Sesi Terapi Yang “Ditemani” dan Potensi Sabotase Dari Parts
Sampai hari ini, satu pertanyaan yang masih kerap dilontarkan oleh para calon klien adalah “Apakah boleh menjalani sesi terapi dengan ditemani oleh yang mengantar?”
Terdapat dua situasi umum sehubungan dengan pertanyaan ini.
Pertama, calon klien yang menanyakan pertanyaan tersebut adalah calon klien langsung yang akan menjalani sesi terapi dimana ia akan datang dengan diantar oleh orang yang diminta mengantarnya, bisa pasangannya, anaknya, orang tuanya, keluarganya, atau bahkan sahabatnya.
Kedua, calon klien yang menanyakan pertanyaan tersebut adalah pengantar calon klien dimana yang akan menjalani sesi terapi adalah orang yang diantarnya. Serupa dengan sebelumnya, yang akan diantarkannya ini bisa pasangannya, anaknya, orang tuanya, keluarganya, atau bahkan sahabatnya.
Jawaban saya masih – dan akan selalu – sama, yaitu “tidak”. Salah satu poin kebijakan penanganan yang saya berlakukan yaitu sesi terapi hanya bisa dilaksanakan secara private-individual, yaitu oleh klien yang akan menjalani terapi, tanpa disaksikan atau ditemani oleh pihak mana pun.
Saya tidak mengatakan kebijakan tersebut adalah kebijakan yang paling benar adanya, karena bisa saja ada yang tidak setuju dan memberlakukan kebijakan lain. Dalam hal ini saya tidak mengatakan kebijakan tersebut paling benar adanya, melainkan itulah kebijakan yang bagi saya menjadikan protokol penanganan yang saya berlakukan bekerja efektif.
Lain praktisi maka lain juga protokol penanganan yang digunakan. Lain protokol maka lain juga faktor-faktor yang membentuk kelancaran pelaksanaan protokol tersebut. Dalam hal ini, protokol yang saya berlakukan mensyaratkan sesi terapi dilakukan secara private-individual.
Salah satu hal yang membentuk protokol yang saya gunakan adalah adanya proses penanganan yang melibatkan Personality-Parts (untuk alasan kemudahan, penyebutan hal ini akan saya sebut sebagai “Parts” saja), atau yang dikenal sebagai “Bagian (Part) Kepribadian” dalam diri manusia.
Bahasan tentang Parts ini sudah di beberapa kesempatan saya ulas di berbagai tulisan sebelumnya, terutama di website saya. Sederhananya, Parts adalah Bagian-Bagian dalam diri kita yang mewakili aspek kepribadian kita.
Ketika seseorang datang dan meminta bantuan untuk ditangani permasalahannya, yang terjadi adalah ada Part yang menyadari bahwa situasi yang terjadi tidaklah ideal adanya, dan ada Part lain yang menyebabkan masalah, yang menjadikan munculnya situasi tidak ideal tadi.
Misalnya saja seseorang yang ingin berhenti dari kebiasaan buruk, seperti “penundaan” misalnya. Yang terjadi adalah ada Part yang melatari masalah ini, yang melakukan perilaku menunda. Namun ada Part lain yang melihat bahwa penundaan ini menyebabkan masalah dan ingin berubah. Dengan kata lain, ada Part yang melihat bahwa ada berbagai kebaikan di masa kini – atau di masa depan – yang seharusnya bisa terwujud dengan lebih baik jika apa-apa yang ada disegerakan, namun karena ada Part lain yang melatari perilaku penundaan itu maka berbagai kebaikan itu menjadi sulit untuk diwujudkan.
“Konflik internal yang dibutuhkan”, demikian saya biasa menyebutnya. Hal ini karena memang untuk menjadikan sebuah penanganan terlaksana kita memerlukan adanya konflik internal ini.
Tanpa adanya konflik internal, meski perilaku seseorang menyebabkan masalah dalam hidupnya, tidak ada kesadaran yang menyadari bahwa perilaku itu menyebabkan masalah. Meski ada Part yang menyebabkan permasalahan dalam dirinya, tidak ada Part lain yang merasa itu adalah masalah. Sederhananya: mereka yang bermasalah – atau menyebabkan permasalahan – tapi tidak merasa dirinya bermasalah.
Bukan berarti Part yang menyebabkan permasalahan adalah Part yang buruk atau jahat. Tidak ada Part yang buruk atau jahat dalam diri kita. Hanya saja mereka “terprogram” atau “terkondisikan” untuk menyebabkan perilaku tersebut. Mereka sendiri merasa yang mereka lakukan adalah hal yang baik dan benar adanya untuk kebaikan hidup klien. Terjadi fenomena “disconnection” dalam hal ini, yang menyebabkan Part yang ingin hidup kita lebih baik justru melakukan yang mereka anggap baik dengan caranya sendiri, dimana hal itu justru menyebabkan permasalahan.
Sesi terapi ditujukan untuk menciptakan “reconnection”, dimana Part yang terprogram secara disfungsional itu “dikondisikan ulang” (deconditioned) agar ia kelak menjalankan tugasnya dengan cara yang lebih sehat. Di skala yang lebih detail, Parts bisa memasuki kondisi disfungsional tadi karena bisa saja ada trauma atau memori emosional yang berdampak negatif yang melekat padanya, maka proses terapi juga hendaknya memastikan terjadi proses pemulihan pada trauma (trauma recovery) yang dialami Parts.
Intinya, untuk menjadikan sebuah proses terapi terlaksana dengan baik, dalam protokol yang saya gunakan saya mensyaratkan keberadaan Parts yang berkonflik ini untuk bisa tersoroti dengan baik dan terfokuskan penanganannya, sehingga proses terapi bisa dilakukan secara efektif.
Masalahnya adalah ketika seseorang menjalani terapi dengan “ditemani” atau “disaksikan” oleh orang lain, ada Part lain yang jadinya ikut aktif dalam proses terapi ini, yang jadinya mengacaukan fokus penanganan yang klien jalani.
Part lain yang ikut aktif ini bisa muncul dalam tiga bentuk gangguan.
Pertama, Part yang takut kalau rahasia sensitifnya diketahui oleh yang mengantarnya, karena merasa itu adalah aib. Hal ini akan memunculkan kendala dalam proses terapi karena Part ini akan bersiaga “menyaring” keluarnya informasi, mengaktifkan mode kritis dan siaga klien, sehingga terapi yang seharusnya berjalan lancar menjadi tersendat-sendat, karena klien bukan dalam mode siap dan kondusif untuk menjalani terapi.
Kedua, Part yang justru memendam gejolak emosi pada si pengantar. Misalnya saja proses terapi dilakukan pada istri yang diantar suami, atau anak yang diantar orang tua, dimana dalam diri sang istri atau anak ini justru ada Part yang memendam gejolak emosi yang tertuju pada suami atau orang tua. Yang terjadi adalah bisa saja Part yang memendam gejolak emosi ini malah muncul dan mengekspresikan emosinya pada sang suami atau orang tua, meski pun gejolak emosi yang diekspresikan itu tidak berhubungan dengan tema permasalahan yang disepakati untuk ditangani di sesi kali itu.
Ketiga, Part yang justru ingin “bertingkah” di depan si pengantar. Arti dari “bertingkah” ini yaitu Part ini ingin menunjukkan perilaku tertentu di depan si pengantar agar si pengantar jadi memandang klien dengan persepsi tertentu.
Misalnya saja klien yang justru dalam proses terapi malah jadi bersikap sedemikian tegar, sedemikian bijak, atau sedemikian nelangsa, dimana sikap tegar, bijak dan nelangsa itulah yang ditujukan agar “dilihat” oleh si pengantar. Harapannya agar si pengantar melihat klien sebagai sosok yang tegar, bijak, atau malah harus dikasihani karena masalahnya. Masalahnya adalah, hal ini menjadikan akar masalah yang sebenarnya dalam diri klien tidak terakses karenanya. Klien malah jadi semakin larut – dan bebal – dalam permasalahannya sendiri.
Hal ini yang menjadikan saya sampai saat ini tidak melayani permintaan sesi terapi yang ditemani atau disaksikan. Bukan berarti dulu hal ini tidak pernah saya lakukan. Di awal praktik dulu tentu hal ini pernah saya lakukan, karena “kebodohan” dan kepolosan masa lalu yang belum tahu dampak dari yang terjadi. Karena klien merasa “lebih aman” jika ditemani maka hal itu saya ijinkan. Hasilnya, proses penanganan malah jadi berantakan dan tidak karuan.
Namun demikian, kesalahan semata tanpa pembelajaran akan menjadi kesalahan yang sia-sia. Hal itu yang mendorong saya untuk menemukan pembelajaran di balik apa yang terjadi dan menjadikannya “kesalahan yang bernilai” agar ia menjadi pembelajaran. Maka lahirlah ketentuan dan kebijakan sesi terapi private-individual tadi.
Ada yang mungkin bertanya, “Bagaimana dengan penanganan pada anak kecil, bukankah mereka idealnya masih dibersamai orang tuanya?” Sebagai catatan, setiap praktisi memiliki spesialisasinya masing-masing. Saya sendiri tidak menangani klien anak kecil, karena bukan itu spesialisasi saya. Jika ada kasus seperti itu saya lebih memilih mereferensikannya pada rekan sejawat saya yang lebih spesialis di bidang yang satu ini.
Bagaimana kalau klien merasa “tidak aman” dan “tidak percaya” untuk menjalani terapi sendirian. Jika ini yang terjadi maka saya pun harus introspeksi bahwa jangan-jangan ada hal tertentu yang menjadikan klien merasa tidak aman dan tidak percaya, mulai dari penataan fasilitas ruangan atau tempat terapi, pembawaan saya dalam menemui klien, dan lain sebagainya. Dari situlah saya berbenah lagi, sampai ke saat ini dimana saya bersyukur penataan fasilitas ruangan atau tempat terapi yang saya gunakan sudah mengadaptasi berbagai prinsip mitigasi resiko untuk lebih menjaga keamanan dan kerahasiaan klien.
Sejauh ini semua fasilitas dan prosedur terapi yang saya adaptasi sudah didesain untuk menjaga kemanan dan kerahasiaan klien, maka tidak ada alasan untuk kemudian merasa “tidak aman”. Jika sampai titik ini klien masih juga ingin “ditemani” maka respon saya adalah “silakan mencari praktisi lain yang dirasa lebih cocok atau bersedia memfasilitasi hal itu”, karena saya tidak mengijinkan hal itu dalam proses yang saya fasilitasi, dengan mempertimbangkan alasan yang sudah saya tulis di atas sebelumnya.
Bagaimana pun juga saya harus tahu diri, jika klien tetap merasa tidak aman atau tidak percaya – baik karena hal apa pun itu – maka proses terapi tidak akan bisa berjalan efektif. Konselor atau Hipnoterapis tidak memiliki “kuasa ajaib” untuk menyembuhkan klien. Proses terapi adalah sebuah proses kerja sama antara kedua belah pihak, praktisi yang membantu dan klien yang dibantu, tanpa adanya kepercayaan dan kerja sama ini maka teknik terapi sebaik apa pun akan berulang kali menemui resistensi karenanya.
Penelitian terkini dalam dunia konseling dan psikoterapi mendapati bahwa dari sekian banyak faktor yang menjadikan proses pemulihan atau perubahan terjadi dengan efektif, satu yang memegang porsi paling besar adalah kerja sama antara praktisi dan klien, yang biasa disebut “therapeutic alliance”. Hal inilah yang termasuk persyaratan wajib dalam protokol yang saya gunakan.
Ada kalanya klien bisa saja memiliki ketakutan sendiri untuk berada di ruang terapi secara private dengan praktisi yang akan membantunya, dimana bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengalaman negatif tertentu di masa lalu. Jika ini yang terjadi maka sebelum sesi terapi dilakukan, di sesi konsultasi awal saya akan memberikan kesempatan pada klien untuk memastikan semua hal yang ingin dipastikan, yang bisa membuatnya merasa aman menjalani terapi nantinya, namun saya akan tetap menegaskan bahwa proses terapi yang akan dijalaninya tetap akan dijalaninya secara private.
Jika setelah memahami semua itu klien kemudian memutuskan untuk menjalani penanganan, maka saat itu saja ia sudah berhasil mendobrak satu ketakutan dan keraguan masa lalunya yang menghambatnya untuk berubah, hal ini akan menjadi pijakan yang baik untuk menjalani proses penanganan yang sama baiknya. Namun jika setelah memahami semua itu klien masih juga lebih memilih menurutkan ketakutan dan keraguan lamanya, maka agaknya memang ia belum sepenuhnya siap untuk mendobrak batasan lamanya, meski proses terapi dilakukan sekali pun maka akan lebih banyak muncul masalah di sepanjang proses karenanya.
Konselor atau Hipnoterapis memiliki peran untuk membantu klien mengatasi permasalahannya, namun klien juga punya porsi perannya sendiri, salah satunya yaitu untuk meneguhkan hatinya bahwa ia bersedia dan siap menjalani penanganan yang akan mengantarnya pada perubahan dirinya, termasuk mendobrak batasan lamanya yang selama ini menghambatnya untuk menjalani proses penanganan dengan sungguh-sungguh.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-hipnoterapi? Memerlukan layanan konseling-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.