Episode 87 – “Jadi Maunya Apa?”
Perubahan fokus berpikir adalah sesuatu yang penting yang melandasi sebuah perubahan.
Ada begitu banyak orang yang terjebak dengan masalah atau ketidaknyamanan yang berlarut-larut, karena pada dasarnya fokus berpikir mereka salah.
“Jadi maunya apa?” adalah sebuah kalimat pertanyaan sederhana yang sering kali saya gunakan sebagai “pengingat diri” atau self-reminder untuk memantapkan perubahan fokus berpikir ini terjadi secara efektif.
Bagaimana menggunakan kalimat ini dalam keseharian agar kita bisa mengawal fokus berpikir kita menjadi fokus berpikir yang efektif dan produktif?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhtujuh Life Restoration Podcast berjudul ‘Jadi Maunya Apa?’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Jadi Maunya Apa?
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh tujuh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada …kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, yang membersamai Anda di episode ke-87 kali ini.
Bagaimana kabar Anda sekalian satu minggu ini? He … he … karena jarak dari episode terakhir ke episode kali ini satu minggu jadi boleh lah ya kalau saya menggunakan itu sebagai pertanyaan sapaan.
Soalnya kan beberapa waktu kemarin sempat vakum lumayan lama. Bukan lumayan lagi malah, tapi terhitung sangat lama kalau bagi saya.
Yang dulu sempat aktif berbagi di podcast ini rutin setiap minggu, lalu sempat bergeser, atau tepatnya berubah, menjadi perdua minggu sekali, karena berbagai prioritas lain yang masih harus lebih didahulukan, sampai-sampai kemudian vakum yang benar-benar vakum, tidak posting-posting lagi episode di podcast ini.
Tapi jujur lho, masa-masa ketika vakum itu duh rasanya berat sekali. Karena memang berbagi di podcast ini juga menjadi satu media bagi saya untuk mengekspresikan diri. Dari berbagi di sini ini ada banyak inspirasi baru yang saya dapatkan, yang membuka jalan menuju berbagai ide-ide lain yang lebih besar jadinya.
Tapi ya sudah deh ya, kita fokus pada apa yang ada saja, kita fokus pada sudah dimulainya kembali podcast ini. Semoga saja kali ini tidak banyak aral melintang yang membuat podcast ini lebih bisa terjaga kembali konsistensinya setiap minggunya.
Duh mulai-mulai malah sudah terlanjur cerita dulu pula. Jangan sampai lupa lah, tentunya kita selalu mulai dengan doa terbaik dulu mengawali episode podcast ini, yaitu semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia bersama mereka yang Anda kasihi.
Nah kali ini baru kita resmi mulai he … he…
Seperti yang bisa Anda lihat di judul episode ini, tumben ya judulnya agak “menggantung” seperti ini.
“Jadi maunya apa?” Kan begitu judul dari episode ini kalau dibaca dengan nada seperti berbicara. Nada itu bisa disesuaikan sih, bisa dibuat jadi agak ketus, galak, atau bahkan bernada bingung, ya nadanya bisa sesuka Anda untuk memainkannya lah dalam benak Anda, yang ingin saya tekankan yaitu esensi dari pertanyaannya, yaitu “apa yang tepatnya kita inginkan”.
Dari mana awal mula terpikirnya episode podcast ini? Tidak jauh-jauh lah ya, pastinya dari kisah membersamai para klien di ruang terapi, konseling dan coaching saya di Bandung.
Kita sedikit bercerita dulu ya. Ini bukan cerita baru sih, lebih termasuk ke kumpulan cerita lama, atau tepatnya “akumulasi cerita”.
Dalam praktik profesional yang saya jalani ini pasti ada saja klien yang datang dengan mengeluhkan setumpuk masalah dalam hidupnya. Ya di satu sisi wajar juga sih, kalau tidak ada masalah dan malah mencari pertolongan kan juga malah aneh ya he … he …
Kembali ke topik tadi. Ketika klien datang dan mengisahkan masalahnya, saya mendapati tiga jenis klien ketika mereka menceritakan masalahnya itu.
Pertama, klien yang mengisahkan masalahnya, lalu kemudian mengisahkan harapannya. Jadi mereka menceritakan ketidaknyamanan atau kegelisahannya di awal, tapi kemudian mereka mendefinisikan kondisi ideal yang mereka harapkan.
Yang kedua, adalah klien yang mengisahkan masalahnya, sama lah ya dengan yang pertama tadi, cuma bedanya selepas mengisahkan masalahnya mereka terdiam di sana. Sudah saja selesai, jadi saya cuma tahu masalahnya, tapi tidak tahu harapan mereka apa.
Jumpa yang begini ini akhirnya ya saya jadi harus bertanya pada mereka, apa sebenarnya kondisi ideal yang mereka harapkan dari sesi bersama saya. Di sini ini barulah mereka tersadarkan dan baru menceritakan apa yang menjadi harapan mereka dari sesi yang akan mereka jalani.
Yang ketiga, nah ini agak lain, mereka adalah klien yang serupa dengan klien kedua tadi. Mereka mengisahkan masalahnya, lalu terdiam setelah mengisahkan masalahnya, tidak menceritakan apa yang menjadi harapan mereka dari sesi yang akan mereka jalani. Ya sama dengan yang kedua tadi kan.
Tapi di sini bedanya. Ketika saya kemudian bertanya apa yang menjadi harapan mereka, mereka bisa malah tidak menjawab. Ada yang tidak menjawab karena memang “tidak tahu”, ada juga yang karena “tidak mau”.
Bedanya apa?
Begini. Yang tidak tahu masih lebih baik. Mereka sedemikian larut dengan masalahnya sampai-sampai mereka sendiri lupa dengan seperti apa kondisi ideal yang sebenarnya yang mereka harapkan. Tapi setidaknya itu karena mereka tidak tahu. Ketika saya membangun kesadaran dan pengetahuan mereka, mereka jadi tahu dan akhirnya jadi mendefinisikan kondisi ideal yang mereka harapkan. Mungkin ada kalanya cara mereka mendefinisikan kondisi ideal ini tidak tepat. Ya masih tidak apa-apa, saya tinggal memberikan panduan agar penetapan kondisi ideal ini menjadi tepat, seperti yang saya akan bahas di podcast kali ini.
Tapi hal itu menjadi “lebih baik” karena mereka dasarnya mau kan?
Nah yang tidak mau ini yang lumayan sering bikin ruwet. Mereka ditanya apa kondisi ideal yang mereka harapkan tapi mereka tidak mau fokus kesana. Fokus mereka tertuju pada permasalahan yang mereka alami. Mereka memang dengan sengaja hanya ingin didengarkan ratapannya. Mereka bukan mau cari solusi. Karena ketika diajak mencari solusi, yang dimulai dengan mendefinisikan kondisi ideal yang seharusnya, mereka justru enggan untuk itu.
Yang satu ini pernah saya bahas di salah satu episode lama saya, bahkan sudah termasuk lama sekali, kalau tidak salah di salah satu episode di tahun 2021 dimana saya membahas tentang “3 Jenis Golongan Bermasalah Yang Tidak Akan Bisa Lepas Dari Masalahnya”. Ya lebih lengkapnya nanti Anda bisa lihat di episode itu lah ya, karena memang bahasan spesifik untuk golongan yang satu ini sudah pernah saya bahas di episode itu secara panjang lebar.
Yang ingin saya fokuskan di episode kali ini adalah pertanyaan yang menjadi judul dari podcast ini, yaitu “Jadi maunya apa?”
Begini, ketika kita dihadapkan dengan masalah, sangat wajar dan manusiawi kalau kita merasa dipusingkan dengan masalah itu. Ingat, hal itu wajar dan manusiawi, jadi saya juga tidak bilang hal itu salah ya.
Hanya saja begini, fokus kita akan mempengaruhi pengelolaan energi dalam diri kita.
Ilustrasi sederhananya begini. Bayangkan sebuah handphone, ya cukup handphone biasa saja lah, seperti yang Anda pakai menonton video atau mendengarkan podcast ini he … he …
Kali ini bayangkan handphone Anda itu baterainya terisi penuh 100%. Nah, enak kan? Baterainya penuh, jadi bisa dipakai untuk apa pun itu. Tapi kali ini bayangkan bahwa di dalam handphone itu ada banyak sekali aplikasi yang bekerja, dimana ada satu aplikasi yang ternyata menyedot daya dari handphone itu dengan sedemikian besarnya. Katakanlah aplikasi itu menyedot sampai 60% daya dari baterai handphone kita itu. Berarti, berapa banyak sisanya yang bisa kita pakai untuk beraktivitas? Hanya sekitar 40% kan? Itu pun kalau tidak menyusut oleh aktivitas lain lagi.
Diri kita sama. Ketika kita memfokuskan atensi pada masalah, maka saat itu sebagian dari energi kita tertuju dan digunakan untuk memikirkan masalah itu. Kalau sudah seperti itu berarti berapa banyak yang bisa kita gunakan untuk memikirkan atau memfokuskan solusinya? Ya otomatis hanya sisanya. Sekarang terbayang tidak kalau sebagian besar energi dalam diri kita sudah habis dipakai untuk memikirkan masalah dan kita hanya bisa menyelesaikan persoalan dengan sisa energi yang masih ada, seberapa terseok-seok atau stuck kondisi kita jadinya? Ya Anda tahu lah jawabannya ya.
Ingat … jangan salah, mengeluh ya itu manusiawi, ia menjadi sebuah cara kita mengekspresikan ketidakpuasan dan membebaskan sebagian dari sumbatan energi yang semula membelengu di dalam diri.
Cuma kan apa-apa yang berlebihan itu tidak baik he …he … , termasuk mengeluh ini, atau bahkan sampai ke meratap, kalau sampai berlebihan ya tidak baik juga lah.
“Jadi maunya apa?” adalah kalimat kunci yang sering saya gunakan sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, atau istilah praktisnya “self-reminder”. Ketika dihadapkan dengan sebuah masalah atau kerumitan hidup maka sebagai manusia biasa saya juga pasti merasakan ketidaknyamanan. Kalau itu terjadi maka saya akan memberikan waktu bagi diri saya untuk merasakan dan menerima kenyataan bahwa saya merasa tidak nyaman, karena memang itu diperlukan untuk mengalirkan energi yang semula tersumbat itu.
Tapi kembali ke pertanyaan tadi, saya membiasakan diri untuk kemudian memunculkan pertanyaan ke diri sendiri, “Jadi maunya apa?” Hal ini untuk mengingatkan saya bahwa saya sudah cukup menceritakan dan mengeluhkan kondisi tidak ideal yang saya alami. Sekarang waktunya saya mendefinisikan kondisi ideal yang menurut saya menjadi kondisi yang lebih “seharusnya” dibandingkan dengan yang saya alami.
Jangan salah lho, pertanyaan sederhana ini saja banyak yang sering kali salah jawab. Ketika ditanya “maunya apa”, ada saja – dan bahkan banyak – yang justru menjawab “tidak maunya apa”. Misalnya begini, ketika seseorang merasa dihantui kecemasan atau ketakutan yang sedemikian menyiksa, masalahnya jelas, yaitu ia merasa cemas atau takut.
Tapi belum tentu ketika ditanya “maunya apa” mereka bisa menegaskan maunya itu dengan baik dan jelas. Ketika ditanya “Jadi maunya apa?” banyak yang jawabannya justru adalah “Saya tidak mau cemas begini.” Nah kan …
Kelihatannya mungkin sepele atau wajar. Namun yang terjadi adalah kalimat itu tidaklah tepat menggambarkan kondisi ideal yang diinginkan, melainkan ia sebatas menggambarkan kondisi tidak ideal yang tidak diinginkan.
Sekarang begini saja, orang itu terganggu dengan kecemasan, iya itu mengganggu, tapi ketika ditanya “maunya apa” dan jawabanya adalah “tidak mau cemas”, apakah itu menjawab ia “maunya apa”? Tidak kan? Gampangnya begini: baiklah kalau begitu, “tidak mau cemas”, oke, kalau begitu kita ganti jadi “sedih” saja, boleh?
Nah kali ini kan sudah tidak cemas lagi, tapi jadi sedih sebagai gantinya, mau tidak? Besar kemungkinan jawabannya adalah “tidak”, karena kondisi “sedih” itu juga tidaklah lebih baik. Tapi bukankah semua ini menjadikan prosesnya tidak efektif?
Andaikan saja ketika ditanya “Jadi maunya apa?” jawabannya bisa langsung to the point menyatakan “Maunya bisa tenang dan mengendalikan diri,” maka aman sudah, di sini kita tahu bahwa cemas adalah kondisi tidak ideal dan tenang adalah kondisi ideal, paling tidak kita sudah tahu kondisi ideal spesifik yang kita rasa seharusnya kita alami. Kali ini fokusnya sudah berubah, dari “merasakan masalah” menjadi “menyadari kondisi ideal”.
Artinya apa? Kalau kita rekap sedikit dari apa yang sudah kita bahas di awal tadi, manusiawi kalau kita merasa tidak nyaman ketika dihadapkan dengan masalah. Tapi mau berapa lama memfokuskan atensi pada masalah itu? Secukupnya saja deh, selebihnya arahkan atensi itu menuju solusi, yang dimulai dengan mendefinisikan dengan jelas apa kondisi ideal yang kita harapkan. Ingat, kondisi ideal yang diharapkan, bukan kondisi tidak ideal yang kita tidak harapkan.
Ilustrasinya begini, bayangkan kita datang ke sebuah stasiun kereta, ketika ditanya oleh petugas tiket kita akan berangkat kemana kita hanya menjawab “Saya tidak mau ke kota X”, kira-kira petugas tiket akan memberikan Anda tiket kemana? Memang betul Anda sudah mendefinisikan tempat tidak ideal yang tidak diinginkan, tapi tujuan idealnya kemana? Selama tujuan ideal ini tidak ditetapkan maka petugas tiket juga akan kebingungan ingin mengarahkan Anda kemana.
Petugas tiket dalam ilustrasi itu adalah otak kita, pikiran kita, batin kita. Tanpa adanya arahan yang jelas atas kondisi ideal yang kita ingin capai maka otak kita, pikiran kita, batin kita, juga sama, ia bingung apa yang sebenarnya kita inginkan, karena tidak ada instruksi yang jelas ya sudah skenario penderitaan atau skenario masalah tadi diulangi lagi jadinya.
Jadi itu dia pentingya ya, kita memastikan fokus kita tertuju pada hal yang kita inginkan, bukan pada yang tidak kita inginkan.
Berikutnya, kita juga perlu memfokuskan perubahan pada diri kita, bukan pada lingkungan di luar diri kita, atau orang lain di luar diri kita.
Begini, ada kalanya masalah yang kita alami kita rasa disebabkan oleh orang lain. Ada kalanya kita merasa hidup jadi tidak menyenangkan karena tindakan orang lain yang menyebabkan hal itu terjadi.
Ketilka ditanya “Jadi maunya apa” lalu kita menjawab “Kita ingin orang-orang itu berhenti menyakiti kita,” maka ini juga tidak tepat. Karena jawaban ini adalah jawaban yang “berharap-harap”, bukan jawaban yang memuat keputusan perubahan yang kuat.
Ketika kita berharap orang lain berubah, lingkungan berubah, kita sedang fokus pada hal di luar diri kita yang belum tentu akan berubah hanya karena kita menghendaki, mereka juga sering kali punya masalahnya masing-masing yang membuat mereka jadi begitu.
Akan lain ketika ditanya “Jadi maunya apa” jawaban kita adalah “Saya ingin lebih tegar dan kuat menghadapi mereka.” Nah kali ini terasa tidak, siapa yang jadi fokus utama perubahan? Yes, diri kita sendiri. Berharap orang lain berubah adalah sesuatu yang tidak jelas parameternya karena ada terlalu banyak faktor yang membentuk perilaku orang lain itu. Tapi menetapkan tujuan perubahan pada diri sendiri adalah sesuatu yang sangat masuk akal dan sangat bisa dilakukan. Karena fokus utamanya adalah kita yang harus berbenah maka ya kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk berbenah itu tadi. Energi perubahan kita fokuskan ke diri kita sekarang, bukan pada berharap-harap pada orang lain.Besar harapannya pengelolaan energi kita lebih mumpuni sekarang untuk benar-benar menghasilkan perubahan, karena fokusnya tepat.
Nah, menutup bahasan di episode kali ini, bagaimana kita bisa menggunakan semua yang sudah kita pelajari di podcast kali ini secara praktis? Sederhana. Arahkan fokus pada kondisi ideal yang kita inginkan. Biasakan diri untuk selalu mengarahkan dan mengerahkan fokus pada kondisi ideal yang kita rasa seharusnya agar pengelolaan energi kita baik adanya.
Ketika dihadapkan dengan ketidaknyamanan, biarkan atau ijinkan diri kita sejenak merasakan ketidaknyamanan itu, tapi lalu munculkan pertanyaan “Jadi maunya apa?” Hal ini akan lebih banyak membuka kesadaran kita atas kondisi ideal yang seharusnya kita alami. Selain mengeluarkan kita dari zona meratap, hal ini juga memutus pola lama yang sedari tadi hanya fokus pada masalah yang menghamburkan energi, dan mengembalikan kita pada pengelolaan energi yang lebih baik karenanya.
Selepas muncul pertanyaan “Jadi maunya apa”, segera munculkan jawaban atas kondisi ideal yang kita rasa seharusnya kita alami, yang lebih dirasa nyaman. Ingat fokuskan jawaban kondisi ideal ini pada kondisi ideal yang kita inginkan, bukan kondisi tidak ideal yang tidak kita inginkan. Ingat juga untuk meletakkan diri kita sebagai fokus perubahan di kondisi ideal itu.
Sampai situ saja, maka setidaknya kita sudah akan bisa menciptakan perubahan pola pemikiran yang lebih bisa menunjang proses perubahan. Tapi tidak cukup sampai di situ, kali ini munculkan pertanyaan lanjutan, “Apa hal pertama yang harus saya lakukan agar yang saya mau itu bisa saya alami?”
Nah kalau tadi sebelumnya fokus perubahannya adalah “memutus pola lama yang fokus pada masalah,” kali ini fokus perubahannya adalah “mengarahkan atensi pada solusi”.
Di titik ini baru kita memfokuskan atensi pada berbagai kemungkinan yang bisa kita lakukan, yang akan membawa kita selangkah lebih dekat pada kondisi ideal yang kita harapkan tadi.
Mengubah fokus berpikir bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena bisa jadi sudah saking terbiasanya kita fokus pada masalah, atau penderitaan, atau kondisi tidak ideal. Bahkan jangan-jangan karena saking terbiasanya fokus pada masalah itu sampai-sampai isi pikiran kita sendiri sudah tidak bisa membedakan, sampai-sampai ketika berdoa sekali pun isi doanya dipenuhi oleh ratapan pada masalah, bukan menyebutkan kondisi ideal yang diinginkan, amit-amit lah ya … he … he …
Tapi percaya deh, ketika kita mulai mengubah fokus berpikir kita ini, akan tercipta lompatan hidup yang signifikan, karena saat itulah hidup kita mulai bergerak maju ke arah masa depan, pada kondisi ideal yang kita ingikan. Sedemikian seringnya kita melakukan itu harapannya adalah pikiran kita terbiasa fokus pada solusi dan tidak membiarkan sebuah masalah berlarut-larut, karena memang begitulah cara pikiran kita difokuskan kali ini.
Hal ini mungkin nampak sederhana, tapi ia menjadi salah satu bentuk “latihan otak”, atau tepatnya melatih “dialog batin” yang mewarnai isi pemikiran kita. Harapannya dengan dialog batin yang lebih sehat ini batin kita pun lebih sehat dan lebih mampu mengarahkan fokus pada hal yang tepat, yang lebih bisa mendatangkan hal positif dalam hidup.
Dan itulah dia sedikit bahasan kita di podcast kali ini.
Jadi maunya apa kira-kira he … he …?
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.