Lika-Liku Modeling dan Introject Dalam Belajar
“Kok saya sering merasa sekarang ini kalau bertanya pada klien atau berbicara pada anggota tim jadi seperti Coach Alkha ya.”
“Teman-teman saya bilang cara saya berbicara dan melakukan konseling jadi seperti Coach Alkha.”
Petikan kalimat-kalimat di atas sering diungkapkan oleh para alumni pembelajaran saya, terutama yang mengikuti pelatihan yang bersifat intensif bersama saya, seperti Resource Therapy (RT) atau Neuro-Linguistic Programming (NLP).
Hal ini tidak mengherankan, sekian lama menghabiskan waktu bersama saya, menyimak cara saya berbicara dan berkomunikasi, akan ada saja proses “modeling” alami yang terjadi, yang membuat pikiran bawah sadar mereka secara alami memodel/mengadaptasi gaya saya.
Ketika kita memfokuskan atensi pada suatu hal, terutama sosok seseorang di luar diri kita, terjadi proses “unconscious intake” dimana pikiran bawah sadar kita merepresentasikan sosok di luar itu ke dalam diri kita. Apa yang semula merupakan sosok di luar diri kali ini menjadi perwujudan internal di dalam diri kita. Dalam NLP hal ini dikenal sebagai “Internal Representation” dan “Submodality”, sementara dalam RT hal ini dikenal sebagai “Introject”.
“Kemana atensi terarah ke sana energi tertuju,” demikian sebuah prinsip dari keilmuan “Huna”, keilmuan esoterik masyarakat Hawaii. Ketika atensi tertuju pada sebuah pemikiran atau objek maka saat itu energi tertuju pada pemikiran atau objek itu, dimana energi yang tertuju itu kemudian memadat dan membentuk sebuah karakter yang solid. Semakin besar atensi yang dikerahkan dalam berfokus itu maka semakin solid juga karakter energi yang terpadatkan jadinya.
Di sisi lain, yang perlu kita juga sikapi adalah: energi itu tidak memadat jauh-jauh, ia memadat di dalam diri kita, dalam kesadaran kita, membentuk sebuah karakter yang solid dalam diri kita, yang dalam RT tadi disebut sebagai Introject.
Hal ini yang menjadikan adanya kalimat-kalimat yang mengatakan “membencilah secukupnya, jangan berlebihan”. Arti harfiah dari kalimat ini sebenarnya menjelaskan yang terjadi dalam diri kita sendiri.
Ketika kita memendam kebencian pada seseorang, maka kita tidak benar-benar membenci sosok asli di luar diri kita, yang kita benci adalah “perwujudan” atau persepsi atas orang itu dalam diri kita, atau dengan kata lain Introject orang itu dalam diri kita.
Dimana Introject itu berada? Ya, dalam diri.
Berarti pada siapa kebencian itu sebenarnya tertuju? Yes, ke diri sendiri.
Maka itulah mereka yang memendam kebencian pada orang lain sebenarnya sedang menujukan kebencian itu pada diri mereka sendiri juga, tidak heran hal itu memunculkan banyak masalah pada diri mereka sendiri, karena energi destruktif kebencian itu berasal dari dalam dan tertuju ke dalam diri, dalam skala ekstrim hal ini juga yang bisa membuat seseorang jadi terkena masalah fisik dan bahkan sakit kronis.
Sebagai sebuah “perwujudan energi dalam diri”, Introject memiliki porsi energi tersendiri. Ada kalanya Introject tertentu bisa aktif ke permukaan (dalam RT disebut sebagai “Conscious State”). Ketika Introject ini aktif maka kita jadi berperilaku seperti Introject tersebut.
Salah satu Introject yang paling mudah kita sadari keberadaannya adalah orang tua, terutama yang memang dari kecil sampai dewasa banyak melalui pengalaman dengan orang tua. Mereka yang dari kecil benar-benar melalui pengalaman dengan orang tuanya akan memiliki Introject orang tuanya itu dalam diri dengan porsi energi yang besar adanya, karena atensi yang tercurah pada figur orang tua itu pun besar adanya sepanjang hidup mereka.
Hal ini yang menjelaskan kenapa seseorang bisa bersikap (postur, gestur dan perilakunya) seperti orang tuanya, karena Introject orang tua dalam diri mereka sedang aktif di Conscious State. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mereka yang bermasalah atau memendam kebencian pada orang tuanya kerap kali bermasalah dalam hidupnya dalam berbagai bentuk, karena mereka menujukan kebencian itu pada Introject dalam diri mereka sendiri. Energi kebencian yang bermula dari diri sendiri dan ditujukan pada diri sendiri itu menyabotase dan menggembosi energi psikis mereka, yang kemudian berdampak pada kondisi fisik dan kualitas hidup yang mereka jalani.
Dari sudut pandang kesehatan fiisk, mereka yang terus-menerus mengamati bagaimana orang tuanya mengidap masalah fisik sering kali tanpa disadari ikut menginternalisasi Introject orang tuanya yang sakit-sakitan atau mengidap masalah fisik itu. Setiap kali Introject orang tua itu aktif, maka saat itu juga Introject itu ikut mempengaruhi kondisi fisik orang tersebut. Akhirnya lambat laun si orang itu menjadi mengidap masalah fisik atau mengalami sakit yang sama dengan orang tuanya, menjadi yang dikenal sebagai “penyakit turunan”.
Semakin besar energi Introject, semakin besar pengaruhnya pada diri kita, terutama ketika ia aktif di Conscious State.
Ada satu fenomena yang tidak kalah menariknya lagi, yaitu semakin kita membenci seseorang tanpa disadari kita malah melakukan hal-hal yang orang itu lakukan, yang padahal kita benci.
Berkali-kali saya menjumpai para pebisnis yang menyudahi hubungan dengan mitra kerja lamanya karena mitra lamanya itu melakukan hal yang membuat mereka tidak suka dan mereka pun menyudahi hubungan dengan mitra kerja lamanya itu sambil memendam kebencian. Uniknya adalah sekian waktu berselang mereka justru melakukan hal yang serupa dengan yang mitra lamanya itu lakukan pada bisnis baru yang mereka kelola, padahal menurut mereka perilaku itu tidaklah baik adanya dan bahkan mereka benci. Dengan kata lain: mereka malah jadi seperti yang mereka benci.
Hal ini karena Introject orang yang kita benci itu aktif di Conscious State, karena energi Introject ini besar adanya (sebagai hasil dari atensi yang kita berikan padanya) maka kita jadi berperilaku seperti dirinya.
Kembali ke bahasan soal “kita menjadi seperti Pengajar kita”. Dalam proses pembelajaran, kita bukan hanya mempelajari yang diajarkan oleh sang Pengajar, melainkan juga menyerap sikap, nilai-nilai yang diyakininya dan berbagai hal lain yang dibawanya, semua itulah yang kemudian direpresentasikan menjadi model atau Introject dalam diri kita.
Kita belajar dari banyak orang di sekitar kita. Bukan hanya guru dalam forum belajar resmi, tapi dari sosok-sosok yang menyedot atensi kita. Silakan saja amati, seberapa sering Anda bergaul dengan orang yang Anda kagumi atau hormati, lalu sadari seberapa banyak perilaku mereka yang tanpa sadar mulai Anda adaptasi dalam diri Anda, entah itu cara geraknya, ekspresinya, cara bercandanya, cara berbicaranya, dan bahkan ideologinya, hal ini karena Introject mereka pun sudah teradaptasi dalam diri Anda dan ada kalanya Introject itu aktif di Conscious State sehingga Anda pun bersikap seperti mereka.
Ketika kita belajar di kelas, maka kita juga merepresentasikan sang Pengajar menjadi Introject dalam diri kita. Hal ini yang terjadi pada diri para alumni saya, Introject saya pun mengambil tempat dalam diri mereka, yang menjadikan ada kalanya mereka berbicara dan berkomunikasi seperti saya.
Apakah hal ini baik adanya? Jawaban saya adalah “Ya dan tidak”.
Di satu sisi hal ini baik karena energi dari Introject ini bisa kita “pinjam”, menjadikan kita punya sebuah keahlian spesifik tertentu yang bisa kita tampilkan ketika kita butuhkan.
Di sisi lain hal ini bisa jadi negatif jika ternyata sang pembelajar sedemikian mengidolakan sang Pengajar. Tidak ada Pengajar yang sempurna. Pasti ada saja sisi negatif atau kekurangan yang membuat kita tidak nyaman dengan sisi negatif itu. Adanya rasa “mengidolakan” yang bercampur dengan rasa “kecewa” karena sang Pengajar memiliki kekurangan akan menjadikan energi psikis dalam diri “campur aduk”, sehingga keahlian yang semula bisa dilakukan dengan baik itu menjadi turut bermasalah karena kita menyabotase sendiri regulasi energi itu.
Itulah kenapa saya selalu menekankan pentingnya “menjadi diri sendiri” ketika para peserta belajar. Saya selalu menekankan “fokuslah pada keahlian yang Anda ingin adaptasi dari diri saya, bukan sosok saya seutuhnya”, karena saya ingin keahlian itu diadaptasi oleh Parts dalam diri mereka, bukan diwakili oleh Introject saya dalam diri mereka.
Saya tidak bisa menyenangkan setiap orang. Tidak semua yang saya yakini akan selalu cocok dengan yang peserta yakini. Bisa saja di kemudian hari ada prinsip tertentu dalam diri saya yang para peserta sadari bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini dan mereka jadi kecewa karenanya. Jika mereka “mengidolakan” sosok saya maka hal ini akan menjadi bencana, karena segala keahlian yang bersumber dari Introject saya akan ikut macet jadinya karena Introject itu dianggap negatif kali ini, terjadi konflik internal yang membuat distribusi energi bermasalah.
Lain jika keahlian itu diadaptasi oleh Parts dalam diri mereka, meski pun ada peristiwa yang membuat mereka kecewa terhadap sikap saya yang berlawanan dengan prinsip yang mereka yakini maka hal itu tidak akan menjadi masalah, karena keahlian itu dipegang oleh Parts dalam diri mereka sendiri.
Dalam proses terapi, ketika saya membantu membereskan masalah klien yang berfokus pada kekecewaan pada orang tua atau senior di bidang tertentu. Saya akan memastikan dulu seberapa jauh orang tua atau senior itu berperan membentuk sikap dan keahlian dalam diri klien saya ini. Jika ternyata peran mereka cukup signifikan, maka setelah pertama-tama membereskan masalah dengan Introject yang dirasa mengecewakan ini maka saya akan “mentransfer” keahlian dari Introject ini agar diadaptasi oleh Parts spesifik dalam diri klien yang memang cocok untuk itu. Hal ini juga untuk membantu “memutus” kebergantungan klien terhadap Introject atas sosok di luar dirinya, sehingga terlepas dari seberapa berbeda pun haluan mereka dengan sosok di luar diri yang mereka kagumi itu keahlian mereka tidak jadi turut terpengaruh karenanya.
Bukan berarti memiliki Introject Pengajar dalam diri kita buruk adanya. Bagaimana pun juga hal itu merupakan bagian dari proses pembelajaran yang wajar dan manusiawi. Saya sendiri pun dulu melakukan itu. Setiap kali selesai belajar dengan seorang Pengajar maka Introject mereka akan aktif dalam diri saya dan sikap mereka akan ikut terefleksikan dalam perilaku saya.
Saya tidak akan serta-merta menghilangkan Introject Pengajar selepas belajar, karena bagaimana pun hal itu dibutuhkan untuk “mengendapkan” hasil pembelajaran saya. Yang biasa saya lakukan adalah memberi waktu pada Part dalam diri saya untuk mengadaptasi keahlian dari Introject ini untuk kemudian dimodifikasi sesuai standar kenyamanan dan efektivitas yang saya jalani, baru kemudian bertahap Introject itu saya sesuaikan porsi energinya.
Tidak semua yang Introject Pengajar ajarkan akan selalu sesuai dengan apa yang saya jalani karena ruang aktivitas kita pun berbeda. Jika saya hanya menyerap semua itu apa adanya maka sangat mungkin kemacetan terjadi karena yang mereka jalani berbeda dengan saya. Disinilah proses modifikasi diperlukan agar ia menjadi strategi otentik yang sejalan dengan pengoperasian Part dalam diri saya.
Menutup bahasan tentang “kita menjadi seperti Pengajar kita”, dalam konteks pembelajaran hal ini juga menegaskan pentingnya belajar dari Pengajar yang tepat.
Mereka yang ingin belajar menjadi Coach, Konselor atau Terapis yang ingin berpraktik aktif di profesi ini hendaknya belajar dari Pengajar yang juga memang berpraktik aktif, karena hal ini akan nampak dari caranya mengajar dan mendemonstrasikan teknik yang diajarkan. Bagaimana pun juga hal itulah yang akan kita adaptasi menjadi Introject dalam diri kita di awal proses belajar. Dari hal itulah perlahan kita akan mengadaptasi keahlian itu menjadi Bagian dari diri kita sendiri.
Akan sulit berpraktik sebagai seorang Coach, Konselor atau Terapis aktif jika sejak awal kita tidak belajar dari Pengajar yang berpraktik, karena tidak banyak yang bisa kita model jadinya.
Dalam kenyataannya, berpraktik profesional menangani klien asli akan berbeda dengan sebatas mendemonstrasikan di depan kelas. Ada setting yang berbeda di kedua situasi itu.
Dalam sesi praktik antar peserta, ketika saya berkeliling mengawasi para peserta berpraktik, dari mengamati ekspresi dan bahasa tubuh saja saya biasanya langsung tahu peserta mana yang aktif berpraktik dan yang mana yang tidak aktif. Hal ini karena semua itu nampak jelas sekali bagi yang sudah sering berpraktik.
Akan menjadi sebuah ironi tersendiri ketika seseorang yang ingin berpraktik secara profesional sebagai seorang Coach, Konselor atau Terapis justru malah belajar dari Pengajar yang tidak pernah atau tidak aktif berpraktik. Akan terbatas sekali yang bisa ia model jadinya dari pembelajaran yang diikutinya, apalagi kalau ternyata durasi belajarnya hanya sebentar, bisa-bisa proses modeling belum terjadi ia sudah kebingungan sendiri atas apa yang dipelajarinya.
Durasi belajar, format belajar dan jam terbang Pengajar – dalam mempraktikkan yang diajarkannya – adalah hal-hal yang ikut menentukan kualitas pembelajaran.
Akan sulit untuk menyerap hal-hal yang kita perlu serap dengan efektif jika durasi yang ada terlalu singkat. Begitu juga akan sulit menyerap hal-hal esensial hanya sebatas dari kelas online. Hal ini juga yang menjadikan saya tetap memberlakukan kelas-kelas offline dalam setiap pembelajaran intensif yang saya sediakan. Kalau pun ada pembelajaran online, hal itu adalah untuk membekali teori dasar yang diperlukan untuk nantinya menunjang pembelajaran kelas offline.
Begitu juga jam terbang Pengajar dalam mempraktikkan yang diajarkannya, menjadi penentu yang esensial. Pengajar yang memang berpraktik aktif akan menunjukkan segala keaktifan dan jam terbangnya itu ketika mendemonstrasikan yang diajarkannya di depan kelas. Begitu juga ketika ada “hal di luar dugaan” yang terjadi ketika demonstrasi dilakukan, di sanalah Pengajar itu akan bisa menyikapi hal di luar dugaan itu dan justru memberikan nilai tambah bagi pembelajaran yang difasilitasi pada pesertanya, karena mereka jadi memodel sesuatu yang bisa saja terjadi di praktik nyata nantinya.
Akan jadi ironi tersendiri juga ketika Pengajar mengajarkan yang ia sendiri belum matang praktikkan, selain ia akan mendemonstrasikannya dengan penuh kecanggungan, ketika ada hal terjadi di luar dugaan pun ia akan kebingungan dan peserta yang belajar jadi turut dibingungkan karenanya.
Dalam salah satu kelas RT yang saya adakan, ketika mendemonstrasikan teknik Retro State Negotiation pada seorang peserta di kelas terjadi hal di luar dugaan, yaitu Part yang semula diperkirakan adalah Retro State ternyata justru merupakan Other Personalized Introject (OPI), atau entitas dari luar yang “masuk” dan “menempel” dalam diri peserta ini. Disinilah peserta jadi bisa melihat contoh skenario ketika sesi yang difasilitasi ternyata “keluar jalur” dan bagaimana mereka harus menyikapinya.
Begitu juga ketika mendemonstrasikan teknik lain apa pun, selalu ada saja kemungkinan terjadinya “hal di luar dugaan” ketika demonstrasi itu dilakukan. Jika Pengajar bukan orang yang aktif berpraktik maka hal ini akan sulit diantisipasi. Kalau pun tenyata bisa karena sebuah “kebetulan” tertentu maka ia akan kesulitan menjelaskan prosesnya pada para peserta belajar di kelas.
Demikianlah adanya, kita sedikit-banyak akan menjadi atau meniru sosok Pengajar kita, maka pastikan kita belajar dari Pengajar yang memang tepat untuk kita model aspek-aspek esensialnya. Pastikan juga durasi dan format belajar yang tersedia untuk kita belajar bersamanya memadai untuk kita bisa mengadaptasi hal-hal yang ingin kita adaptasi darinya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.