Gagal Mendesain Formula Penanganan = Gagal Penanganan
Jika ada satu hal yang bisa sedemikian membekas di benak para alumni program pelatihan coaching, konseling dan terapi profesional yang saya bersamai – seperti pada program Clinical Qualification of Resource Therapy misalnya – bisa jadi itu adalah: “jangan terburu-buru masuk pada tahap penanganan”, serta “luangkan waktu dan atensi yang memadai untuk mendesain formula penanganan”.
Demikianlah kedua kesimpulan itu biasanya muncul setelah mereka melihat saya mendemonstrasikan teknik yang sedang dibahas. Apa pun teknik yang sedang didemonstrasikan, ada kesamaan yang selalu saya tampilkan, yaitu pengumpulan informasi yang memadai atas permasalahan yang klien alami, serta desain formula penanganan yang jelas.
Mengapa saya meluangkan atensi begitu besar pada kedua hal tersebut? Hal ini tentu bukan tanpa alasan, melainkan bermula dari pengalaman saya pribadi membersamai banyak sesi klien selama lebih dari dua belas tahun ini di ruang praktik saya di Bandung.
Di awal praktik saya dulu, ada begitu banyak atensi yang saya curahkan pada “teknik”. Fokus saya di kala itu adalah bagaimana agar teknik yang sudah dipelajari bisa menghasilkan dampak perubahan positif pada klien.
Hal itu juga yang membuat saya fokus pada “hapalan” dan “prosedur”. Bagaimana pun juga di balik teknik yang digunakan ada tahapan-tahapan yang menentukan keberhasilan pelaksanaannya, maka pada pelaksanaan tahapan-tahapan itulah atensi saya tertuju, setidaknya itulah yang saya pahami pada masa itu.
Sekian waktu berlalu, seiring semakin bertambahnya jam praktik, pemahaman itu mulai bergeser. Dari yang semula fokus pada “teknik”, saya mulai fokus pada “prinsip”.
Apa yang membedakan keduanya? Begini, fokus pada teknik mensyaratkan “detail pelaksanaan” yang tepat dari teknik tersebut, ada rangkaian tahapan-tahapan prosedural yang menyertai fokus yang satu ini. Dengan kata lain, kita fokus pada bagaimana (how) teknik tersebut dilakukan agar menghasilkan dampak perubahan yang diharapkan.
Sementara itu fokus pada prinsip mengajak kita untuk fokus pada “esensi”, pada pemahaman yang lebih dalam yang melatari dilaksanakannya tahapan-tahapan teknik tadi. Dengan kata lain, kita fokus pada mengapa (why) teknik tersebut bisa menghasilkan dampak perubahan. Di titik ini pemahaman kita mulai terbangun atas jalannya sebuah penanganan, “fleksibilitas” pada jalannya proses pun mulai terbangun, namun dengan berpijak pada fondasi yang kokoh.
Sebelum kita melanjutkan bahasan lebih jauh, mumpung sedang ada topik yang berkenaan dengan “fleksibel”, saya ingin sedikit membahas muatan yang satu ini terlebih dahulu.
Sehubungan dengan “fleksibilitas” ini, bagi saya frasa “fleksibel” bisa menjadi sebuah frasa yang menjebak dalam sebuah proses penanganan. Ada kalanya beberapa orang bisa sedemikian “mengidolakan” fleksibel ini, karena bagi mereka keluwesan dalam memfasilitasi proses sangatlah penting.
Dalam hal ini jika “fleksibel” dipadupadankan dengan “luwes” maka saya sangatlah setuju. Yang bagi saya kemudian menjadi masalah adalah jika fleksibel ini dijadikan “kedok” untuk menutupi ketidaktahuan seseorang atas esensi dari proses yang mereka jalankan.
Sepanjang pengalaman berguru pada para tokoh luar biasa di bidang terapi, konseling dan coaching, saya mendapati ada satu hal yang para guru saya selalu tekankan dalam membersamai penanganan klien, yaitu “tahapan yang jelas”.
“Tahapan yang jelas” penting adanya karena kita memerlukan “konsistensi” dalam sebuah standar praktik yang kita operasikan bersama. Dengan beragamnya latar belakang peserta ketika mempelajari sebuah muatan tertentu, jika kemudian setiap orang yang belajar ini diberikan “kebebasan yang terlalu bebas” untuk menjalankan proses penanganan, bisa jadi malah muncul masalah karena setiap orang menjalankan apa yang dianggapnya benar, meski bisa jadi yang dilakukannya sebenarnya “keluar dari jalur yang seharusnya”.
Dengan adanya tahapan yang jelas, setiap peserta bisa lebih mudah memahami apa saja tahapan yang harus mereka jalankan dan apa saja parameter keberhasilan di setiap parameternya, maka pemenuhan parameter itulah yang cukup mereka jaga di setiap pelaksanaan prosesnya. Begitu juga ketika ada masalah dalam jalannya penanganan, instruktur bisa turut “mengaudit” atau menganalisa letak permasalahan, karena yang perlu dilakukan adalah meninjau tahapan dan parameter dari setiap tahapan yang sudah dilakukan, hal inilah yang mewarnai sesi supervisi alumni dan instruktur nantinya.
Dalam pelaksanaan tahapan dan pemenuhan parameter ini akan muncul dinamika tersendiri dari sisi klien – baik itu dari karakter, gaya komunikasi, pemahaman, dsb – yang menjadikan ada kalanya tahapan-tahapan dan pemenuhan parameter yang dilakukan pada satu orang tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama persis pada orang lainnya, disinilah diperlukan fleksibilitas, untuk memadupadankan gaya penyampaian dan pengemasan proses agar pemenuhan parameter tetap tercapai dan tahapan yang diperlukan terlewati dengan baik.
Bagi saya, hasil akhir (outcome) mendahului fleksibilitas. Maka fleksibilitas menjadi cara agar hasil akhir tercapai, namun dengan pendekatan yang berbeda.
Masalah muncul ketika seseorang baru belajar sebuah teknik sekedarnya – dengan pemahaman yang bahkan masih masih jauh dari esensi yang sebenarnya – lalu tiba-tiba ingin begitu saja “fleksibel” pada tahapan penanganan, entah tahapan yang ada malah diacak pelaksanaannya, ada tahapan yang dihilangkan, ada tahapan yang dilakukan dengan cara berbeda dari yang diperkenankan, atau malah ada tambahan dari hal-hal yang tidak seharusnya, yang malah jadi mengacaukan prosesnya. Jika ini yang terjadi, maka fleksibel dalam hal ini menjadi kedok semata dari “ketidakpahaman dan/atau ketidakpedulian atas esensi dari proses”.
Mari kembali ke kisah awal seputar pergeseran fokus yang saya alami sepanjang berpraktik. Seiring waktu berlalu, seiring semakin bertambahnya jam praktik, pemahaman saya pun semakin berkembang. Dari yang semula fokus pada “teknik” dan lalu mulai fokus pada “prinsip”, berikutnya saya mulai fokus pada “formula” atau “kerangka kerja”.
Fokus pada formula atau kerangka kerja inilah yang kemudian menuntun saya merumuskan parameter yang bagi saya perlu dipenuhi lebih awal lagi, bahkan sebelum penanganan dilakukan, yaitu sejak tahapan awal pengumpulan informasi.
Dari banyak sesi yang saya bersamai itulah saya mulai menemukan dua kesimpulan yang kemudian kerap saya bagikan pada para alumni saya.
Pertama. Tidak semua klien paham cakupan informasi yang diperlukan untuk proses penanganan yang akan dijalankannya. Ada beberapa klien yang sedemikian “kooperatif” mengisahkan terlalu banyak informasi, berbagai kisah latar belakang mereka diceritakan dengan lengkap, dengan durasi yang panjang juga adanya. Meski di satu sisi hal ini bisa saja bagus adanya, tapi “apa-apa yang berlebihan” tidak selalu baik adanya. Selain waktu yang jadi tidak efisien, beberapa praktisi yang belum bisa memilah informasi bisa jadi malah bingung karena informasi yang dimilikinya jadi sangat banyak, padahal belum tentu semua itu relevan dengan jalannya penanganan yang akan difasilitasi.
Yang kedua bisa jadi sebaliknya, informasi yang dikisahkan tidaklah memadai untuk menjadikan penanganan berjalan lancar. Ketidaklengkapan informasi ini bisa karena klien yang enggan mengisahkan lebih jauh seputar dirinya karena ia tidak percaya pada praktisi yang membantunya, bisa juga karena praktisi itu sendiri tidak paham apa saja cakupan informasi yang diperlukan, sehingga ia tidak mengumpulkan informasi itu dari kliennya.
Titik tengah dari hal inilah yang bagi saya perlu waktu untuk ditemukan, jangan sampai informasi yang didapat kurang, dan jangan sampai malah berlebihan, karena hal ini akan mempengaruhi pengelolaan jalannya sesi (session management) klien nantinya. Disinilah saya mulai menetapkan parameter pengumpulan informasi yang wajib didapat. Dari kelengkapan pengumpulan informasi ini juga saya baru bisa memperkirakan apakah penanganan klien (1) boleh, (2) bisa dan (3) layak dilakukan, ataukah tidak.
“Boleh”, “bisa” dan “layak” adalah tiga hal berbeda. Bahasan sehubungan ketiga hal ini pernah saya bahas di salah satu artikel di website saya, jika Anda merasa tertarik mendalaminya silakan menemukan bahasannya di sana.
Yang jelas, jika ternyata hasil pengumpulan informasi menyatakan bahwa penanganan tidak boleh dilakukan (atau pun tidak bisa, atau tidak layak), maka kita tahu tahapan bisa dihentikan di titik ini dan opsi alternatif yang bisa menjadi solusi paling ekologis perlu dikomunikasikan pada klien.
Bagaimana jika ternyata masalah klien boleh, bisa dan layak ditangani? Dari sinilah kita melanjutkan ke tahapan krusial berikutnya, yaitu “mendesain formula penanganan”.
Yang dimaksud “formula penanganan” dalam hal ini yaitu – apa saja – tahapan-tahapan proses yang bisa menciptakan perubahan positif atas permasalahan yang klien alami. Jika permasalahan – atau situasi – yang klien bawa kompleks adanya, apa saja tahapan-tahapan kemajuan yang perlu klien capai dari waktu ke waktu, termasuk pengelolaan sesi yang diperlukan untuk menciptakan kemajuan-kemajuan itu sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan.
Saya pribadi mendapati, ketika tahapan pengumpulan informasi dan perancangan desain penanganan ini berjalan berantakan maka hal ini akan mempengaruhi efektivitas dari jalannya penanganan klien, yang jadi turut berantakan karenanya.
Di setiap tahapan penanganan, ada parameter pemenuhan yang menjadikan tahapan itu baru bisa terlaksana dengan baik jika parameter itu terpenuhi. Ketika parameter pemenuhan itu tidak terpenuhi dengan baik maka akan ada saja kendala yang membuat prosesnya berjalan dengan tidak terlalu lancar. Hal inilah yang juga melatari desain formula penanganan yang saya rancang.
Tidak terhitung berapa kali protokol penanganan yang saya jalankan mengalami peninjauan ulang, evaluasi dan perbaikan, dimana hal ini terjadi karena dinamika permasalahan klien dan temuan dalam sesi yang juga terus berkembang dari waktu ke waktu. Tapi dari penyempurnaan itu jugalah efektivitas sesi semakin berkembang. Apa-apa yang dulunya baru tercapai dalam durasi tertentu kali ini bisa tercapai dengan durasi yang lebih singkat dan efektif karena adanya proses pembenahan berkelanjutan ini.
Saya bukan praktisi yang fanatik dengan jumlah teknik yang banyak dimana lain permasalahan maka akan lain juga teknik yang digunakan. Saya lebih suka proses penanganan yang berfokus pada alur protokol yang solid dimana apa pun jenis permasalahan yang klien bawa, maka protokol itu mampu mengakomodir penanganan permasalahan tersebut.
Seperti yang konon dikatakan Bruce Lee, “Aku tidak takut pada mereka yang berlatih sepuluh ribu jenis tendangan satu kali, aku lebih takut pada mereka yang berlatih satu jenis tendangan sepuluh ribu kali,” bagi saya adanya satu protokol yang bisa mengakomodir berbagai permasalahan lebih baik daripada puluhan teknik yang di kemudian waktu malah membingungkan jalannya pelaksanaannya, tidak memunculkan hasil yang konsisten, dan sulit diukur.
Kita kembali ke apa yang menjadi tema utama dari tulisan ini. Ketika formula penanganan tidak terdesain dengan baik, maka jalannya penanganan menjadi sulit untuk kita cermati. Sulit bagi kita untuk mengamati kualitas dari tahapan-tahapan di dalam proses yang berlangsung. Kalau pun penanganan yang dilakukan membawa hasil positif, sulit untuk memastikan apa tepatnya tahapan dari penanganan itu yang membawa hasil positif tersebut, sehingga sulit untuk kita mengembangkan prosesnya lebih lanjut atau menduplikasi kesuksesannya.
Bagi saya, keberhasilan sebuah penanganan bisa dilihat dari memungkinkan atau tidaknya keberhasilan itu diduplikasi. Jika keberhasilan itu bisa diduplikasi di kesempatan lain, atau pada orang lain, maka ada sebuah konsistensi yang bisa diciptakan dari prosesnya. Setidaknya itulah yang bagi saya menjadikan desain penanganan yang kita rancang menjadi sebuah “legacy”, suatu karya yang bisa membawa manfaaat bagi sesama.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-hipnoterapi? Memerlukan layanan konseling-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.