Episode 90 – Boleh Kok Menyerah, Tapi …
Sebagai manusia, ketika dihantam permasalahan yang begitu berat wajar adanya jika kita merasa lelah, dan bahkan terpikir untuk menyerah.
Hal yang umum disuarakan dalam berbagai program pengembangan diri pada umumnya mengajak kita untuk “pantang menyerah”, untuk tetap bangkit dan berjuang tidak peduli seberapa banyak pun masalah yang menghantam.
Bagaimana jika hal itu tidak sepenuhnya baik? Bagaimana kalau “menyerah” justru bisa menjadi sebuah pilihan bijak?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
https://creators.spotify.com/pod/show/alguskha/episodes/Ep-90-Boleh-Kok-Menyerah–Tapi-e2tsr6u
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh Life Restoration Podcast berjudul ‘Boleh Kok Menyerah, Tapi …’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Boleh Kok Menyerah, Tapi ...
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada … jumpa kembali di episode 90 kali ini, seperti biasa tentunya, bersama saya, Alguskha Nalendra.
Puji syukur, di minggu ini saya bisa kembali hadir membersamai Anda sekalian di audio podcast kali ini. Semoga di minggu-minggu yang akan datang pun saya tetap bisa membersamai Anda sekalian sebagaimana hal itu saya jadikan bagian dari resolusi kebiasaan saya di tahun 2025 ini.
Bersama rasa syukur ini tentunya saya juga panjatkan doa dan harapan terbaik semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Baiklah … seperti menjadi judul dari episode kali ini, saya ingin memulai dari satu pertanyaan. Apa yang muncul di pikiran Anda ketika mendengar kata “menyerah”?
Meski pun tidak semua akan memikirkan hal yang sama, tapi besar kemungkinan ada satu kesamaan di antara banyak orang sehubungan dengan hal ini, yaitu bahwa ia adalah suatu hal yang dikonotasikan negatif. Betul tidak?
Bisa kita lihat bahwa di berbagai kutipan atau kalimat mutiara yang bertebaran di media sosial, banyak isi dari kutipan atau kalimat itu menyuarakan hal yang sama, yaitu “jangan menyerah”. Betul?
Nah di episode kali ini saya ingin mengajak Anda untuk melihat sisi lain dari menyerah ini.
Bahkan sesuai dengan judul dari episode kali ini, pesan utamanya adalah “boleh kok menyerah.”
Lho kok malah jadi menyarankan hal negatif? Begitu beberapa orang mungkin berpikir.
Nanti dulu. Ingat, negatif atau positif itu baru bisa kita nyatakan kalau sudah paham persoalannya. Kalau masih awal-awal dan belum paham sudah menghakimi ya kurang pas juga lah ya.
Nah agar hal ini bisa kita pahami dengan lebih baik, mari kita mulai dari yang pertama dulu, yaitu apa itu “menyerah”?
Untuk yang satu ini saya tidak akan terlalu berpanjang lebar, karena memang secara praktis kita sudah sama-sama paham apa yang dimaksudkan menyerah ini ya. Sederhananya adalah: berhenti berusaha.
Ya, ketika seseorang menyerah, maka ia tentu sedang di tengah sebuah proses berusaha. Ada sesuatu yang sedang ia lakukan, atau perjuangkan, yang kemudian jadi ia hentikan, karena ia menyerah tadi.
Kalau begitu pertanyaannya, menyerah ini baik atau tidak?
Jawabannya ya “tergantung”. Kata kuncinya sudah kita bahas tadi sebenarnya, yaitu proses berusaha atau berjuang.
Maka pertanyaan yang akan lebih menjadi kunci kali ini adalah, “Menyerah ini karena apa?”
Nah, kali ini baru lebih jelas, termasuk jawaban yang menjelaskan judul dari episode kali ini, yaitu “Boleh kok menyerah, tapi …”
Nah, “tapi” yang kita bicarakan ini adalah alasan yang melatari si menyerah ini tadi terjadi karena apa.
Saya biasa mengatakan begini, alasan seseorang menyerah itu hanya ada dua. Yang kesatu adalah yang menjadikan menyerah itu negatif, yang kedua adalah yang menjadikan menyerah itu positif.
Apa saja kedua hal ini? Kita mulai dari yang kesatu ya.
Alasan pertama seseorang menyerah adalah karena ia tidak mampu mengimbangi beratnya tantangan yang ada. Baginya ia terlalu kecil, terlalu lemah, dan tidak mampu mengimbangi besarnya tantangan, maka ia menyerah.
Nah yang satu ini yang saya sebut sebagai menyerah yang negatif. Kenapa? Karena menyerahnya adalah karena faktor kekurangan diri. Padahal namanya kekurangan bisa diperbaiki, nah ini bukan fokus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, malah menyerah.
Contohnya adalah mereka yang ketika dalam pekerjaan dihadapkan dengan tantangan dan tekanan pekerjaan kemudian merasa tantangan dan tekanan itu terlalu berat untuk dirinya, alhasil ia memutuskan mundur.
Hal ini menjadi negatif karena ia bisa menjadi sebuah kebiasaan. Jika diteruskan maka ia akan menjadi pola berulang, Inginnya apa-apa mudah. Dikasih susah sedikit, harus berjuang lebih, muncul ketidaknyamanan, alhasil kemudian menyerah.
Namanya hidup, pasti akan ada saja tantangannya, betul tidak? Selama kita menjalani hidup dan memilki keinginan untuk terus meningkatkan kualitas hidup, pasti akan ada saja titik dimana kita belum mampu atau belum biasa mengatasi tantangan yang muncul.
Meski terlihat berat, tapi ini kan sebetulnya tanda, kita siap untuk naik kelas atau tidak. Ketika kita fokus memperbaiki diri, memperbaiki kekurangan yang kita miliki, maka saat itu yang semula kita tidak mampu lakukan jadi mampu kita lakukan, bukankah ini berarti kita naik kelas kehidupan, menjadi pribadi yang bernilai lebih?
Mereka yang menyerah karena faktor kekurangan diri ini biasanya membawa kebiasaan ini dari pengalaman terdahulu mereka. Ada pengalaman dimana mereka tidak dibiasakan untuk berjuang dan ada pilihan untuk “berhenti pun tidak apa-apa kok”, sehingga ketika dihadapkan dengan perjuangan rasanya berat dan menyakitkan, saat itu muncullah pola lama, “berhenti pun tidak apa-apa kok”.
Berjuang dan berusaha bukanlah sebuah keahlian yang dibentuk dalam semalam. Kita perlu melalui rangkaian pengalaman untuk berjuang dan berusaha ini sampai lama-lama otot berjuang ini terbentuk dengan kuat.
Ironisnya, manusia sebetulnya lahir dengan membawa naluri berjuang ini, namun ia kemudian menjadi lemah karena bentukan lingkungan.
Lihat saja anak bayi, seiring dengan ia melalui proses tumbuh-kembangnya menjadi dewasa, akan ada rangkaian pengalaman dimana ia harus mempelajari berbagai hal. Mulai dari belajar tengkurap, bergerak-gerak, merangkak, berdiri dan berjalan. Ketika anak-bayi belajar untuk melakukan hal itu, mereka tidak langsung bisa melakukan hal itu. Ada fase dimana mereka akan kesulitan dulu di awal.
Namun demikian, alaminya, mereka akan berjuang mencari cara sampai hal yang ingin mereka lakukan bisa mereka lakukan.
Di fase kesulitan inilah stimulus lingkungan ikut menjadi faktor yang menentukan naluri berjuang ini terlatih atau tidak. Jika lingkungan memberikan ruang agar anak-bayi ini berjuang, menguatkan dan memotivasinya agar ia terus menguasai hal-hal yang sedang ia pelajari maka saat itu ia mulai terbiasa dan membiasakan diri untuk berjuang, ia mulai terbiasa untuk menguatkan diri dalam mencapai yang ia ingin capai.
Hal inilah yang di kemudian hari akan membentuk anak ini menjadi sosok yang terbiasa berjuang. Ia tidak alergi dengan berjuang dan menguatkan diri. Karena memang hal itu sudah melekat bersama dirinya.
Tapi kalau lingkungan justru membatasi perjuangan ini, malah menghentikan atau memudahkan prosesnya begitu saja, maka anak-bayi ini juga jadi tidak terbiasa untuk berjuang dan menguatkan dirinya. Ia terbentuk dengan kemudahan, berjuang dan menguatkan diri menjadi satu hal yang asing baginya.
Hal inilah yang di kemudian hari akan membentuk anak ini menjadi sosok yang tidak tahan banting, tidak terbiasa menghadapi tantangan, tidak terbiasa menguatkan diri ketika menghadapi kesulitan, dan akhir-akhirnya menyerah.
Jadi … mereka yang menyerah karena fokus pada kekurangan diri bukanlah mereka yang mudah menyerah, melainkan mereka yang tidak terbiasa berjuang dan menguatkan diri.
Berita baiknya adalah, otot perjuangan adalah sesuatu yang bisa dilatih dan dibiasakan. Jadi kalau sampai saat ini ada orang-orang yang masih sedikit-sedikit menyerah, hal ini bisa dirubah, dengan catatan: mereka mau melatih dan membiasakan dirinya untuk itu.
Sesuai dengan judul episode kali ini, “boleh kok menyerah, tapi …” Nah tapi yang pertama adalah “tapi bukan karena kelemahan dan kekurangan diri. Jadi kalimatnya adalah, “Boleh kok menyerah, tapi bukan karena kelemahan dan kekurangan diri.”
Jadi karena apa dong? Nah ini akan membawa kita pada hal kedua yang melatari seseorang menyerah, yaitu karena apa yang diperjuangkan tidaklah sepadan dengan niliai-nilai yang diperjuangkan, dan dampak jangka panjangnya tidaklah sepadan.
Kita ambil contoh dari contoh yang kita bahas sebelumnya ya, yaitu mereka yang ketika dalam pekerjaan dihadapkan dengan tantangan dan tekanan. Namanya tantangan dan tekanan tentu harus kita hadapi, karena ia menjadi satu cara untuk menguatkan diri kita.
Maka mereka yang dihadapkan dengan tantangan dan tekanan ini pun fokus membangun ketahanan dirinya atas masalah, mereka mulai mencari cara untuk “mengalahkan” masalah itu. Ini adalah hal yang positif.
Tapi lagi-lagi, apakah hal itu sepenuhnya positif? Tergantung pada prioritas akan nilai atau value yang kita perjuangkan. Selama tantangan itu sepadan maka ia layak kita taklukkan, tapi jika tantangan itu tidak sepadan, maka ia hanya akan buang-buang waktu.
Misalnya saja mereka yang dihadapkan dengan tantangan pekerjaan tadi adalah mereka yang masih berusia muda, masih mencari pengalaman. Katakanlah di dunia kerja mereka ini ada banyak tekanan dan bahkan perpolitikan kantor yang luar biasa. Karena prioritasnya masih pengalaman dan fokus kehidupan mereka pun memang masih hanya terpusat ke pekerjaan maka ini menjadi tantangan yang sepadan. Tantangan ini sebaiknya dihadapi karena dengan mengalahkan tantangan ini mereka akan menjadi lebih kuat. Pengalaman dalam menaklukkan tantangan ini akan bermanfaat bagi mereka di masa depan nantinya, menjadikan mereka lebih strategis dalam memecahkan masalah.
Tapi lain ceritanya jika mereka yang mengalami hal ini adalah mereka yang sudah lebih tua, yang prioritas hidupnya sudah berbeda, bukan lagi sebatas pengalaman, melainkan ketenangan hidup bersama keluarga. Dalam hal ini bisa jadi tantangan yang ada tidak lagi sepadan dengan prioritas hidup yang sedang mereka perjuangkan.
Mereka sendiri punya kekuatan dan kesanggupan untuk menghadapi tantangan itu, namun menghadapi tantangan itu jadi menyita atensi mereka dan mengganggu kualitas hubungan mereka bersama keluarga, dalam hal ini tantangan ini menjadi tantangan yang tidak sepadan, karena ada prioritas yang lebih tinggi yang jadinya terganggu.
Tapi ingat, bahkan soal prioritas ini pun tetap saja patokannya adalah “ketahanan”.
Artinya, ketika kita dihadapkan dengan tantangan yang kita rasa tidak sepadan, ia menjadi tidak sepadan kalau pada dasarnya kita punya keahlian untuk menghadapi tantangan itu, hanya saja itu jadi buang-buang waktu karena ada prioritas lain yang lebih tinggi yang terlanggar.
Jadi jangan sampai juga urusan “tidak sepadan” ini menjadi alasan atau pembenaran. Begitu dihadapkan dengan tantangan langsung bilang “tidak sepadan”, biar seolah ada alasan untuk berhenti, padahal aslinya tetap saja sebetulnya ada ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan itu dan tidak siap untuk memperbaiki kekurangan diri.
Artinya, pastikan bahwa kita memang punya kesiapan untuk menghadapi tantangan yang terjadi, kalau pun ada kekurangan dalam menghadapi tantangan itu maka kekurangan diri itu sudah kita perbaiki, sehingga tantangan itu menjadi sesuatu yang sebenarnya bisa kita hadapi. Tapi … nah kembali ke tapi tadi, menghadapi semua itu malah jadi buang-buang waktu, karena ada prioritas lain yang lebih besar yang terlanggar karenanya.
Kalau sudah begini baru sah untuk menyerah atau berhenti. Karena berhentinya kita bukan karena kita menyerah pada tantangan, melainkan menyerah pada tidak sepadannya konsekwensi yang kita hadapi dibandingkan dengan dampaknya pada prioritas yang kita perjuangkan.
Jadi, menyerah di sini kita artikan sebagai “berhenti”.
Kita menyerah atau berhenti bukan karena kekurangan diri, bukan karena kita tidak mampu menghadapi tantangan yang ada. Kita menyerah atau berhenti karena tantangan itu tidak sepadan.
Tapi … apakah setelah berhenti, selesai sampai dis itu?
Tidak, kita cari tantangan lain yang lebih sepadan.
Tantangan yang kita tahu, meski pun itu berat ia sepadan dengan kualitas hidup yang kita perjuangkan. Dengan inilah berhentinya kita dari perjuangan sebelumnya menjaid beralasan. Karena perjuangan sebelumnya kita tahu tidak sepadan dan hanya buang-buang waktu. Maka kita pastikan perjuangan berikutnya adalah perjuangan yang sepadan dengan waktu yang kita keluarkan, dengan hasil yang kita dapatkan.
Jadi … boleh tidak menyerah?
Boleh kok, tapi … sudah tahu jawabannya kan?
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.