Identitas, Penentu Kualitas Hidup Anda
Daftar Isi
Kita sungguh-sungguh harus mengajari diri kita untuk mengenal diri kita sendiri, siapa identitas kita yang sesungguhnya.”
─ Deepak Chopra
Menjumpai banyak tokoh luar biasa yang mengalami perubahan hidup secara signifikan, mengalami sendiri proses perubahan itu secara bertahap dari nol dan bahkan kemudian terjun langsung memfasilitasi perubahan evolusioner pada ratusan klien yang membutuhkan, semua itu semakin meyakinkan saya bahwa ketika seseorang melalui fase perubahan dan berhasil mempertahankan perubahan itu secara permanen, maka fondasi perubahan tersebut bukan sekedar terbentuk di perubahan sikap dan perilaku, melainkan pada IDENTITAS dirinya.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin sebuah identitas semata bisa memegang peranan yang sedemikian besar di balik sebuah proses perubahan yang permanen? Alasannya sederhana, karena identitas adalah KEYAKINAN YANG ANDA MILIKI TENTANG DIRI ANDA.
Ya, identitas adalah bagaimana cara Anda memandang diri Anda sendiri!
Identitaslah yang memegang peranan penting di balik terbentuknya nilai, prinsip dan keyakinan seseorang, dari identitas juga segala sikap, perilaku dan bahkan lingkungan terbentuk.
Seorang karyawan yang kemudian mendapatkan promosi menjadi pimpinan harus mengadaptasi sikap-sikap baru dalam aktifitas kesehariannya, ia harus menjaga perilakunya dengan lebih berhati-hati karena ia telah memegang identitas yang berbeda, bisa jadi ia pun akan lebih selektif memilih lingkungan pergaulannya karena identitas dan peran barunya.
Begitu juga ketika seseorang menikah, perubahan identitas dari ‘lajang’ menjadi ‘berkeluarga’ akan membawa dampak tersendiri bagi segala sikap dan perilakunya, terlebih ketika kemudian memiliki anak dan menjadi ‘orang tua’.
Silakan amati rekan-rekan di sekitar Anda yang menurut Anda mengalami proses perubahan identitas dan peranan diri, bisa dalam hal pernikahan, berkeluarga, atau mendapatkan posisi baru dalam karirnya, adakah perubahan dalam sikap dan perilakunya?
Dalam kisah dimana orang-orang mengalami kemunduran ketika menempati peran barunya, seorang karyawan yang justru merosot kinerjanya ketika dipromosikan menjadi pemimpin misalnya, sangat mungkin hal ini terjadi karena perubahan jabatan atau peran mereka yang baru tidak dibarengi dengan perubahan identitas dalam diri mereka. Meski mereka mendapat promosi atas posisi barunya sebagai pemimpin, jauh di dalam hatinya mereka memandang dirinya masihlah seorang karyawan.
Dalam berbagai sesi terapi dan coaching, saya menjumpai para klien yang mengalami masalah dalam kehidupan berumah tangganya karena ketidaksiapan mereka mengalami perubahan identitas dirinya dari seorang lajang menjadi seorang suami, istri atau orang tua dari para anak-anaknya.
Terdapat beberapa hal penting yang patut kita sadari sehubungan dengan betapa dahsyatnya identitas ini mempengaruhi kehidupan kita.
Berikut ini adalah tiga hal penting berkaitan dengan identitas:
IDENTITAS MENENTUKAN SIKAP DAN PERILAKU
Mari amati hal ini pada diri Anda. Bayangkan sejenak, Anda mengalami kesulitan keuangan yang sangat parah, keluarga Anda sangat membutuhkan uang untuk pengobatan, Anda berjalan tanpa tentu arah dan pada suatu malam yang sepi Anda menemukan sebuah tas tergeletak begitu saja di sudut sebuah jalan. Anda membuka tas tersebut dan menemukan setumpuk uang tunai bernilai puluhan juta, dan ada selembar kartu identitas beserta alamat dari pemilik uang tersebut.
Tidak ada siapa pun disana yang menyaksikan, Anda sepenuhnya aman untuk melakukan apa pun dengan uang itu, tak ada yang mengetahuinya sama sekali! Apa yang Anda lakukan? Jujurlah pada diri Anda.
Dalam situasi emosional yang memuncak, identitas sejati Anda akan muncul mengambil alih sikap dan perilaku. Begitu juga dalam ilustrasi sebelumnya di atas, apa yang Anda lakukan dengan uang tersebut akan sangat bergantung dari bagaimana Anda memandang diri Anda.
Terlepas dari apapun kondisi Anda, seberapa terjepit pun Anda membutuhkan uang, seberapa dahsyat pun pergumulan batin dalam diri Anda menyuarakan kesulitan keuangan yang Anda alami, jika Anda memandang diri Anda sebagai ‘orang jujur’ maka Anda akan serta merta mengembalikan uang tersebut pada yang berhak. Mungkin akan muncul perlawanan sengit dalam diri Anda mengingat kesulitan yang sedang Anda lalui, namun selepas Anda melakukannya akan ada sebuah ‘kelegaan’ dan ‘penerimaan’ tersendiri karena melakukan sesuatu yang sejalan dengan bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri.
IDENTITAS MENENTUKAN BANYAK HAL DALAM HIDUP ANDA
Sekali lagi, identitas atau cara Anda memandang diri Anda sendiri akan turut menentukan nilai, prinsip dan keyakinan yang Anda miliki, sikap dan perilaku yang Anda tunjukkan sehari-hari, bahkan lingkungan yang Anda pilih.
Untuk membahasnya lebih mendalam, bagan keterhubungan dari identitas, nilai, prinsip, keyakinan, sikap, perilaku dan lingkungan ini dapat ditemukan di sebuah skema level perubahan cara berpikir yang dikenal sebagai neuro-logical level of change berikut ini.
Konsep Neuro-logical level of change di atas banyak dikembangkan oleh Robert Dilts, seorang pelopor-pengembang Neuro-Linguistic Programming (NLP) di masanya dulu dengan terinspirasi dari pemikiran seorang antropolog bernama Gregory Bateson, sampai saat ini model perubahan cara berpikir ini banyak digunakan dalam proses coaching, terapi atau proses pengembangan diri lainnya sebagai skema untuk menganalisa proses perubahan cara berpikir dalam diri seseorang.
Jika kita amati bagan tersebut, ada suatu keterhubungan antara satu level dengan level lainnya, karena itu perubahan di satu level akan mempengaruhi level lainnya secara signifikan. Sebut saja seorang anak yang tumbuh di lingkungan dimana orang-orangnya suka berkelahi, maka bagi si anak perilaku berkelahi adalah hal yang wajar dan menjadi bagian dari kesehariannya. Karena sehari-harinya diisi dengan berkelahi, maka hal ini kemudian menjadi sebuah sikap atau keahlian baginya. Hal ini berlanjut sampai si anak menganut nilai dan keyakinan bahwa ‘berkelahi adalah hal biasa’, atau ‘hidup ini keras, maka biasakanlah berkelahi untuk memaksakan pendapat’ dan ada juga potensi nilai-keyakinan lain yang muncul dimana semua ini berujung pada terbentuknya identitas si anak sebagai ‘tukang berkelahi’.
Masih ingat dengan analogi Anda dan sekantung uang di poin sebelumnya? Inilah jawaban di balik fenomena tersebut, bagaimana identitas menentukan sikap dan perilaku kita.
Sekali identitas ini terbentuk maka perubahan menjadi hal yang lebih sulit dari biasanya. Namun perlu diingat juga, perubahan di satu level akan mempengaruhi level lainnya. Ketika si anak memasuki lingkungan lain maka ia pun akan mengamati dan mengadaptasi perilaku, sikap, nilai dan keyakinan di lingkungan barunya yang bisa jadi lambat laun mempengaruhi pembentukan identitasnya. Itulah mengapa ada ungkapan ‘seekor anak rajawali yang tumbuh bersama anak ayam akan berperilaku seperti halnya anak ayam.’
IDENTITAS MENENTUKAN KELAS DAN STANDAR KELAYAKAN DIRI ANDA
Sebagaimana sudah Anda pahami, identitas bukan hanya mempengaruhi keyakinan, tapi juga mempengaruhi cara kita berperilaku dan bahkan memilih lingkungan tempat kita bertumbuh. Kiranya bisa diumpamakan identitas ini sebagai radar navigasi tak kasat mata yang mengarahkan kita ke suatu arah tertentu, baik itu disadari atau tidak.
Jika identitas bekerja sebagai radar navigasi, lalu kemana ia akan membawa kita? Faktanya, identitas hanya akan membawa kita bergerak di level dimana kita merasa layak untuk mendapatkan apa yang kita dapatkan.
Ya, sebelum beranjak lebih jauh lagi, ijinkan saya memperjelasnya terlebih dahulu, hal yang barusan dan sedang Anda baca sekarang ini akan sangat penting dan bisa jadi mewakili esensi keberadaan Bab 2 ini.
Untuk bisa memahaminya dengan lebih baik mari pisahkan ‘standar kelayakan’ ini dengan ‘keinginan’. Keinginan tentu bukan suatu hal asing, kita semua memilikinya dan bahkan keinginan kita selalu menuju arah yang lebih baik, posisi karir yang lebih bagus, arus keuangan yang lebih baik, bisnis yang lebih berkembang dan lain sebagainya.
Yang perlu diperhatikan, standar kelayakan adalah bagaimana Anda menilai kelayakan diri Anda untuk memperoleh apa yang Anda inginkan tersebut. Bisa jadi terjadi konflik yang tak disadari di pikiran bawah sadar Anda karena apa yang Anda inginkan adalah sesuatu yang dalam hati kecil Anda menurut Anda belum layak Anda peroleh, sehingga tak lama kemudian Anda kehilangan hal tersebut. Uniknya lagi hal ini bisa terjadi berulang-ulang, hal ini juga yang sering menyebabkan beberapa orang mengalami serentetan kehilangan dalam hidupnya berulang kali, bisa berupa kegagalan dalam suatu bidang yang nampak aneh karena setelah berusaha maksimal pun seolah-seolah selalu ada ‘sabotase’ tak kasat mata yang mengganggu.
KONFLIK IDENTITAS DAN STANDAR KELAYAKAN
Saya masih ingat ketika awal dulu merintis karir di bisnis penjualan langsung, saya sedemikian menginginkan prestasi dan perubahan hidup, bahkan saya sering memimpikan diri saya berada di deretan para penjual sukses yang telah memperoleh keberhasilannya. Suatu ketika, seorang rekan kerja mengajak saya menghadiri sebuah acara yang dihadiri para penjual top, tentu saya merasa bersemangat untuk ikut dengannya. Namun sesampainya di lokasi acara, saya mendadak merasa minder berhadapan dengan para top sales tersebut, rasanya asing sekali, ada sebuah perasaan tidak nyaman yang muncul memenuhi diri.
Apakah para penjual tersebut mengenal saya? Sama sekali tidak, mereka juga tidak terlalu mengenal satu sama lain. Mereka juga tidak mengetahui bahwa saya hanyalah seorang yang ‘diajak’ menghadiri acara itu, kehadiran saya toh tidak membuat perbedaan besar di acara itu. Namun ada bagian dari diri saya yang merasa saya belum layak berada sejajar dengan para tokoh tersebut, ada bagian yang ‘jujur’ dari diri saya menganggap bahwa kemampuan dan jam terbang saya belumlah sebagus mereka. Dalam situasi itu saya masih memandang diri saya dengan identitas ‘penjual biasa’ yang belum layak bersanding dengan para penjual sukses tersebut. Dengan kata lain, saya menganggap diri saya tidak layak berada di tempat itu.
Bisa jadi Anda pun pernah mengalami kejadian serupa, berada di suatu tempat dimana Anda merasa tidak nyaman dan ingin segera menarik diri dari tempat itu. Apa yang menyebabkan semua itu? Jawabannya kembali pada identitas. Ya, cara Anda memandang diri Anda menentukan standar kelayakan yang menurut Anda layak Anda peroleh (sayangnya hal ini sering kali berlangsung tanpa disadari), salah satunya adalah kelayakan untuk berada di suatu lingkungan atau kelas tertentu.
SELEKSI ALAM
Begitulah, ada ‘seleksi alam’ tidak terlihat yang berlaku untuk menguji kelayakan seseorang untuk berada di dalam sebuah level. Dalam dunia satwa, ketika seekor kuda memasuki kawanan yang bukan kawanan alaminya, biasanya akan muncul penolakan atau respon tertentu dari kawanan barunya, tak jarang pula akan muncul ‘tantangan’ untuk membuktikan kelayakan dirinya di lingkungan itu, ada yang berhasil membuktikan kelayakannya dan ada juga yang kemudian memutuskan mundur sebagai tanda bahwa ia tidak siap.
Dalam konteks lingkungan pada dasarnya setiap dari kita memiliki kebutuhan emosi akan rasa aman, dimana kebutuhan emosi ini cenderung terpenuhi ketika kita berada di sebuah lingkungan dimana orang-orangnya memiliki identitas yang sama. Contoh mudahnya begini, jika Anda adalah seorang yang taat beribadah lalu secara tidak sengaja berada di sebuah lingkungan dimana orang-orangnya pelaku tindakan maksiat, apa yang Anda rasakan? Begitu juga sebaliknya.
Kembali ke standar kelayakan, itulah alasan mengapa banyak orang yang berusaha mati-matian mengubah hidupnya dalam berbagai bidang, mulai dari keuangan, kesehatan, hubungan keluarga dan lainya, namun tetap saja tidak menemukan ‘titik cerah’, sering kali hal ini disebabkan adanya konflik internal antara keinginan dari pikiran sadarnya dan cara pandang atas standar kelayakan dirinya sendiri yang ia yakini di pikiran bawah sadarnya dimana hal ini terwujudkan dalam bentuk perilaku yang seolah menjauhkan mereka dari apa yang mereka inginkan.
Apakah itu saja? Tidak, bisa saja terjadi skenario lain dimana mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, baik secara kebetulan atau pun dari usaha, namun sering kali juga hal itu hilang tanpa sebab yang jelas.
Seorang gelandangan di Amerika yang bernama David Lee Edwards memenangkan lotere sebesar 27 juta dolar, sebuah jumlah yang tidak sedikit, bahkan tergolong fantastis! Apakah hidupnya berubah? Sangat berubah. Ia membeli berbagai macam aset yang dalam sekejap menempatkan dirinya di jajaran para milyarder Amerika masa itu.
Bagaimana kelanjutannya? Percaya atau tidak, David meninggal tanpa menyisakan uang sedikit pun, bahkan untuk anak-anaknya. Perilakunya yang sembrono dalam membelanjakan uangnya dan kecanduannya pada obat-obatan membuat asetnya habis tanpa sisa.
Meski secara logis hal ini nampak disebabkan oleh perilaku, bukankah sudah kita pahami bahwa perilaku adalah manifestasi dari identitas? Dalam hal ini pencapaian yang diperoleh David tidak dibarengi dengan matangnya identitas dalam dirinya sebagai ‘orang kaya’. Meski ia bergelimang harta, ia tidak siap dengan pencapaian tersebut dan masih memandang dirinya sebagai sosoknya yang dulu, seorang gelandangan yang tidak memikirkan hari esok. Ya, tragis memang, namun demikianlah kematangan identitas turut menentukan apakah sebuah pencapaian bersifat langgeng ataukah singkat.
Bandingkan dengan Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook dengan aset trilyunan yang menyelenggarakan pernikahannya yang sederhana di halaman belakang rumahnya dan tidak segan makan di kedai makan sederhana bersama istrinya. Perhatikan juga para tokoh miliuner dunia seperti Bill Gates, Carlos Slim Helu, Jack Ma dan banyak lagi lainnya, bukankah perilaku mereka pun mencerminkan sebuah kematangan perilaku orang kaya? Tak lain dan tak bukan hal itu turut disebabkan adanya kematangan identitas dalam diri mereka sebagai orang kaya.
IDENTITAS DAN PENCAPAIAN
Seorang pembicara internasional yang bergerak dalam bidang penjualan, Bryan Tracy membahas keunikan ini di bukunya yang berjudul Psychology of Selling (1985). Menurut Bryan Tracy, para tenaga penjual yang sulit menembus batasan penjualannya meski sudah berusaha sedemikian keras rata-rata memiliki masalah dalam memandang diri mereka sendiri, ada satu keyakinan dalam pikiran mereka yang terdalam bahwa memang mereka hanya layak memperoleh apa yang sudah mereka peroleh dan belum layak untuk memperoleh kenaikan penjualan.
Inilah yang sebelumnya sudah disebutkan sebagai konflik internal, secara sadar keinginan untuk berubah menjadi lebih baik sangatlah kuat, namun jauh di pikiran bawah sadar ada suatu keyakinan yang membatasi (limiting belief) kita untuk berubah, yaitu cara pandang kita akan diri sendiri, akan identitas dan standar kelayakan kita, bahwa kita belum layak mendapatkan hal yang kita inginkan tersebut.
Saya penah menjumpai seorang klien yang frustrasi karena sulit mendapatkan promosi setelah bekerja bertahun-tahun, bahkan menurutnya ia sudah bekerja melebihi batasan maksimal dirinya. Dalam suatu sesi terapi terungkaplah sebuah keyakinan dalam dirinya bahwa ia merasa ‘tidak layak dipromosi’ karena adanya sebuah kejadian traumatis di masa lalu yang melukai harga dirinya dan menganggap dirinya tidak sebagus orang lain.
Hal inilah yang kemudian terwujudkan dalam bentuk sikap, perilaku dan kinerja yang oleh atasannya dinilai tidak maksimal (meski menurut ia sendiri sudah maksimal). Meski terdengar aneh bagi sebagian orang, begitulah cara pikiran manusia bekerja, ada bagian dari pikiran kita yang memegang kendali paling besar dari segala perilaku kita, yaitu pikiran bawah sadar, di bagian pikiran inilah segala keyakinan tersimpan, termasuk keyakinan tentang diri kita atau identitas.
Segala yang tersimpan di pikiran bawah sadar pada dasarnya digunakan untuk melindungi diri kita, sayangnya secara umum kita memiliki keterbatasan untuk mengenali isi pikiran bawah sadar ini, termasuk di antaranya mengenali keyakinan inti (core belief) atas standar kelayakan diri kita dan kaitannya dengan identitas.
IDENTITAS DAN KONSEP DIRI
Cara pandang terhadap diri sendiri dan standar kelayakan juga diangkat oleh Maxwell Maltz, penulis buku Psycho-Cybernetics (1960) sebagai konsep diri. Dalam bukunya ia mengungkapkan “Konsep diri menjadi batasan atas pencapaian seseorang.”
Sebagai seorang dokter bedah plastik, Maltz menemukan bahwa banyak pasiennya datang untuk merubah penampilan fisiknya yang membuat mereka tidak puas akan kualitas hidupnya, namun setelah menjalani operasi yang sesuai dengan keinginannya mereka tetap saja merasa tidak puas akan dirinya dan tetap menjalani kualitas hidup yang tidak menyenangkan, akhirnya Maltz menemukan kesimpulan bahwa pada dasarnya bagaimana cara kita memandang diri kita sendirilah yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan kita, termasuk pencapaian dan kebahagiaan.
Ya, identitas kita secara langsung mempengaruhi keyakinan kita tentang apa yang bisa kita lakukan dalam mempertahankan standar kelayakan dan kebahagiaan diri kita masing-masing. Sekali lagi, inilah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul, mengapa seseorang sulit menghasilkan perubahan permanen yang diharapkan dalam hidupnya dan sulit memiliki hidup yang berbahagia, karena identitas dan standar kelayakan yang mereka yakini akan diri mereka secara tidak sadar berlawanan dengan hasil yang mereka inginkan secara sadar.
Lalu bagaimana sebuah identitas terbentuk? Jika kita kembali melihat bagan neuro-logical level yang sudah dibahas sebelumnya bisa kita temukan ada peranan dari lingkungan dalam hal pembentukan identitas, terutama lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Ada banyak doktrin atau bentukan lingkungan yang tanpa disadari membentuk identitas kita tentang standar pencapaian dan kebahagiaan yang layak kita miliki.
MENGUBAH IDENTITAS BERARTI MENGUBAH BANYAK HAL DALAM HIDUP KITA, TERMASUK PENCAPAIAN
Seorang klien mendatangi saya, ia telah mengikuti berbagai jenis pelatihan untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya, namun terlepas dari seberapa hebat ia menguasai segala macam teorinya tetap saja ketika ia berhadapan dengan orang atau lingkungan baru, terlebih yang dianggapnya memiliki strata sosial lebih tinggi darinya, maka kepercayaan dirinya lenyap dalam seketika, akal sehatnya tak mampu berpikir jernih, bahkan ia sering merasa mual, pusing dan tidak mampu mengendalikan diri.
Melalui proses terapi terungkaplah masa lalunya bahwa ia mengalami masa kecil yang pahit yang membuatnya menarik diri dari lingkungan sekitar, karena menurutnya lingkungan di luar dirinya tidak bisa memberinya rasa aman, tidak bisa menerima, menghargai, mengakui dan memahami dirinya, ia memandang dirinya sebagai sosok seorang anak yang rapuh dan lemah dalam menghadapi tantangan dunia luar. Tidak heran ketika ia dewasa keyakinan itu bekerja sebagai ‘pelindung’ yang bertugas menjauhkannya dari lingkungan yang ia rasa mengancam dirinya.
Di akhir proses terapi ia diajak untuk berdamai dengan masa lalunya, melepas beban emosionalnya yang selama ini menghantuinya dan membuatnya merasa tidak layak berada di ‘kelas yang lebih tinggi’, ia pun memutuskan dan mengijinkan untuk memandang dirinya sebagai sosok yang baru, layak memperoleh segala kepercayaan diri, layak berada di kelas yang lebih tinggi yang ia impikan selama ini dan layak mendapatan segala pencapaian yang ia inginkan. Disinilah fase perubahan identitas dilakukan.
Dengan identitasnya yang baru, berbagai perubahan mulai terjadi, ia mulai berani berinteraksi dengan orang banyak, ia memperoleh kepercayaan dirinya yang baru untuk menaikkan kelas dan standar kelayakan dirinya, bahkan berbicara di depan umum dengan sangat nyaman, semua hal itu juga membawanya untuk memasuki lingkungan baru yang lebih menantang dan mendukung karirnya yang dulunya begitu ia hindari.
Tebak apa yang terjadi? Ya, pencapaian hidupnya pun berubah. Karena itu mengubah identitas dalam kaitannya dengan standar kelayakan pun sangat terkait erat dengan pencapaian. Karena itulah bahasan identitas dijadikan pembuka buku ini sebagai pengantar Anda dalam memahami esensi perubahan yang harus Anda tuju.
DUA TAHAPAN MENGUBAH IDENTITAS
Pertama, kenali faktor yang membentuk identitas Anda.
Jika Anda pernah menyaksikan film animasi berjudul Ice Age 2, dikisahkan dalam film tersebut seekor mammoth (gajah raksasa jaman pra sejarah) bernama Nellie yang terpisah dari kelompoknya ketika bayi dan diasuh oleh sebuah keluarga opossum (sejenis cerpelai), serta dibesarkan sebagai salah satu dari mereka. Pengaruh lingkungan ini membentuk keyakinan diri yang kuat bahwa ia adalah seorang opossum, maka hasilnya ia berperilaku seperti halnya opossum lainnya, ia takut pada burung predator, pura-pura mati jika terancam – meski pada pada makhluk kecil yang sebetulnya bisa ia taklukkan – dan tidur bergantung dengan ekornya di pohon.
Suatu hari ia bertemu Manny, seekor mammoth jantan yang berusaha menyadarkannya bahwa ia adalah seekor mammoth seperti dirinya. Manny membawanya bercermin melalui pantulan air di sungai, saat Nellie melihatnya ia berkata “Saya seekor opossum besar dan gemuk”, ia tetap tidak percaya bahwa ia seekor mammoth meski buktinya jelas-jelas nampak di depan matanya!
Perhatikan lingkungan dimana Anda berada sekarang, amati seperti apa pengaruhnya bagi diri Anda? Adakah keyakinan-keyakinan yang membatasi pencapaian Anda selama ini yang terlanjur tertanam kuat, yang mungkin saja dipengaruhi oleh lingkungan, seperti keluarga dan teman?
Adakah keyakinan atas diri Anda yang sedemikian kuat bahwa diri Anda belum layak sehingga apapun pengakuan orang tentang kehebatan diri Anda tetap saja Anda merasa kurang mampu?
Saya memiliki teman lama yang bersikap demikian, ia seorang pekerja keras yang luar biasa, setiap ia bekerja di sebuah tempat ia selalu mendapatkan pengakuan dari lingkungannya dan bahkan selalu dipromosikan, namun setiap kali dipromosikan dan diberi kepercayaan lebih besar ia malahan gelisah, ada sebuah ketakutan dalam dirinya yang tak pernah hilang meski semua orang di sekitarnya berkali-kali menegaskan bahwa ia pasti mampu.
Kedua, tentukan kelas dan standar kelayakan yang Anda inginkan, masuki kelas itu.
Setiap standar kelayakan memiliki ‘standar pencapaian’ tersendiri, salah satunya kelas/lingkungan. Jika Anda ingin terbang tinggi tak ubahnya seperti rajawali maka alih-alih bergaul dengan ayam, bergaullah dengan para rajawali, lepaskan diri Anda dari lingkungan yang mungkin selama ini membatasi keyakinan dan potensi diri Anda.
Jika selama ini Anda adalah pebisnis yang ingin mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari apa yang Anda peroleh selama ini maka masukilah lingkungan baru yang lebih menantang, kelas dimana para pebisnis di dalamnya menetapkan standar kelayakan yang lebih tinggi, memiliki keahlian mengatur bisnis yang lebih besar dan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dari apa yang Anda peroleh.
Seiring dengan Anda bergaul bersama mereka Anda akan dapati bahwa Anda akan semakin ‘menyerap’ cara mereka berpikir, berperilaku dan membuat keputusan, yang secara tidak langsung akan turut mengubah batasan keyakinan dan cara berpikir Anda. Ya, tentu akan ada perlawanan tersendiri dari dalam diri Anda ketika pertama kali memasukinya, maka tugas Anda adalah taklukkan perlawanan itu dan tunjukkan bahwa Anda layak berada di kelas baru tersebut dan mampu beradaptasi dengan baik di dalamnya, ingat ilustrasi seleksi alam yang dialami seekor kuda yang memasuki kawanan baru yang sudah dibahas sebelumnya?
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Hipnoterapi dan/atau coaching? Memerlukan layanan terapi atau coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Hipnoterapi dan/atau coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.