Tahu Diri Karena Pernah Mengalami
Minggu lalu seorang klien berlatar belakang mahasiswa yang baru lulus kuliah di luar negeri berkonsultasi dengan saya pasca sesi terapi.
Sesi terapi yang dijalani klien ini, sebut saja Rendi (bukan nama sebenarnya) sebenarnya ditujukan untuk menangani rasa cemas berlebih yang dialaminya, yang mengganggu aktivitasnya.
Rendi datang dengan motivasi dan sikap yang baik sekali. Kesungguhannya untuk lepas dari masalahnya sedemikian kuatnya. Menggunakan teknik terapi yang didesain khusus untuk meredakan akar masalah yang bersumber dari Personality-Parts yang bersifat reaktif di pikiran bawah sadar, rasa cemas berlebih yang sebelumnya ia rasakan sedemikian kuat bisa teredakan dalam waktu yang relatif singkat. Di akhir sesi ketika rangkaian pengujian hasil terapi dilakukan pun Rendi bisa melalui semua rangkaian pengujian itu dengan hasil yang mengindikasikan bahwa permasalahan yang dialaminya sudah tertuntaskan.
Seusai sesi terapi Rendi meminta sedikit waktu saya untuk mengkonsultasikan situasi yang dialaminya. Karena memang masih ada waktu yang tersedia saya pun memberikan kesempatan untuknya berkonsultasi.
Di sesi konsultasi itu Rendi meminta pendapat saya tentang pilihan yang sebaiknya diambilnya sekarang ini selepas ia lulus kuliah, apakah sebaiknya ia melamar pekerjaan dan bekerja, ataukah membuka usaha sendiri dan menjadi wirausahawan.
Dalam konteks coaching, saya tidak akan memberikan saran atau pendapat, melainkan mengeksplorasi isi pikiran Rendi lebih dalam agar ia menyadari apa pilihan yang paling ekologis baginya. Namun kali ini konteks interaksi saya dengannya adalah konsultasi informal dimana ia meminta pendapat saya, maka saya pun bertindak sebatas yang menjadi prioritas dari interaksi saat itu, yaitu memberikan pendapat.
Saya memberikan pendapat pada Rendi bahwa sebaiknya ia melamar pekerjaan dan bekerja dulu saat ini, dan bukan serta-merta membuka usaha sendiri dan menjadi wirausahawan.
Tidak bisa dipungkiri, di era modern ini ada berbagai cara dan peluang untuk menjadi wirausaha dengan berbagai jenis usahanya. Bisa dipahami juga jika di usianya yang masih muda ini Rendi pun memiliki ketertarikan tersendiri untuk membuka usaha sendiri, bagaimana pun juga topik seputar kewirausahaan menjadi topik yang agaknya mendapatkan atensi tersendiri di kalangan generasi muda akhir-akhir ini. Sampai-sampai seolah muncul tren tersendiri. “semakin muda memulai usaha semakin bagus adanya, agar bisa pensiun di usia muda”.
Dalam konteks interaksi saya dengan Rendi, saya sampaikan bahwa pertimbangan saya bukan semata soal alasan “cari pengalaman”, melainkan “menempa hati”.
Ya, dalam berbagai pembicaraan yang menyoroti topik “lebih baik bekerja dulu sebelum membuka usaha sendiri”, pertimbangan yang umumnya melandasi topik ini adalah “mencari pengalaman” atau “mengumpulkan modal” dulu sebelum membuka usaha sendiri.
Kedua hal itu memang menjadi hal yang masuk akal, namun saya tidak menyoroti hal itu dalam diri Rendi. Selagi Rendi berkuliah di luar negeri, ia banyak mengumpulkan pengalaman sambil bekerja paruh waktu di sela kuliahnya. Ia juga tergolong berasal dari keluarga berada yang sebetulnya bisa saja memodali usahanya jika ia ingin membuka usaha sendiri.
Yang saya soroti dalam situasi Rendi adalah pentingnya “menempa hati” sebagai pekerja sebelum ia kelak memulai berwirausaha.
Bagi saya menjadi seorang wirausahawan bukan sebatas mengelola pekerjaan, tapi juga mengelola para pekerja yang menjalankan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain: ada unsur “mengelola manusia” yang sangat kental dalam sebuah praktik wirausaha.
Dalam pengalaman subjektif saya, saya mendapati mereka yang memulai wirausaha dengan sebelumnya pernah bekerja cenderung memiliki empati yang lebih tinggi dalam memperlakukan pekerjanya, karena mereka sendiri pernah menjadi pekerja dan tahu seperti apa rasanya diperlakukan oleh atasan atau pemilik usaha.
Sebaliknya, mereka yang langsung memulai usaha begitu saja tanpa pernah bekerja sebelumnya cenderung tidak punya basis data tentang seperti apa rasanya “diperlakukan sebagai pekerja”, sehingga cara mereka memperlakukan pekerjanya pun lebih didasari oleh intuisi spontan.
Perlu diingat bahwa kedua situasi tadi bukanlah generalisasi, karena bisa saja terjadi kebalikannya. Bisa saja yang terjadi adalah meski pun seseorang pernah bekerja namun memiliki empati yang rendah pada pekerjanya ketika menjadi wirausahawan, atau sebaliknya, mereka yang tidak pernah bekerja ternyata memiliki empati yang baik pada pekerjanya ketika menjadi wirausahawan. Dalam hal ini tentu akan ada faktor-faktor yang menjadikan hal ini terjadi, namun setidaknya pengalaman subjektif saya lebih banyak memunculkan fenomena sebagaimana sebelumnya dibahas di atas tadi, yang menjadikan pendapat yang saya berikan pada Rendi pun didasari pada pengalaman subjektif saya pribadi.
Ada pun menempa hati ini bukan semata soal memperlakukan sesama, namun juga “memperlakukan diri sendiri sebagai wirausahawan”.
Lagi-lagi bersumber dari pengalaman subjektif pribadi, saya mendapati mereka yang terlalu menggebu-gebu ingin menjadi wirausahawan karena sebatas mengejar “kebebasan waktu” sering kali menjadi mereka yang kelak tidak disiplin dalam menjalankan bisnisnya, jika bukan seenaknya. Hal ini karena dari awal pun motif berwirausaha yang ditetapkannya adalah ingin bisa “seenaknya”. Ditambah tidak adanya pengalaman bekerja yang membentuk etos kerja dan kedisiplinan, tidak heran jika kelak nuansa “seenaknya” ini mewarnai cara mereka menjalankan bisnis, karena tidak ada atasan yang menegur atau memarahi mereka kalau pun mereka seenaknya.
Sebaliknya, mereka yang berwirausaha karena punya tujuan yang jelas atas bagaimana usaha yang mereka jalani bisa “memberi arti” dalam hidup sesama – ditambah dengan adanya pengalaman bekerja yang membentuk etos kerja dan kedisiplinan – cenderung lebih disiplin dan menjaga proses. Ada atau tidak ada pekerjaan yang melibatkan tindakan mereka dalam operasional, mereka tetap meluangkan waktu untuk memonitor dan meninjau operasionalnya, karena memang mereka terbiasa menjaga jalannya proses.
Profesi saya sebagai wirausahawan di bidang coaching, konseling, terapi dan training termasuk profesi yang bagi saya sangat rentan dibayangi “kemalasan”. Bagaimana tidak, tidak ada atasan yang menegur kalau pun saya ingin seenaknya. Tanpa etos yang terbentuk dengan baik, godaan untuk bersikap seenaknya dan tidak disiplin ketika sedang tidak ada aktivitas pekerjaan akan dengan mudahnya saya ikuti karena memang hal itu memberikan kenyamanan.
Puji syukur, pengalaman bekerja saya menjadi satu hal yang membentuk etos dan kedisiplinan dengan kuat. Ketika tidak ada jadwal klien atau jadwal mengajar sekali pun, saya tetap datang ke tempat kerja dan memonitor proses kerja para tim di kantor. Waktu luang yang ada ini pun lebih banyak saya karyakan dengan cara merumuskan karya-karya baru yang bisa membawa manfaat yang lebih besar bagi sesama. Hal ini tidak akan terjadi jika sejak awal etos dan kedisiplinan ini tidak terbentuk dengan baik, yang ada bisa-bisa saya malah akan berleha-leha menikmati waktu bermalas-malasan yang melenakan.
Dalam pendapat yang saya berikan pada Rendi, saya juga menyinggung pentingnya bekerja pada orang lain sebagai media untuk mengenal diri, untuk mencari tahu bidang atau aktivitas yang ia sukai. Sedikit banyak hal ini akan membantunya untuk bisa mengenali apa jenis usaha yang akan ia jalankan nantinya jika waktunya tiba. Meski tidak selalu menjadi jaminan keberhasilan, setidaknya menjalankan bidang yang disukai bisa membuat kita lebih menikmati segala konsekwensi yang menyertai bidang yang kita jalankan sebagai usaha tersebut.
Masih di proses konsultasi itu, Rendi juga menanyakan pendapat apakah sebaiknya ia bekerja di kota tempat tinggalnya, atau sekalian merantau ke luar daerah. Saya pun memberikan pendapat bahwa menurut hemat saya sebaiknya ia sekalian merantau ke luar daerah.
Bagi saya, merantau adalah satu cara untuk menempa hati di skala yang lebih tinggi. Sebagai perantau, kita belajar untuk bersikap, berinteraksi, bertoleransi, membuka diri terhadap perbedaan, dan banyak lagi aspek penempaan lainnya. Saya mendapati mereka yang pernah – dan matang – merantau cenderung memiliki tingkat keberanian, apresiasi dan tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap sesama, karena mereka pernah berada di posisi minoritas, mereka pernah berada di posisi yang mensyaratkan mereka untuk bisa “berbesar hati” pada lingkungan, tidak menjadi sosok yang “jago kandang” dan hanya berani karena merasa berada di daerah sendiri.
Namun demikian, saya menekankan pada Rendi bahwa apa pun yang saya sampaikan, semua itu adalah pendapat subjektif saya pribadi, yang bersumber dari pengalaman subjektif saya pribadi. Saya menyarankan Rendi untuk juga mencari pendapat lain dari orang lain agar wawasannya semakin kaya dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan.
Tadi pagi saya mendapatkan kabar dari Rendi bahwa ia sudah mulai mengirimkan lamaran untuk posisi-posisi bekerja di luar daerah, beberapa bahkan ditujukan ke luar negeri. Rendi mengisahkan bahwa setelah ia berkonsultasi dengan saya ia pun berkonsultasi dengan para tokoh senior lain, termasuk para rekan bisnis ayahnya. Tidak terduga, mereka memberikan pandangan yang kurang lebih serupa dengan yang saya kisahkan, yang membuatnya semakin yakin atas keputusan yang akan diambilnya.
Saya menutup interaksi dengan Rendi dengan menghaturkan doa dan harapan terbaik agar segala urusannya dilancarkan dan yang dilakukannya membawa kebaikan bagi sesamanya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-coaching? Memerlukan layanan konseling-coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.