Evaluasi Efektivitas Peta dan Perjalanan Hidup Kita
Sebuah kapal akan berangkat dari pulau A ke pulau B, dimana jarak dari pulau A ke pulau B ini adalah 100 km.
Perahu berangkat pukul 13:00 dan menargetkan sampai di tujuan pukul 17:00. Dengan kata lain, durasi yang ditargetkan agar perahu tiba di pulau B adalah 4 jam.
Mari kita cermati beberapa pertanyaan berikut.
- Berapa rata-rata kecepatan yang perlu dipertahankan kapal dari awal berangkat?
- Pada pukul 15:00 (2 jam dari keberangkatan) idealnya kapal sudah bergerak berapa km?
- Jika pada pukul 16:00 kapal didapati baru bergerak mencapai 50 km, karena berbagai hal, apa tindak lanjut yang perlu diambil?
Sampai sejauh ini, sangat mungkin ada berbagai pemikiran dan jawaban dalam diri mereka yang membaca tulisan ini.
Beberapa orang menjawab bahwa rata-rata kecepatan yang perlu dipertahankan kapal dari awal berangkat adalah 25 km/jam – 30 km/jam agar setiap jamnya kapal bergerak 25 km dan pada pukul 17:00 kapal bisa mencapai tujuan tepat waktu.
Ada juga yang mencermati lebih jauh bahwa jika pada pukul 16:00 kapal baru bergerak 50 km, maka untuk tetap tiba pada pukl 17:00 maka 50 km sisanya perlu ditempuh dengan kecepatan di atas 50 km/jam.
Kita cukupkan dulu bahasan atas ilustrasi di atas.
Pertanyaan berikutnya kali ini adalah, “Apa yang menjadikan berbagai keputusan, perencanaan, tindakan dan penanggulangan masalah bisa diambil dari ilustrasi di atas?”
Yes, semua itu bermula dari adanya “hasil akhir yang jelas” (clear outcome). Tepatnya yaitu tujuan akhir atas jarak yang akan ditempuh dan waktu ketibaan yang ditargetkan, sebagaimana sebuah kalimat bijak berbunyi, “Ombak dan angin jenis apa pun akan terasa sebagai ombak dan angin yang tepat bagi kapal yang tidak memiliki arah tujuan.”
Meski ada banyak hal yang bisa dibahas dari ilustrasi di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk secara spesifik membahas pentingnya keberadaan dari tujuan akhir yang jelas dan bagaimana hal itu mempengaruhi sikap mental serta perilaku seseorang, yang juga menjadikan akan ada beberapa perenungan dan pertanyaan bernuansa reflektif – tidak ubahnya sebuah sesi coaching – di akhir tulisan ini nanti.
Adanya hasil akhir yang jelas (clear outcome) akan memberikan arah yang jelas (clear direction), arah yang jelas akan memberikan kesadaran yang jelas (clear awareness) akan dimana posisi kita berada dan seberapa jauh kita dari pencapaian tujuan akhir kita, kesadaran yang jelas inilah yang kemudian melahirkan perencanaan yang lebih strategis (strategic planning) atas berbagai prioritas (clear priority) yang perlu kita lakukan agar kita bergerak bertahap menuju arah yang akan membawa kita pada hasil akhir yang kita tuju.
Menekuni dunia praktik konseling serta terapi, dulu ketika saya mendapati klien mengalami kondisi “stuck” dimana mereka tidak bergerak secara signifikan kemana pun dalam hidupnya, kecurigaan yang pertama kali muncul adalah adanya “mental block” yang menghambat mereka untuk “diam di tempat”.
Baru seiring saya lebih jauh mendalami dunia coaching hal ini saya cermati dari sudut pandang yang lebih luas, bahwa salah satu hal lain yang membuat mereka tidak bergerak secara signifikan dalam hidupnya – atau malah sibuk dengan berbagai aktivitas yang tidak terlalu penting – adalah tidak adanya arah yang jelas yang mereka tuju, yang menandakan tidak adanya hasil akhir yang jelas yang mereka ingin capai dalam hidupnya.
Bukankah tidak adanya arah yang jelas ini pun menjadi salah satu mental block tersendiri? Bisa saja demikian, karena saya pun dalam beberapa kesempatan mendapati orang-orang yang tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya mengalami fenomena ini karena beberapa hal yang berhubungan dengan trauma, luka batin atau tidak terbangunnya kendali diri yang baik dalam diri mereka.
Ya, ada orang-orang yang enggan menetapkan arah tujuan yang jelas karena mereka berkali-kali pernah melakukan hal itu, namun berkali-kali juga hal itu gagal mereka wujudkan, sehingga untuk menghindari kekecewaan yang sama mereka memilih untuk tidak perlu menetapkan arah tujuan yang jelas sekalian.
Ada juga orang-orang yang memang tidak menetapkan arah tujuan yang jelas ini bukan karena trauma atau takut kecewa, tapi karena mereka sendiri tidak tahu arah yang mereka tuju. Di sepanjang hidupnya mereka tidak terbiasa membuat keputusan, karena dua hal.
Yang pertama bisa karena keputusan itu selalu “dibuatkan” oleh orang yang punya kendali atas hidup mereka, misalnya orang tua yang otoriter yang merasa “tahu yang terbaik” untuk anaknya dan mendesainkan alur kehidupan yang “anak tinggal ikuti” tanpa anak punya ruang untuk memilih dan menentukan.
Yang kedua, bisa jadi karena sepanjang hidupnya apa-apa sudah selalu tersedia untuk dinikmati, apa-apa yang mereka rasa inginkan langsung tersedia dengan mudah untuk mereka tinggal nikmati begitu saja, tidak banyak perjuangan yang harus mereka lakukan, sehingga situasi “termanjakan” ini tidak melatih mereka untuk belajar menentukan arah dan membuat keputusan.
Memang ada orang-orang yang memilih untuk menjalani hidup seperti “air yang mengalir” saja apa adanya. Dalam hal ini kita tidak berbicara soal “salah dan benar”, melainkan soal “prinsip, pilihan dan konsekwensi”.
Demikianlah, memang ada beberapa orang yang menganut pemikiran “jalani saja hidup dengan mengalir, tanpa perlu arah dan tujuan yang pasti” ini karena itulah prinsip – dan bahkan aspek spiritual – yang mereka yakini. Prinsip itu bisa saja bermula dari perjalanan kehidupan mereka yang membuat mereka merasa “matang” dengan prinsip itu, dan itulah pilihan yang mereka ambil karena mereka siap dengan konsekwensinya.
Lagi-lagi, kita tidak bicara soal salah dan benar dalam hal ini, melainkan pilihan dan konsekwensi. Jika memang itulah pilihan yang seseorang buat dan konsekwensinya pun siap mereka tanggung, termasuk dampaknya pada orang di sekitarnya, maka setidaknya hal itu sendiri sudah menjadi sebuah arah tujuan yang mereka tetapkan sendiri, yaitu “arah tujuan yang mengalir”. Yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kesiapan atas konsekwensi dari pilihan ini.
Yang kerap kali menjadi masalah adalah jika pilihan untuk “hidup mengalir” ini sebetulnya bukanlah bersumber dari kematangan, melainkan semata “pelarian” karena menghindari trauma kekecewaan lama, atau jika pilihan ini dibuat sebatas karena “ikut-ikutan”, karena melihat lingkungan atau sosok yang dikagumi menjadikan hal itu sebagai sikap, sehingga terbangunlah respon “ikut-ikutan” tadi. Dengan kata lain, sikap itu diambil tanpa kesadaran akan konsekwensi. Seiring waktu berjalan, muncul kegelisahan karena sebetulnya hal itu bertentangan dengan kualitas kehidupan yang yang mereka ingin nikmati bersama orang-orang yang dikasihinya.
“Tidak kok, maksudnya bukan begitu. Maksudnya adalah jangan terlalu ngotot dengan yang inign kita capai.” Respon ini ada kalanya muncul setelah bahasan ini berlanjut cukup dalam.
Nanti dulu, menetapkan arah tujuan dan ngotot adalah dua hal yang berbeda. Ngotot dalam hal ini pun menjadi hal yang akan dimaknai berbeda oleh banyak orang. Ada orang-orang yang justru meyakini ngotot pada arah tujuanlah yang menjadi kunci dari berbagai pencapaian yang berkualitas karena hal itu menandakan keseriusan mereka untuk bergerak di arah yang mereka tuju. Sementara itu, ada juga yang merasa bahwa ngotot ini justru menjadi masalah karena membuat mereka jadi “tertekan” dan “terbebani”.
Bagi saya, definisi akan arti dan cakupan dari ngotot ini saja sudah memerlukan pemaknaan tersendiri, maka saya tidaklah mempersoalkan yang satu ini. Bagi saya yang terpenting adalah kesadaran (awareness) akan konsekwensi dari sikap yang diambil, karena yang saya amati tidak jarang turut menjadi masalah adalah ketika seseorang tidak menyadari arti di balik yang mereka lakukan dan tidak menyadari konsekwensinya.
Dalam prinsip yang saya yakini, arah tujuan yang jelas penting adanya, hal itu yang menjadikan saya menetapkan berbagai prioritas dan perencanaan yang saya upayakan buat sejelas yang saya mampu di balik apa yang saya lakukan. Jika ada yang bertanya kenapa saya rela meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk menulis buku dan artikel atau karya lainnya, membersamai klien di berbagai sesi private mereka, belajar lagi dari berbagai forum dan program pelatihan, termasuk mengadakan pelatihan dan berbagai forum pembelajaran, atau menjalani berbagai aktivitas lain apa pun yang dikatakan “melelahkan”, hal itu karena saya sadar akan arah-tujuan yang ingin saya capai dan saya sadar hal itu menjadi bagian dari perjalanan untuk mencapai arah-tujuan itu.
Yang tidak saya lakukan adalah ngotot pada hasil dan membebani diri saya sepanjang prosesnya. Saya menyadari bahwa jika sesuatu itu penting maka kita akan temukan cara, jika tidak maka kita akan temukan alasan. Hal ini menjadikan tanpa perlu ngotot pun saya melakukan semua itu dengan suka cita dan saya nikmati, sehingga rasa lelah bukan menjadi sesuatu ancaman yang menakutkan, selama rasa lelah itu sepadan dan ekologis, yang menjadikan efektivitas dari arah tujuan dan perjalanan menjadi satu hal yang perlu dievaluasi berkala.
Apa artinya “sepadan” dan “ekologis”?
“Sepadan” mengacu pada pencermatan saya untuk melihat apakah upaya yang dilakukan terbukti efektif membawa saya bergerak di arah tujuan yang saya tetapkan. Saya pun manusia biasa yang memiliki keterbatasan, tidak semua pilihan dan keputusan yang saya buat pasti tepat adanya.
Disinilah mencermati “pergerakan diri” dan dampak yang ditimbulkannya menjadi cara saya mencermati apakah rencana dan tindakan yang saya buat sepadan, dan apakah arah serta tujuan yang saya tetapkan tepat. Jika tidak, maka tentu diperlukan evaluasi untuk merancang ulang peta perjalanan yang lebih sepadan.
Sementara itu “ekologis” mengacu pada “dampak” dari yang dilakukan. Adakah dampak yang berlawanan – atau negatif – dari arah dan pergerakan yang saya buat terhadap prinsip dan prioritas yang saya yakini penting adanya? Jika ada maka hal ini akan saya cermati ulang, dari sini jugalah evaluasi arah tujuan dan perjalanan kembali dilakukan.
Maka itulah alih-alih ngotot pada hasil, saya lebih memilih untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan (eling lan waspada) pada dampak dari apa yang terjadi, lalu menetapkan pilihan, keputusan dan tindakan yang sepadan, ekologis dan efektif untuk menyikapinya.
Kembali pada bahasan inti dari tulisan ini tentang pentingnya arah tujuan dan pergerakan yang sepadan serta ekologis dalam melalui perjalanannya, mari merenungkan beberapa hal.
- Sudahkah kita memiliki arah tujuan yang jelas dalam hidup ini, yang menandakan adanya hasil akhir yang jelas yang ingin kita capai dalam hidup kita?
- Jika kita memutuskan menjadi orang yang menjalani hidup dengan mengalir, apakah betul keputusan itu kita buat dengan segenap kematangan, kesiapan dan kesadaran akan konsekwensinya – bukan karena pelarian atau ikut-ikutan semata – termasuk bagaimana semua itu akan berdampak pada lingkungan sekitar dan orang yang kita kasihi?
- Jika kita belum memiliki arah tujuan yang jelas dalam hidup ini, apakah hal ini sengaja dilakukan, atau sebuah “ketidaksengajaan” yang baru disadari, dan muncul kesadaran bahwa hal ini perlu disikapi?
- Jika kita sudah memiliki arah tujuan yang jelas, amati yang kita lakukan sekarang, apakah rencana dan skala prioritas yang kita buat sepadan, ekologis dan efektif membawa kita di pergerakan melalui arah tujuan itu?
- Jika kita sudah memiliki arah tujuan yang jelas, amati yang kita lakukan sekarang, apakah perilaku kita melambangkan pemenuhan prioritas yang tepat yang membawa kita mencapai arah tujuan itu, atau masih lebih banyak perilaku tidak efektif, tidak produktif, yang “membuang-buang waktu serta tenaga” sehingga hal-hal penting dan prioritas malah terbaikan?
- Jika kita sudah memiliki arah tujuan yang jelas, namun masih lebih banyak perilaku tidak efektif, tidak produktif, yang “membuang-buang waktu serta tenaga” sehingga hal-hal penting dan prioritas malah terbaikan, apa yang kita perlukan untuk kembali ke jalur yang efektif?
Ilustrasi sederhana yang sering kali saya berikan adalah: tutup mata sejenak, bayangkan dan rasakan Anda melihat dengan sejelas mungkin kehidupan yang Anda inginkan bersama mereka yang Anda kasihi 2-3 tahun ke depan, dan bahkan 5 tahun ke depan.
Kali ini sadari, apakah perilaku dan cara Anda menjalani hari demi hari saat ini, dari waktu ke waktu sejauh ini, menjadi sesuatu yang akan mengantarkan Anda menuju gambaran ideal hidup Anda.
Baik jawabannya adalah “ya” atau pun “tidak”, ijinkan saja hal itu memunculkan kesadaran lain atas hal yang perlu Anda tindaklanjuti setelah membaca tulisan ini.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching, konseling dan/atau hipnoterapi? Memerlukan layanan coaching, konseling dan/atau hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching, konseling dan/atau hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.