Konflik Internal Sebagai Syarat Perubahan
Beberapa waktu lalu seorang calon klien menghubungi admin saya dan menyatakan keperluan pemesanan sesi terapi untuk sanak saudaranya.
Sesuai dengan aturan-kebijakan pemesanan sesi yang saya gunakan, admin saya merespon dengan menjelaskan bahwa setiap pemesanan jadwal sesi haruslah dilakukan oleh calon klien langsung, tanpa diwakili oleh siapa pun dimana dalam hal ini calon klien harus menyatakan kesediaan dan kebutuhannya langsung untuk menjalani penanganan.
Pihak yang menghubungi admin saya bersikeras menyatakan bahwa ia melakukan pemesanan sesi untuk sanak saudaranya karena ia merasa sanak saudaranya memerlukan bantuan dan ia meyakinkan admin saya bahwa sanak saudaranya pasti bersedia untuk menjalani sesi terapi.
Lagi-lagi mengikuti aturan dan kebijakan yang saya berlakukan, admin saya tetap tidak mengiyakan permintaan pihak yang menghubungi ini dan mensyaratkan sanak saudaranya – yang konon bersedia menjalani sesi – untuk menghubungi kami secara langsung.
Hal seperti ini bukan sekali dua kali kami hadapi. Dari sekian banyak calon klien yang menghubungi, ada saja pihak-pihak yang “berinisiatif” memesankan jadwal sesi untuk orang lain yang mereka rasa memerlukan sesi terapi. Pada umumnya hal ini terjadi karena mereka merasa “kasihan” pada orang yang mereka rasa memerlukan pertolongan dan mereka berinisiatif mencarikan pertolongan.
Menyikapi hal ini, respon kami selalu sama, kami bersitegas mensyaratkan calon klien untuk menghubungi kami langsung dengan tanpa diwakili. Kalau ternyata pihak yang menghubungi ini “membandel” dengan bepura-pura menyatakan dirinya sebagai si klien yang meminta jadwal sesi terapi demi bisa mendapatkan jadwal untuk orang yang ia maksudkan, nantinya ketika di sesi perjumpaan langsung hal ini terungkap maka calon klien “yang sebenarnya” ini tidak akan kami layani.
Meski terdengar seperti aneh, hal ini bukan dibuat tanpa alasan, melainkan untuk kebaikan klien sendiri, karena memang itulah syarat perubahan yang harus ada dalam situasi permasalahan yang seseorang alami.
Sebagai penegas, saya kerap kali juga mengatakan bahwa hal ini ditetapkan bukanlah karena kami “belagu”. Justru hal ini bermula dari kesadaran dan pemahaman bahwa kami bukanlah “penyembuh” atau “orang sakti” yang bisa menciptakan “keajaiban” begitu saja. Kami menyadari bahwa kunci kesembuhan bermula dari kesadaran, kesediaan dan kesiapan klien sendiri untuk bisa lepas dari masalahnya. Sehebat apa pun teknik yang kami miliki, kalau dari diri klien sendiri tidak memutuskan dan mengijinkan dirinya untuk dibantu maka teknik itu tidak akan menghasilkan hasil akhir yang diharapkan.
Dalam protokol praktik yang saya operasikan, sebagaimana saya bahas di buku saya yang berjudul “Hypnotherapeutic Assessment, Diagnosis & Treatment Plan” (2019), saya menggunakan tiga “filter” untuk menyaring klien yang disebut 3P, yaitu (1) Permitted to, (2) Possible to, dan (3) Prepared to.
“Permitted to” mengacu pada kriteria penyaringan klien berdasarkan “boleh tidaknya masalah atau profil calon klien diterima”. Bagaimana pun juga ada ruang kewenangan yang harus saya patuhi dalam menjalankan peran profesi sebagai tenaga kesehatan komplementer. Terdapat beberapa kondisi dimana masalah atau profil klien tidaklah memungkinkan untuk saya tangani karena ia berada di luar kewenangan praktik saya, atau karena memang ada faktor resiko lain yang menjadikan saya tidak bisa mempraktikkan protokol terapi saya pada calon klien ini.
“Possible to” mengacu pada kriteria penyaringan klien berdasarkan “bisa tidaknya masalah atau profil calon klien diterima”. “Boleh” dan “bisa” adalah dua perkara berbeda. Mungkin saja masalah dan profil klien boleh ditangani dengan protokol terapi yang saya gunakan, tapi belum tentu hal ini bisa dilakukan. Beberapa faktor yang menjadikan proses terapi “tidak bisa” dilakukan contohnya adalah kemampuan fokus klien, kemampuan berkomunikasi klien, dan beberapa faktor teknis lainnya.
“Prepared to” mengacu pada kriteria penyaringan klien berdasarkan “layak tidaknya masalah atau profil calin klien diterima”. Arti dari layak di sini yaitu klien memiliki kesadaran, kesediaan dan kesiapan untuk lepas dari masalahnya, dimana salah satu kriteria atas hal yang satu ini diwakili oleh klien menghubungi sendiri dan menyatakan kebutuhan serta keinginan untuk menjalani sesi terapi.
Bagaimana pun juga penanganan pada psikis atau mental sangatlah mensyaratkan kesadaran, kesediaan dan kesiapan. Kita tidak bisa memaksa klien untuk menjalani penanganan dan “menerima” apa yang kita sampaikan jika pada dasarnya mereka menolak untuk itu.
Dalam perspektif “Parts-Therapy“, saya sering kali mengatakan bahwa untuk bisa membantu klien lepas dari masalahya ada syarat yang harus terpenuhi dalam diri klien, yaitu adanya “konflik internal” dalam diri mereka.
“Konflik internal” dalam hal ini mengacu pada adanya Bagian dalam diri klien yang “berkonflik”.
Catatan: terminologi “Bagian” (ditulis dengan huruf “B” besar di awal kata) mengacu pada keberadaan “Parts” dalam diri manusia yang mewakili sisi-sisi kepribadian dalam dirinya yang mengoperasikan fungsi dan peran spesifik.
Meski terdengar negatif, keberadaan konflik internal diperlukan sebagai syarat seseorang berubah. Ada pun konflik dalam hal ini mengacu pada adanya Bagian dalam diri klien yang mengoperasikan pemikiran, perasaan atau perilaku yang menjadi permasalahan dalam diri klien, yang berkonflik dengan Bagian lain yang menyadari bahwa hal itu menjadi masalah dalam diri klien dan oleh karenanya menginginkan perubahan.
Sebut saja kisah yang dialami oleh salah satu klien saya terdahulu yang terganggu dengan permasalahan kecemasan berlebih. Klien saya ini tahu dan sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya: tidak seharusnya ia cemas berlebih di situasi yang tidak seharusnya dicemaskannya. Dalam kasus ini, ada Bagian yang mengoperasikan perasaan cemas berlebih dalam dirinya, yang berkonflik dengan Bagian lain yang tahu bahwa hal itu tidaklah tepat adanya dan ingin lepas dari kecemasan berlebih yang mengganggu itu.
Atau seperti dialami klien saya yang lain, yang ingin lepas dari kecanduan judi online. Klien saya ini tahu dan sadar bahwa tidak seharusnya ia melakukan perilaku judi online ini karena hal itu mengganggu kualitas hidupnya, tapi ada dorongan yang sulit dikendalikannya, yang terus-menerus membuatnya sulit menghentikan perilaku kecanduan judi online itu. Dalam kasus ini ada Bagian yang mengoperasikan perilaku kecanduan judi dalam dirinya, yang berkonflik denngan Bagian lain yang tahu dan sadar bahwa hal itu tidaklah benar dan Bagian ini ingin lepas dari perilaku yang dianggapnya negatif ini.
Perhatikan betapa konflik internal yang dialami klien-klien saya di atas menggambarkan adanya kesadaran bahwa “kondisi saat ini tidaklah sehat/tepat adanya”, yang menjadikan muncullah kesadaran, kesediaan dan kesiapan untuk berubah, untuk lepas dari masalah. Tanpa adanya “rasa berkonflik” ini yang terjadi adalah seseorang mengalami permasalahan, tapi ia tidak merasa bahwa hal itu masalah, atau ia tidak merasa ada kebutuhan untuk berubah.
Amati di sekitar kita. Bukankah ada saja orang-orang yang terjebak dengan masalah perilaku atau kebiasaan buruk yang tidak menunjukkan tekad untuk lepas dari perilaku atau kebiasaan buruknya itu? Yang lebih ironis lagi adalah bahkan bisa jadi mereka tidak merasa perilaku atau kebiasaannya itu bermasalah.
Adanya konflik internal yang sehat, yaitu konflik antar “Bagian yang bermasalah” dan “Bagian yang ingin berubah”, adalah modal penting perubahan. Tanpa adanya keberadaan “Bagian yang ingin berubah” maka tidak akan ada kesadaran, kesediaan dan kesiapan untuk berubah. Jika kesadaran, kesediaan dan kesiapan ini saja tidak ada, lalu bagaimana kita bisa membantu mereka untuk berubah dan lepas dari masalahnya?
Lebih jauh lagi, dalam posisinya sebagai “modal perubahan”, derajat dari konflik internal ini sangatlah menentukan derajat dari keseriusan seseorang untuk bersungguh-sungguh menempuh segala daya dan upaya yang diperlukan untuk bisa lepas dari masalahnya. Bisa jadi seseorang sudah mulai merasakan konflik internal atas masalahnya, namun konflik internal itu belumlah cukup kuat untuk mendorongnya menempuh daya dan upaya yang diperlukan untuk mencari solusi.
Mari amati lagi di sekitar kita. Bukankah ada saja orang-orang yang di satu sisi merasa ada yang salah dengan dirinya (menyadari ada masalah), namun mereka masih saja “diam di tempat”, sibuk bergelut dengan masalahnya dan banyak beralasan, alih-alih mencari solusi perubahan?
Jika ditanya tentu akan ada saja alasan yang terlontar untuk membenarkan perilaku mereka yang masih “diam di tempat” itu, namun justru itu masalahnya. Seperti kalimat bijak berbunyi, “Jika sesuatu itu penting maka kita akan temukan cara, jika itu tidak penting maka kita akan temukan alasan.” Hal yang sama berlaku dalam upaya perubahan. Ketika seseorang dilanda permasalahan namun masih ada alasan untuk “mendiamkan/membiarkan” permasalahannya, maka bisa jadi permasalahan itu belum cukup penting untuk diselesaikan. Meski masalah itu memberi kerugian yang tidak sedikit, jauh di lubuk hatinya kerugian itu masihlah sesuatu yang bisa ditolerirnya, apalagi jika masalah itu adalah sesuatu yang sudah dialami sekian lama, sampai-sampai sudah tercipta proses “adaptasi” tersendiri atas keberadaan masalah itu.
Ketika seorang calon klien mengalami permasalahan dan ia sadar bahwa ia memerlukan bantuan untuk lepas dari permasalahannya, maka saat itu sudah ada konflik internal yang sehat sebagai modal perubahan baginya. Tapi tidak semua orang akan langsung mengambil tindakan di titik ini. Akan ada saja orang-orang yang ragu atau takut untuk mencari solusi perubahan, dengan alasan apa pun itu nantinya. Sayangnya, fase ini adalah fase yang tidak bisa “diganggu-gugat” dari luar. Di fase ini seseorang haruslah mendobrak batasan keraguan atau ketakutan dalam dirinya, oleh dirinya sendiri, untuk benar-benar mencari solusi perubahan. Di skala yang ekstrim saya kerap kali mengatakan inilah titik dimana kita sudah sedemikian “muak” pada masalah yang kita alami sampai-sampai kita benar-benar siap melakukan segala daya-upaya untuk bisa berubah dan lepas dari masalah, dan siap mengesampingkan alasan apa pun yang bisa menghalangi kita untuk berubah.
Dari perspektif Parts Therapy, semakin besar kesadaran, kesediaan dan kesiapan seseorang untuk berubah, semakin besar juga kekuatan dari Part yang ingin berubah dalam dirinya. Hal inilah yang membantu melancarkan jalannya sesi terapi. Jika dengan teknik yang tepat daya kekuatan dari Part yang ingin berubah ini bisa menjangkau Part yang bermasalah dengan cara yang sehat, maka Part yang bermasalah ini pun bisa berubah dimana hal ini menjadikan seseorang lepas dari masalahnya.
Demikianlah. Kita butuh rasa “muak” untuk berubah. Kita butuh “konflik internal yang sehat” untuk berubah. Semakin besar rasa muak untuk berubah dan semakin besar konflik internal yang sehat terjadi maka semakin besar daya dorong dalam diri seseorang untuk berubah. Kedua hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan dari luar, ia harus terbangun dari dalam.
Begitu juga syarat sederhana untuk “calon klien wajib menghubungi sendiri tanpa diwakili untuk menyatakan kebutuhan dan kesediaannya untuk menjalani sesi”, ketika seorang calon klien berada di titik ini maka modal perubahan dalam dirinya sudah cukup besar adanya, yang kami lakukan kemudian adalah menjadi “fasilitator” yang memfasilitasi agar modal perubahan itu berkembang berkali-kali lipat menjadi perubahan yang nyata adanya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-hipnoterapi? Memerlukan layanan konseling-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.