut saya pantas untuk dibagikan, karena ada fenomena sosial yang membutuhkannya.
Seperti yang diangkat di episode kali ini, beranjak dari temuan saya dalam mendampingi para klien pebisnis dan juga para pemimpin di perusahaan atau organisasi.
Bukan kebetulan memang, beberapa minggu terakhir ini saya terlbat banyak interaksi dengan para pebisnis dan para pemimpin di perusahaan atau organisasi, hasil interaksi itu juga yang menjadikan munculnya sorotan tersendiri pada apa yang menjadi tema dari episode kali ini, yaitu fenomena tentang para pelaksana, perencana dan pewacana.
Nah, sudah lebih tergambar lah ya kali ini, karena kan arti dari masing-masing kata itu saja sangat mungkin sudah cukup mewakili arti tersendiri yang tanpa dijelaskan pun sudah bisa dikira-kira kemana arahnya.
“Laksana”, “rencana” dan “wacana”…tiga kata benda, ketika sekarang semua kata ini dilekatkan pada sosok yang mengerjakannya, maka ia menjadi “pelaksana”, “perencana” dan “pewacana”, ketika ia menjadi kata kerja maka ia menjadi “melaksanakan”, “merencanakan” dan “mewacanakan”.
Saya menganggap bahasan ini penting, karena memang dalam kehidupan ini – bukan hanya dalam konteks karir dan bisnis saja lho ya – keberadaan dari ketiga hal ini sangat penting dan menentukan jalan atau macetnya roda kehidupan, baik kehidupan pribadi atau pun kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks kehidupan pribadi, saya meletakkan ketiga hal ini sebagai sebuah “daya”, atau “kemampuan” dalam diri seseorang, yaitu kemampuan seseorang untuk melaksanakan, merencanakan dan mewacanakan.
Sebelum nantinya melanjutkan ke bahasan yang lebih luas dalam lingkup komunitas atau lingkungan, kita bahas dulu cara pandang saya atas ketiga daya atau kemampuan ini ya.
Begini, sebagai sebuah “daya” atau “kemampuan” tadi itu, melaksanakan, merencanakan dan mewacanakan menjadi tiga jenis kemampuan yang berbeda.
Dalam cara pandang saya, sekali lagi ini cara pandang saya lho ya, saya mempersepsikan ketiga kemampuan itu sebagai sebuah urutan dan bahkan siklus.
Kita mulai dari “kemampuan mewacanakan” dulu, saya memandang “kemampuan mewacanakan” ini sebagai sebuah kemampuan untuk menyoroti atau memunculkan ide, dari yang semula tidak ada, sekarang menjadi ada, dari yang semula fana sekarang menjadi wacana, mulai ada bentuknya, mulai ada wujudnya, mulai ada bahannya.
Nah kemampuan ini sering kali kita lihat dalam diri orang-orang dalam bentuk kemampuan berpikir kreatif, atau kemampuan memunculkan ide, yang semula tidak ada, tidak terpikir, sekarang menjadi ada, menjadi terpikir, menjadi sebuah wacana, karena adanya kemampuan ini, yaitu kemampuan mewacanakan.
Tapi kalau hanya sekedar jadi wacana bagaimana? Ya tidak jadi apa-apa, namanya juga wacana, ya hanya berakhir sebagai “bahasan”.
Maka itulah ada orang-orang yang kelihatannya banyak ide, kalau membicarakan sesuatu itu bisa bermunculan banyak ide darinya, banyak pemikiran, banyak konsep, sering kali juga hal itu terdengar brilian, tapi ya tidak jadi apa-apa juga, seru kalau diobrolkan, tapi tidak nampak hasil akhir nyatanya.
Kenapa bisa begitu? Karena kemampuan mewacanakan ini perlu ditindaklanjuti dengan kemampuan berikutnya, yaitu “kemampuan merencanakan“.
Kemampuan merencanakan menjadi suatu hal yang “menterjemahkan” kemampuan mewacanakan tadi, apa-apa yang semula hanya menjadi sebuah ide, sekarang mulai menjadi sebuah rencana-aksi, ia mulai dikonsepkan lebih terperinci, menjadi sebuah aksi-tindakan, menjadi sesuatu yang lebih jelas wujud pergerakannya.
Ibaratnya bisnis, kalau mewacanakan itu baru sekedar memunculkan konsep tentang ide bisnis atau produk tertentu untuk dimunculkan di pasar, kemampuan merencanakan menterjemahkan bagaimana produk itu secara lebih konkrit akan dibuat, apa saja sumber daya yang dibutuhkan untuk membuatnya, apa saja potensi hambatan yang mungkin muncul dan bagaimana akan menyikapinya, istilahnya: kali ini sudah mulai muncul skema yang lebih menjelaskan bagaimana si wacana itu akan dijalankan.
Nah sudah pasti akan dijalankan tidak? Belum tentu juga, maka itulah ada orang-orang yang punya banyak rencana, ingin inilah…ingin itulah, rencananya sih banyak, tapi tidak ada yang dijalankan, ini lebih dari sekedar wacana lho, tapi sudah masuk rencana.
Kalau mereka yang hanya berwacana, ketika bercerita mereka lebih banyak menceritakan hal-hal yang bersifat potensi: bisa begini, bisa begitu, baiknya begini, baiknya begitu, tapi konsepnya masih cukup “mentah”.
Sementara mereka yang berencana, ketika bercerita mereka bisa cukup detail menceritakan dan bahkan menggambarkan apa saja yang harus dilakukan, apa saja yang harus dipersiapkan, istilahnya “skenarionya” sudah cukup lengkap, sudah “setengah matang”-lah kalau dibandingkan dengan wacana yang tadi masih cukup mentah itu.
Tapi ya itu, apa-apa yang sudah digambarkan dengan mendetail itu ya tidak dilaksanakan, hanya bagus sebagai sebuah konsep, tapi tidak ada wujud nyatanya, karena kemampuan melaksanakan ini menjadi sebuah kemampuan tersendiri yang berbeda.
Maka yang berikutnya yaitu apa? Yes, sudah bisa ditebak, pastinya “kemampuan melaksanakan”, nah kemampuan melaksanakan ini adalah bentuk lanjutan untuk menterjemahkan apa yang semula hanya rencana, agar menjadi sebuah tindakan nyata yang konkrit, yang nyata terlihat hasilnya dan bisa dievaluasi.
Untuk bisa melaksanakan ini diperlukan komponen penyusunnya yang lebih mendasar, yaitu keberanian untuk memulai, keahlian untuk melaksanakan dan kesabaran untuk menjalankan.
Iya dong, kalau tidak ada keberanian untuk memulai, bagaimana yang sudah direncanakan itu akan dijalankan? Jadi rencana saja terus jadinya kan.
Tapi punya keberanian juga kalau tidak ada keahliannya kan repot, modal berani saja tapi ujung-ujungnya frustrasi, karena yang dilakukan mentok, tidak memadai atau tidak menghasilkan standar kualitas yang seharusnya.
Dan yang terakhir yaitu kesabaran untuk menjalankan, ini juga tidak kalah pentingnya, mau berani dan mau ahli sekali pun, kalau tidak sabar ya maka hanya tunggu waktu sebelum bosan atau bahkan menyerah di tengah jalan, kurang gigih istilahnya.
Nah sudah terbayang sekarang? Ada yang hanya ahli dalam mewacanakan, ada yang hanya ahli dalam merencanakan, ada yang hanya ahli dalam melaksanakan, hasil akhirnya pasti beda dalam berkehidupan.
Mereka yang hanya ahli dalam berwacana jadinya punya banyak ide, tapi ya tidak ada wujud jelasnya, seperti “pengkhayal” saja jadinya.
Mereka yang hanya ahli dalam berencana jadinya terlihat seperti konseptor, tapi jadinya bikin gemas juga, karena jadinya banyak yang dibicarakan, tapi tidak ada yang dijalankan.
Sementara mereka yang hanya ahli dalam berlaksana juga tidak menjadi otomatis baik adanya, karena mereka hanya tahu menjalankan, hanya tahu melakukan, mengenai yang dilakukan itu baik atau tidak, memberikan hasil yang sesuai harapan atau tidak, itu lain soal, kurang kreatif istilahnya, hanya tahu menjalankan yang diinstruksikan, karena kemampuan mengamati dan menemukan yang harus dibenahi adanya di kemampuan berwacana.
Nah, sudah semakin jelas kenapa saya katakan ketiga hal tadi tidak ubahnya sebuah siklus? Dari wacana muncul ide atas hal yang bisa dibenahi, dari rencana muncul penterjemahan atas wacana yang tadi dipikirkan, dan dari laksana muncul wujud akhir dari perencanaan yang sudah dibuat itu, dari yang sudah dilaksanakan itu tentu diperlukan pembenahan di sana-sini nantinya, nah itu kembali ke keahlian berwacana, demikian seterusnya menjadi sebuah siklus.
Yang mana yang paling baik? Bukan begitu, bukan soal yang mana yang paling baik, tapi yang mana yang paling dibutuhkan, sesuai peran yang kita jalankan.
Ketiganya ya baik adanya, dan memang ketiga daya itu ada dalam diri kita, hanya saja beda proporsinya, ini yang nanti dikatakan sebagai kelebihan dan kekurangan.
Sekarang yang penting adalah coba sadari dulu kelebihan dan kekurangan diri kita, kita termasuk ke yang mana, atau tepatnya: kuat dan lemah di yang mana.
Apakah kita termasuk orang yang hanya kuat di mewacanakan yang menjadikan kita orang yang banyak ide dan banyak keinginan, tapi tidak ada yang direncanakan dan dilaksanakan?
Ataukah kita termasuk orang yang hanya kuat di merencanakan, kita perlu wacana atau ide dari orang lain, bukan dari diri kita sendiri, tapi kita bisa membuat perencanaannya dengan baik, tapi ya lagi-lagi lemah di pelaksanaan.
Ataukah kita termasuk orang yang hanya kuat di melaksanakan, kita tahunya hanya menjalankan yang diinstruksikan, kalau disuruh mengkonsepkan atau merencanakan jadi bingung sendiri malah.
Ada orang-orang tertentu yang kuat di ketiga bidang itu sekaligus, bisa mewacanakan, bisa merencanakan, bisa melaksanakan, kita biasanya melihat mereka sebagai orang yang “padat karya”, artinya ada saja karya yang dihasilkannya, yang melambangkan kemampuan untuk melaksanakan, karya-karya itu juga ternyata memiliki bobot kreativitas yang unik, yang melambangkan kemampuan untuk mewacanakan, di balik karya yang diluncurkan itu juga ternyata ada efisiensi yang melandasi pelaksanaannya, yang melambangkan kemampuan untuk merencanakan.
Ada juga orang-orang tertentu yang hanya kuat di dua bidang saja, bisa mewacanakan dan merencanakan, tapi tidak bisa melaksanakan, jadi kuat di ide dan rencana, tapi tidak ada yang terlaksana.
Ada juga yang hanya kuat di merencanakan dan melaksanakan tapi tidak ahli dalam mewacanakan atau berpikir kreatif, jago dalam membuat konsep detail perencanaan dan melaksanakannya, tapi ya muter-muter di situ saja, tidak banyak pembenahan kreatif di dalamnya.
Ada juga yang mungkin kuat dalam mewacanakan dan melaksanakan, punya banyak ide dan memang bisa melaksanakan ide itu, tapi dalam pelaksanaannya banyak yang berantakan, tidak efisien, boros atau kacau di sana-sini, jadi sih jadi, cuma ya hasil akhirnya itu tidak sepadan dengan upaya yang dikeluarkan he…he…
Atau ada juga mereka yang seperti saya katakan tadi, hanya kuat di satu keahlian saja, hanya bisa mewacanakan, hanya bisa merencanakan, atau hanya bisa melaksanakan.
Yang terpenting adalah coba kenali diri kita, kita kuat dalam keahlian apa saja, apakah hanya salah satu? Ataukah ada dua keahlian yang kita kuasai? Atau bahkan ketiganya?
Kenapa kita perlu mengenali diri kita terlebih dahulu, karena hal ini akan menjadi jawaban atas kualitas hidup yang kita jalani, kenapa ada orang yang punya banyak ide dan rencana tapi hidupnya begitu-begitu saja? Jangan-jangan karena tidak ada ide dan rencana itu yang dilaksanakan, kuat di wacana dan rencana tapi lemah dalam pelaksanaan, jadinya ya begitu.
Atau kenapa ada orang yang padahal sudah bekerja keras dan bahkan tekun tapi kualitas hidupnya masih begitu-begitu saja? Bisa jadi karena kerja kerasnya tidak efisien, tidak sesuai perkembangan jaman, kuat dalam pelaksanaan, tapi lemah dalam mewacanakan, dalam berpikir kreatif dan menyoroti yang harus dibenahi, atau lemah dalam membuat perencanaan yang bagus, jadinya banyak yang tidak efisien.
Kalau kita sudah mengenali diri maka kita akan jadi tahu apa jenis keahlian yang harus kita tingkatkan, atau kita tutup dengan bekerjasama dengan orang lain yang punya keahlian yang bisa saling melengkapi kelebihan dan kekurangan itu.
Hal ini juga berlaku dalam pekerjaan, ketika sebuah tim tidak proporsional, maka hal itu akan nampak dalam kualitas kerjanya.
Tim yang dominan diisi pewacana misalnya, maka ada banyak ide yang dikemukakan, dan sering kali ide itu terdengar “wah” sekali, tapi ya itu, hanya “wah” ketika dibahas, dalam kenyataannya tidak ada yang dilaksanakan.
Tim yang dominan diisi perencana lain lagi, bisa ada begitu banyak rencana yang dibuat, tapi ya hanya sebatas rencana, bisa ada begitu banyak meeting atau rapat untuk menghasilkan solusi, tapi lagi-lagi tidak ada wujud nyatanya.
Tim yang dominan diisi pelaksana juga sama, bisa-bisa tahunya hanya kerja dan menjalankan yang harus dijalankan sesuai instruksi, tapi tidak bisa berinisiatif, tahunya ya hanya “menjalankan perintah” saja.
Dari sisi “level pekerjaan”, memang ada posisi-posisi tertentu yang menitikberatkan pada keahlian tertentu, ada level pekerjaan yang memang mengharuskan pekerjanya untuk fokus menjalankan instruksi saja, ada juga yang mengharuskan pekerjanya untuk fokus membuat perencanaan strategis, dan ada juga yang mengharuskan pekerjanya untuk fokus memunculkan inovasi dan ide kreatif.
Yang tidak kalah pentingnya adalah coba sadari, setelah kita mengenali kelebihan dan kekurangan kita, bagaimana kelebihan dan kekurangan itu tercermin dalam tuntutan pekerjaan atau bisnis yang kita jalankan.
Kalau kita lemah di keahlian tertentu tapi ternyata keahlian itu diperlukan di pekerjaan atau bisnis yang kita jalankan, hal ini tentu akan menjadi sebuah permasalahan tersendiri, nah sekarang solusinya adalah apakah kita mau cari atau perkuat keahlian itu dari dalam diri kita, melatih kemampuan itu, atau mencari orang yang bisa melengkapinya, itu adalah pilihan, dimana pilihan itu akan harus dicocokkan dengan kompleksitas situasi yang kita alami.
Kenapa saya katakan “perkuat keahlian itu dari dalam”? Karena saya percaya ketiga kemampuan tadi itu bisa dilatih.
Memang peranan dari bakat ada, tapi tidak jadi jaminan satu-satunya, seiring kita melatih dan membiasakan diri kita mempelajari satu atau lebih kemampuan itu dengan cara yang tepat, maka kemampuan itu pasti akan mulai terlengkapi dalam diri kita.
Yang bahaya adalah kalau kita tidak mengenali diri, tidak mengenali kelebihan dan kekurangan diri kita, lalu tanpa disadari menjalani tuntutan peran kehidupan yang padahal mensyaratkan kemampuan yang kita tidak miliki, atau menjadi kekurangan kita, lalu tanpa disadari juga terseok-seok dalam menjalankannya, alhasil sekian lamanya hidup berjalan tidak karuan dan bahkan berantakan karenanya.
Bagaimana dengan Anda? Sudah lebih mengenali diri kali ini? Sudah lebih bisa membaca apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan Anda? Kalau Anda menyimak episode ini di Youtube Channel saya coba tuliskan kesan dan pendapat Anda di kolom komentar ya, kita saling berbagi kesan atas pemahaman baru yang kita dapatkan di episode ini.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.