Episode 88 – Apa Yang Kita Tinggalkan Kelak?
Ada kalanya dinamika kehidupan di era modern ini membuat kita sibuk memfokuskan atensi untuk mendapatkan yang kita inginkan, namun lupa untuk memikirkan apa yang akan kita tinggalkan.
Ya, jika ditanya apa yang kita inginkan, sangat mungkin kita akan cukup mudah menjawabnya, tapi lain jika ditanya apa yang akan kita tinggalkan kelak, jawaban atas yang satu ini mungkin tidak semudah tadi untuk dijawab.
Padahal dibanding yang kita dapatkan, yang akan menjadi bukti keberadaan kita di dunia ini adalah yang kita tinggalkan. Sungguh ironis jika di waktu kehidupan yang singkat ini tidak ada manfaat yang kita tinggalkan.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhdelapan Life Restoration Podcast berjudul ‘Apa Yang Akan Kita Tinggalkan Kelak? ’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Apa Yang Akan Kita Tinggalkan Kelak?
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh delapan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada …berjumpa kembali di Life Restoration Podcast, episode ke-88 kali ini, bersama saya, Alguskha Nalendra.
Seperti biasa, mengawali setiap episodenya, doa terbaik untuk Anda semua, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Agak lain dengan episode-episode sebelumnya, di episode kali ini saya ingin sedikit mencurahkan hasil pemikiran, perasaan dan perenungan saya yang akhir-akhir ini sedang mewarnai hari saya, semi-semi curhat lah ya he … he … jadi mohon dipahami kalau gaya pemaparannya agak … ya selow lah boleh dibilang he … he …
Begitulah, akhir-akhir ini ada topik yang sedang cukup hangat dibicarakan di lingkungan sekitar saya, yaitu topik “menulis buku”.
Bagi Anda yang sudah cukup familiar dengan saya, tentu sudah cukup familiar juga bahwa saya suka menulis.Ada beberapa buku saya yang saat ini sudah beredar. Untuk tepatnya, ada sekitar lima buku yang saat ini sudah beredar, dan ada dua buku lain yang baru saja selesai di bulan September 2023 ini, yang akan beredar di bulan Oktober 2023 ini, jadi totalnya tujuh buku.
Melihat masih ada waktu di akhir tahun 2023 ini, kelihatannya saya masih bisa mengeluarkan satu atau dua buku lagi lah ya, semoga benar-benar bisa teraktualisasikan he …he …
Kembali ke topik terkini soal menulis buku. Sebetulnya lingkaran dekat saya sudah terbiasa dengan kesukaan dan kebiasaan saya ini. Tapi akhir-akhir ini semangat mereka lebih membara dari biasanya. Beberapa di antara mereka sampai menargetkan untuk memastikan buku mereka selesai sebelum akhir tahun ini.
Ya sebetulnya wacara untuk menulis buku itu sudah dari kapan tahun sih mereka wacanakan, sampai-sampai saya sendiri juga sering kali mencandai mereka. Kalau ditanya bulan kapan bukunya terbit lalu mereka menjawab bulan tertentu, “November” misalnya, maka saya akan iseng mencandai mereka: November tahun berapa? Baru setelahnya mereka akan tertawa.
Intinya topik soal menulis buku ini sudah menjadi topik yang cukup sering dibicarakan, dari beberapa tahun lalu malah, cuma entah perasaan saya saja atau memang itu yang terjadi, yang jelas akhir-akhir ini topiknya sedang happening di lingkungan dekat saya.
Selidik punya selidik, ternyata sebabnya berhubungan dengan tersentuhnya sisi emosional-spiritual para lingkungan dekat saya ini, yang kali ini membuat mereka benar-benar menargetkan bukunya harus selesai sebelum akhir tahun.
Apa sisi emosional-spiritual yang tersentuh ini?Jawabannya sebenarnya ada pada judul episode podcast ini, yaitu “Apa Yang Kita Tinggalkan Kelak?”
Bagaimana bisa? Tenang dulu, ini baru akan kita bahas kok.
Jadi begini. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya keputusannya banyak didasari emosi. Seorang pembicara kenamaan dunia, Brian Tracy, bahkan mengatakan, manusia itu membuat keputusan dengan emosi namun membenarkannya dengan logika.
Dan memang begitu dalam kenyataannya. Saya banyak sekali menemukan orang-orang yang pada awalnya banyak alasan untuk tidak melakukan satu hal yang mereka seharusnya lakukan. Ada saja logika mereka yang membenarkan yang mereka lakukan. Sampai satu ketika sisi emosional mereka tersentuh barulah mereka melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan.
Ada satu orang teman saya yang sulit sekali berhenti merokok. Dia orang yang sangat berpengetahuan, wawasannya luas, banyak membaca buku. Dari segi kesehatan, ia tahu rokok menjadi satu hal yang tidak baik untuknya, dan memang dampak negatifnya pun sudah ia rasakan. Tapi karena wawasannya luas, pengetahuannya banyak, ia juga di satu sisi tahu bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh rokok sebenarnya masih bisa ia tolerir, ya meski negatif masih di kadar yang tidak terlalu mengancamnya lah.
Artinya, secara logika, ia tahu betul bahwa rokok tidak baik bagi kesehatannya, tapi logikanya juga yang saking tahunya, membuat ia tidak kunjung berhenti, jadi paradoks sendiri kan he … he …
Tapi ada satu titik dimana ia akhirnya berhenti lho. Dan titik itu bukan titik yang bermuatan intelektual, melainkan emosional.
Kalau singkat ceritanya, yang saya ketahui, suatu hari ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya. Ia sendiri sebenarnya cukup disiplin dalam merokok. Ia tidak mau merokok dekat anaknya, makanya ia selalu menjauh ketika akan merokok.
Mungkin karena anak perempuannya sudah cukup besar dan beranjak dewasa, di satu pembicaraan anak perempuannya itu berkata, “Kalau aku dewasa dan menikah nanti, aku ingin Ayah membersamaiku di pernikahanku.”
Teman saya ini ya otomatis menjawab dengan santai bahwa ia tentu akan ada di pernikahan sang anak.
Di sinilah sang anak perempuannya ini berkata, “Aku takut Ayah tidak bisa ada di pernikahanku. Kalau Ayah keburu meninggal karena sakit karena rokok bagaimana.”
Bum … ucapan itu menghantam sisi emosional teman saya ini. Sejak saat itu rokok tidak lagi terasa nikmat baginya. Kenikmatan yang dulu selalu dirasakannya setiap kali menghisap rokok kali ini seolah hilang tidak berbekas. Sampai secara bertahap ia benar-benar berhenti merokok total, sampai hari ini.
Lihat, bagaimana pengetahuan dan logika intelektual yang sedemikian kayanya selama bertahun-tahun tidak berhasil menggoyahkannya untuk berhenti merokok. Tapi ucapan singkat penuh makna dari sang anak yang disayanginya bisa secara emosional menggedor benteng logikanya itu, paradigmanya atas rokok secara drastis berubah, sampai ia bisa kemudian benar-benar berhenti merokok.
Kita juga sama, kita banyak digerakkan oleh sisi emosional dalam diri kita. Saya sendiri juga sama. Lingkungan dekat saya yang saat ini sedang tergerak untuk menulis buku juga sama. Melihat cara mereka menulis dan menuangkan hasil tulisannya sejauh ini boleh dikatakan saya optimis buku mereka akan benar-benar jadi sebelum akhir tahun.
Kali ini boleh kalau saya sedikit berkisah dulu lah ya, apa yang melatari saya produktif dalam menulis buku. Ya “produktif” itu kata orang-orang ya, bukan klaim saya, saya sih merasanya biasa saja, mungkin karena dasarnya saya suka menulis.
Tahun ini target saya menyelesaikan empat buku. Sejauh ini sudah ada tiga buku selesai dan ada satu atau dua buku lagi yang akan selesai juga akhir tahun ini.
Kalau Anda, bukan kebetulan, adalah salah satu dari mereka yang berkesempatan membaca buku saya, sangat mungkin Anda akan menemukan satu ciri khas di buku yang saya tulis, yaitu penjelasan yang mendalam dan komprehensif. Lagi-lagi itu juga kata orang lho ya, atau lebih tepatnya kata para pembaca buku saya.
Nah itu juga sering menjadi bahan pertanyaan dari para pembaca, sudah menulisnya katanya produktif, isi bukunya tebal-tebal pula. Kok bisa?
Lagi-lagi jawabannya kembali pada sisi emosional dalam diri saya yang menggerakkan saya untuk itu.
Ada dua alasan yang membuat saya sebenarnya rela melakukan itu, yaitu bersusah-payah menulis buku dengan kualitas yang sedemikian kompleks.
Alasan pertama, bagi saya ini adalah cara saya “memberi balik” pada profesi yang telah menghidupi saya selama ini.
Saya merasakan betul bagaimana hidup saya berubah di profesi yang saya tekuni ini, baik secara moril atau pun materil, dan itu merupakan satu anugerah yang saya syukuri.
Saya menapaki bidang ini dari nol, dan bahkan minus, bagi saya bisa terus eksis di bidang ini sampai sekarang saja sudah merupakan anugerah yang tidak terhingga. Saya juga merasakan betul bagaimana melalui profesi ini saya bisa menyentuh hidup banyak orang di luar sana. Lagi-lagi itu pun merupakan anugerah yang tidak terkira bagi saya.
Di sisi lain, saya juga melihat ada banyak orang yang ingin bisa memasuki profesi ini tapi bingung harus memulai dari mana, ditambah lagi kalau kita buka-bukaan sebenarnya profesi ini kan memang dibutuhkan oleh masyarakat kita, yang boleh dikatakan sedang “tidak baik-baik saja”. Maka itulah saya ingin memberi balik pada profesi ini, memberi balik pada dunia yang telah membesarkan saya ini. Memberikan sebuah jalan bagi mereka yang secara serius ingin mendalami dunia ini agar mereka punya pijakan yang lebih bisa membantu mereka untuk memasuki dunia ini dengan lebih lancar dengan pengetahuan yang saya bagikan dalam buku saya.
Alasan kedua … nah ini baru alasan yang sangat emosionalnya. Sederhana sekali, saya ingin ada sesuatu yang saya tinggalkan kelak di umur yang mungkin cuma singkat ini.
Mari jujur apa adanya, tidak ada yang tahu umur manusia, hanya Tuhan Sang Pemilik Alam yang mengetahuinya. Kita bisa dipanggil Tuhan kapan pun, menutup kisah hidup kita di dunia ini kapan pun.
Sekarang pertanyaannya adalah, ketika kita dipanggil Tuhan, lalu apa? Kisah kita berakhir sudah. Lalu apa? Iya, orang-orang dekat kita mungkin akan bersedih karena kehilangan kita. Mereka mungkin akan menangisi kita di awal-awal kita pergi. Lalu apa?
Mari hadapi kenyataan, hidup akan kembali berjalan. Seberapa sedih dan berat pun orang-orang yang kita sayangi merasa kehilangan kita, tetap saja pada akhirnya mereka akan melakukan itu, membiasakan diri hidup tanpa kita. Apalagi orang-orang di luar sana yang terhitung tidak terlalu dekat dengan kita. Bisa benar-benar lupa malah.
Nah saya pribadi tidak ingin seperti itu. Saya merasa dianugerahi umur oleh Yang Maha Kuasa, kok tidak dipakai untuk benar-benar menjadikannya manfaat?
Mungkin terdengar egois. Tapi saya punya keinginan bahwa kalau pun saya sudah tidak ada di dunia, saya ingin ada sesuatu yang saya tinggalkan, yang membuat orang masih akan tetap mengingat keberadaan saya. Ya mungkin saja terdengar egois kalau cuma sebatas itu, tapi saya juga tidak ingin menjadikan keinginan itu hanya berpusat pada ego saya, makanya saya juga ingin kalau pun saya diingat kelak, maka itu adalah karena ada manfaat yang saya tinggalkan dalam kehidupan ini.
Anda mungkin sudah bisa menebak arah dari bahasan itu. Yes, disitulah buku menjadi media bagi saya untuk itu. Melalui bukulah saya ingin meninggalkan sesuatu yang kelak bisa terus ada, bahkan meski saya sudah tidak ada sekali pun. Melalui bukulah saya ingin bisa meninggalkan manfaat dalam hidup ini bagi orang-orang yang saya tinggalkan. Melalui manfaat itulah saya ingin bisa terus dikenang.
Tidak selesai sampai di situ. Secara personal, saya juga ingin kalau suatu hari saya sudah tidak ada, anak saya bisa berkata dengan bangga “Itu buku tulisan Ayah saya.” Melalui buku itu jugalah mereka masih bisa tetap mendengar perkataan-perkataan saya, yang semoga saja menjadikan mereka tetap bisa mengingat saya dan merasakan keberadaan saya di samping mereka.
Nah, ternyata hal itu yang menggerakkan lingkaran dekat saya untuk menulis sekarang ini. Dulu mereka hanya terus disibukkan dengan alasan intelektual untuk menulis, untuk branding lah, untuk membangun reputasi lah, atau untuk apa pun itu manfaat yang lebih bernadakan intelektual. Hasilnya? Malah tidak jadi-jadi itu buku, dimulai saja bahkan tidak. Secara logika mereka tahu itu baik dan bagus, tapi logika mereka juga tahu bahwa kalau tidak ditulis pun tidak ada hal buruk yang bisa terjadi pada mereka.
Lain ketika membicarakan sisi emosional. Sisi emosi dalam diri mereka tahu bahwa jauh di lubuk hatinya mereka ingin juga bisa meninggalkan kesan emosional di dunia ini, paling tidak untuk orang yang mereka cintai, caranya yaitu melalui buku yang mereka tulis sekarang ini.
Ketika sisi emosi mereka tergerak, sisi logika yang selama ini terbuai dan bermanja-manja kali ini bergerak. Setiap harinya ada saja saya melihat mereka terus menulis dan menulis. Maka itulah saya katakan kali ini saya optimis bahwa di akhir tahun buku yang mereka targetkan selesai bisa benar-benar jadi.
Bukan hanya buku. Kalau Anda melihat kenapa saya produktif berbagi di media sosial, itu adalah karena alasan yang sama. Yaitu untuk meninggalkan sesuatu yang bermanfaat selagi saya masih bisa. Lagi-lagi, ketika sudah tidak ada nanti, besar harapannya semua yang saya tinggalkan itu bisa menjadi manfaat bagi para penyimaknya, menjadi sesuatu yang tetap bisa membuat mereka merasakan keberadaan saya.
Sekarang coba lihat dinding media sosial kita, apa saja isinya? Jika isinya adalah hal-hal yang positif, memberdayakan, dan membahagiakan sesama, maka syukurlah. Tapi jika ternyata isinya kebanyakan keluhan, sumpah-serapah dan ujaran kebencian, maka itu juga yang akan kita tinggalkan nanti dan menjadi rekam-jejak yang orang ingat tentang kita. Apakah kita ingin itu terjadi? Duh amit-amit lah ya.
Ingat, hidup ini singkat, yang lebih lama justru adalah waktu yang akan berjalan ketika kita sudah tidak ada. Kalau kita kembali ke bahasan soal buku tadi. Ada begitu banyak buku legendaris yang masih terus hidup di jaman sekarang dimana buku itu bahkan ditulis pada abad kesembilan belas. Penulis buku itu sendiri mungkin hidup dengan tidak terlalu lama, ada yang menutup usia di kisaran 60 tahunan, 70 tahunan atau usia berapa pun itu. Tapi coba lihat buku mereka, bisa hidup sampai lebih dari dua abad lamanya. Itu yang saya katakan, waktu hidup kita ini singkat, yang lebih lama adalah waktu yang akan berjalan ketika kita sudah tidak ada.
Pertanyaannya, di waktu yang lebih lama itu adakah yang kita tinggalkan yang membuat diri kita tetap hidup, minimal secara nama, melalui manfaat yang kita tinggalkan?
Atau, mari jangan berpikir terlalu jauh, lihat kembali orang terkasih kita, orang-orang dekat kita, keluarga kita. Ketika kita tidak ada, adakah sesuatu yang bisa terus membuat mereka ingat pada diri kita? Pada prinsip yang kita yakini? Pada berbagai ucapan dan kalimat khas yang mewakili keberadaan kita ketika hidup? Jika ada, maka setidaknya itulah yang akan terus mewarnai dan membersamai perjalanan hidup mereka. Diri kita bisa saja secara fisik sudah tidak ada. Tapi semangat kita akan terus ada membersamai mereka.
Jadi, apa yang akan kita tinggalkan kelak?
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.