Klien Yang Tidak Bersedia Berubah
Dari beragam jenis kompleksitas situasi yang mempengaruhi penanganan klien, satu yang bagi saya cukup “tricky” di awal praktik dulu adalah ketika yang sibuk menghubungi dan ingin memesan jadwal untuk penanganan klien bukanlah diri klien sendiri, melainkan orang lain, bisa teman, keluarga, atau kerabat lainnya.
Hal ini saya dapati kerap terjadi pada mereka yang merasa hipnoterapi menjadi solusi yang bisa membantu klien, namun mereka sendiri belum memahami hipnoterapi secara tepat.
Ketika para “pemesan jadwal” ini menyatakan tujuan bahwa mereka ingin memesankan jadwal sesi terapi untuk calon klien, pertanyaan utama saya adalah “Apakah orang yang ingin dijadwalkan sesinya ini bersedia untuk menjalani terapi?”
Ada dua jawaban umum yang biasa muncul atas pertanyaan ini.
Jawaban pertama, yaitu jawaban “bersedia”, dimana hal ini akan saya tindaklanjuti lebih jauh dengan menyatakan bahwa jika calon klien bersedia maka ia sendiri yang harus menghubungi dan menyatakan kebutuhannya untuk memesan jadwal.
Dari situasi ini biasanya muncul lagi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama yaitu pada akhirnya sang pemesan jadwal memahami dan menyampaikan itu pada calon klien, sampai kemudian calon klien melakukan pemesanan jadwal oleh dirinya sendiri.
Kemungkinan kedua, sang pemesan jadwal memahami hal itu dan menyampaikan pada calon klien bahwa ia harus memesan jadwal oleh dirinya sendiri, namun tetap saja calon klien tidak bersedia dan meminta dijadwalkan oleh sang pemesan jadwal.
Untuk kemungkinan kedua ini, dengan berat hati saya pada akhirnya harus menyatakan bahwa saya tidak bisa mengakomodir kebutuhan itu, karena tetap saja aturan-kebijakan saya mengharuskan calon klien menyatakan kebutuhan dan memesan jadwal sesinya oleh dirinya sendiri.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa aturan ini diberlakukan. Hal ini adalah karena dua alasan logis.
Alasan pertama, dilakukannya pemesanan jadwal oleh diri klien sendiri mengindikasikan bahwa klien memang berkehendak penuh dan bersedia menjalani sesi dari keinginannya sendiri, bukan karena paksaan, suruhan atau permintaan orang lain.
Meski pemesan jadwal bersikeras menyatakan bahwa calon klien bersedia, dan bahkan ia melakukan itu atas permintaan calon klien, hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa saya pastikan kebenarannya. Bisa saja yang terjadi adalah sang pemesan jadwal membuat-buat skenario itu agar yang penting klien mendapatkan jadwal sesinya bersama saya.
Alasan kedua, yang juga berhubungan dengan alasan pertama, yaitu karena dalam setiap tindakan penanganan, diperlukan kesadaran, kesediaan dan kesiapan klien untuk berubah dari dalam dirinya. Secanggih apa pun teknik penanganan yang akan dilakukan, jika pada dasarnya klien tidak menghendaki menjalani penanganan maka penanganan itu tidak akan membawa dampak signifikan.
Disinilah dengan menghubungi langsung, calon klien sudah berada di satu tahap yang esensial, yaitu adanya kehendak, kesediaan dan kesiapan untuk menjalani sesi. Meski bisa saja ia tetap melakukan ini karena suruhan atau paksaan, paling tidak ada satu tahap yang terlewati dimana ia sudah memberanikan dirinya untuk melakukan satu hal yang sebelumnya tidak terpikirkan ia akan lakukan.
Kembali ke jawaban atas pertanyaan “Apakah orang yang ingin dijadwalkan sesinya ini bersedia untuk menjalani terapi?”
Jawaban kedua, yaitu justru jawaban “tidak bersedia”. Yang terjadi dalam hal ini biasanya pemesan jadwal berinisiatif memesankan jadwal untuk calon klien karena calon klien tidak bersedia dipesankan jadwal sesinya, atau tidak bersedia menjalani sesi.
Seperti dijelaskan di awla tulisan ini, hal ini saya dapati kerap terjadi pada mereka yang merasa hipnoterapi menjadi solusi yang bisa membantu klien, namun mereka sendiri belum memahami hipnoterapi secara tepat. Biasanya ada cara pandang dalam diri para pemesan jadwal ini yang beranggapan bahwa hipnoterapi adalah “solusi ajaib”, dengan menggunakan “hipnotis” maka yang tidak bersedia pun akan jadi bersedia dan yang tidak bisa sembuh pun jadi sembuh. Cara pandang yang dari awal saja sudah “bermasalah”.
Disinilah saya biasanya akan berpanjang lebar menjelaskan bahwa bukan seperti itu cara kerja hipnoterapi. Sebagai teknik terapi yang berhubungan dengan ranah pikiran atau psikologis, hipnoterapi tetap mensyaratkan adanya kesadaran, kesediaan dan kesiapan klien untuk berubah dari dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, ada “kehendak bebas” dalam diri klien yang tidak bisa dilangkahi oleh hipnoterapis.
Hipnosis—yang lebih banyak orang awam kenal sebagai “hipnotis” —bukanlah sebuah tindakan manipulasi pikiran yang bisa dilakukan dengan melanggar kehendak bebas seseorang. Jika seseorang tidak menghendaki untuk menjalani proses hipnosis maka seorang praktisi hipnosis pun tidak bisa memaksakan orang itu untuk menjalani proses hipnosis.
Yang sering terjadi dalam situasi ini adalah para pemesan jadwal ini sedang bingung atau resah, mereka peduli pada orang yang mereka anggap bermasalah, namun si orang yang mereka anggap bermasalah ini justru tidak menunjukkan kesediaan untuk berubah.
Keputusasaan itulah yang kemudian melahirkan dorongan untuk mencari “solusi ajaib” dari sosok dimana “tanggung jawab perubahan” bisa mereka limpahkan pada sosok itu. Kalau nantinya setelah menjalani sesi si orang yang dianggap bermasalah ini tetap bermasalah maka hal itu membuat mereka lebih lega, karena paling tidak mereka merasa sudah “mencarikan solusi”. sehingga mereka tetap merasa telah menunjukkan kepeduliannya.
Saya biasa menjelaskan lebih lanjut bahwa wajar dan manusiawi jika kita bingung dan resah melihat orang yang penting bagi kita bermasalah, namun kunci penting untuk seseorang bisa lepas dari masalahnya lagi-lagi terletak pada kesadaran, kesediaan dan kesiapan diri mereka sendiri untuk lepas dari masalah. Tanpa ada ketiga hal itu, tidak peduli seberapa banyak pun kepedulian dari orang di sekitar untuk membantu mereka tetap saja perubahan tidak akan terjadi dengan efektif.
Yang tidak kalah pentingnya adalah kita juga perlu memahami bahwa ada kalanya beberapa orang tidak bersedia dibantu karena tanpa disadari mereka “menikmati” permasalahannya.
Salah seorang klien coaching saya pernah mengeluhkan teman di komunitas ibadahnya yang ia “kasihani”, saking sedemikian banyaknya permasalahan yang temannya ini alami dalam hidupnya. Klien saya dan rekan satu komunitasnya merasa jengah karena setiap kali berkumpul ada saja masalah yang dikeluhkan si temannya yang bermasalah ini. Jika sudah “kumat” maka ia bisa bersikap sedemikian merepotkan dan pada akhirnya rekan satu komunitasnya jadi harus ikut terbawa kerepotan membantunya melewati fase “kumat”-nya itu.
Klien saya ini mengisahkan bahwa ia dan para rekan satu komunitasnya berencana membawa “teman yang mereka kasihani” ini menemui saya agar mendapatkan pertolongan. Namun satu hal yang membuat ia dan rekan satu komunitasnya makin gemas adalah karena ada saja alasan atau situasi yang menjadikan temannya yang bermasalah ini tidak bisa atau tidak bersedia diajak menemui saya.
Penjelasan yang saya yang saya gunakan dalam tulisan ini pun menjadi penjelasan yang saya berikan pada klien saya ini, namun dengan sedikit tambahan. Dalam penjelasan tambahan yang saya berikan, saya menjelaskan fenomena “seconday gain”, yaitu fenomena “manfaat tersembunyi di balik sebuah masalah”.
Ada beberapa orang yang meski mereka bermasalah, mereka justru mendapatkan manfaat tersembunyi dari masalahnya—misalnya perhatian dan belas kasihan—seperti yang dialami oleh teman satu komunitas klien saya ini. Meski ia bermasalah, namun tanpa disadari dengan ia terus bermasalah seperti itu ia jadi mendapatkan perhatian dan belas kasihan dari rekan lain di komunitas itu. Jika ia sembuh dari masalahnya maka bisa jadi ia akan kehilangan segala “manfaat tersembunyi” itu , maka itulah ia menghindari upaya penyelesaian masalah, karena ia tidak siap kehilangan manfaat tersembunyi yang selama ini—tanpa disadarinya—dinikmatinya.
Lalu bagaimana menyikapi fenomena ini?
Prinsip yang biasa saya jelaskan pada klien saya sederhana, yang terbagi atas tiga hal.
Pertama, perubahan hanya bisa terjadi jika mereka yang “bermasalah” sadar, bersedia dan siap untuk berubah.
Kedua, peran praktisi adalah sebagai fasilitator, kita menyediakan “fasilitas perubahan”, namun jika klien tidak bersedia menggunakan fasilitas itu maka tidak akan ada dampak signifikan yang bisa dihasilkan dari fasilitas itu.
Ketiga, jika mereka yang ingin memesankan jadwal ini sedemikian peduli pada rekan atau kerabatnya yang mereka anggap “bermasalah dan butuh pertolongan”, maka mereka pun punya porsinya tersendiri di situasi ini. Porsi mereka adalah membantu “menciptakan kesadaran, kesediaan dan kesiapan” dalam diri mereka yang dianggap bermasalah ini agar mereka tergerak dan kemudian, sadar, bersedia dan siap untuk berubah.
Hal ini bisa dilakukan dengan menasihati, atau memberikan umpan balik korektif yang pada akhirnya ditujukan untuk membangun kesadaran, kesediaan dan kesiapan dalam diri orang yang memerlukan pertolongan ini, agar mereka sadar, bersedia dan siap untuk berubah. Dengan kata lain, setiap orang punya tanggung jawab perubahannya masing-masing.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-hipnoterapi? Memerlukan layanan konseling-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.