Instruktur Yang “Walk The Talk”
Beberapa hari yang lalu saya memfasilitasi sesi coaching, yang berujung pada sesi terapi, pada seorang alumni dari salah satu program pelatihan bersama saya di luar kota.
Di akhir sesi klien ini menceritakan bahwa ia tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan menjalani sesi bersama saya.
Saya yang justru heran mendengarnya, karena tidak paham arti di balik frasa ” … bisa mendapatkan kesempatan …” tadi.
Yang saya ingat adalah di program yang diikutinya dulu ia memang mengutarakan permintaan untuk menjalani sesi private bersama saya.
Seperti biasa, saya mengarahkannya untuk menghubungi admin saya agar dibantu mendapatkan jadwal sesinya, sesuai dengan ketersediaan jadwal saya. Dan memang itulah yang ia lakukan sampai kemudian ia mendapatkan jadwal sesinya beberapa hari lalu.
Klien saya ini pun mengisahkan bahwa ia pernah mengikuti beberapa pelatihan lain sebelumnya bersama beberapa praktisi. Seusai pelatihan ia lalu mendatangi praktisi tersebut guna mendapatkan sesi private untuk dirinya.
Yang terjadi adalah ia justru tidak kunjung mendapatkan jadwal yang diharapkannya, dengan berbagai alasan.
Ada yang menyatakan bahwa mereka tidak berpraktik menangani sesi private klien, melainkan hanya mengajar saja di kelas-kelas pelatihan. Kalau pun ada sesi yang mereka tangani, maka itu adalah sesi yang menjadi demonstrasi dari teknik yang diajarkan di kelas.
Ada juga yang menyatakan bahwa jadwal pelatihan mereka padat sekali, sehingga baru bisa mendapatkan jadwal kemudian.
Yang satu ini tentu bisa dipahami. Masalahnya adalah “jadwal” ini tidak kunjung didapat bahkan sampai bertahun-tahun lamanya. Setiap kali ia menghubungi untuk mendapatkan jadwal ada saja alasan yang membuatnya tidak mendapatkan jadwal tersebut, ia bahkan mendapatkan kesan seolah praktisi yang dicarinya “menghindar” dari memfasilitasi sesi padanya, yang ternyata di kemudian hari baru diketahuinya bahwa hal itu dikarenakan praktisi itu tidaklah berpraktik secara profesional.
Bukan tanpa alasan klien saya ini menyatakan permintaan menjalani sesi private. Ia memang mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut untuk mengembangkan dirinya. Meski dari pelatihan-pelatihan itu ia belajar banyak, ia tahu bahwa ada masalah spesifik dalam dirinya yang memerlukan sesi private karena berhubungan dengan hal sensitif yang ia tidak berani ceritakan di lingkungan yang tidak private, karena itu jugalah ia menyatakan permitaan untuk bisa menjalani sesi private.
Itulah yang menjadikannya heran ketika ia kemudian bisa mendapatkan jadwal bersama saya. Ia bahkan berterus terang bahwa ketika menghubungi admin saya pun ia sebenarnya sudah tidak berharap banyak. Ketika admin saya mengkonfirmasi jadwal, ia senang bukan kepalang dan langsung mengatur agenda perjalanan dari kota tempat ia tinggal ke kantor praktik saya di Bandung.
Di akhir sesi itu juga ia keheranan dan mempertanyakan, kenapa para praktisi yang mengajar itu tidak bisa memberikan sesi private yang dibutuhkannya.
Saya tentu tidak bisa menjawab pertanyaannya. Selain karena saya juga tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi, saya paham setiap praktisi menganut prinsip dan nilai yang berbeda dalam menjalankan profesinya.
Bagi saya, memfasilitasi sesi private pada klien adalah satu hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas yang saya jalani.
Terlepas dari seberapa padat pun jadwal kelas pelatihan yang ada, akan selalu ada waktu yang saya alokasikan untuk membersamai klien di sesi private yang mereka perlukan. Terlepas dari jadwal private tersebut pun sedang padat adanya sehingga calon klien harus menunggu, tetap saja ada perkiraan jadwal yang bisa dikomunikasikan pada calon klien, kalau memang mereka bersedia menunggu maka jadwal itu akan dialokasikan untuk mereka.
Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama, selain karena memang dari situlah awal-mula perjalanan karir saya menapaki profesi ini, yang membentuk saya sampai seperti saat ini, juga karena memang itulah yang dicontohkan para guru dan mentor saya.
Ya, para guru dan mentor saya sampai hari ini masih terus aktif berpraktik melayani para kliennya dalam praktik profesional yang mereka jalankan.
Saya sendiri memang menetapkan sebuah prinsip bahwa ketika saya belajar teknik terapi, konseling atau coaching pada seseorang maka saya hanya akan belajar pada mereka yang benar-benar mempraktikkan yang diajarkannya, bukan hanya menjadikan itu sebuah program yang dijual, tapi tidak dipraktikkannya.
Alasan kedua, yaitu memastikan keahlian yang saya miliki terus terasah dan “update”.
Dinamika masalah di masyarakat akan terus berubah. Bagi saya sendiri, 11 tahun lalu di awal menekuni profesi ini masalah yang klien keluhkan tidaklah sekompleks sekarang ini. Selain mungkin karena memang jaman yang berbeda, bisa jadi juga karena pada jaman itu jam terbang yang ada masih minim, sehingga referensi klien yang datang pun masih untuk perkara-perkara sederhana.
Akan menjadi sebuah masalah tersendiri jika praktisi yang memfasilitasi sesi justru tidak lagi update dengan perkembangan dinamika masalah ini, karena ia sudah berhenti berpraktik. Tidak elok rasanya jika seorang praktisi mengajar di masa kini, namun dengan pengalaman praktik yang “terhenti” di tahun-tahun dulu, sampai-sampai setiap kali ia mengajar maka yang diulangnya hanyalah kisah-kisah masa lalu yang tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman.
Memfasilitasi sesi private adalah keahlian yang harus terus terjaga dan terasah karena hal ini berhubungan dengan “practical skill” yang mensyaratkan dinamika interaksi aktif dengan manusia lain. Ketika jam terbang mengendor maka sudah bisa dipastikan keahlian ini akan ikut kendor karenanya.
Ketika seseorang mengajarkan teknik tertentu di kelas, para peserta yang mempelajari teknik itu sudah “terkondisikan”, mereka sudah paham konsep penanganan yang akan mereka jalani. Hal ini menjadikan proses terapi yang didemonstrasikan cenderung “lancar-lancar saja” adanya. Pun demikian, pemilihan kriteria peserta yang akan menjalani sesi demonstrasi pun biasanya sudah dipilih, disesuaikan dengan teknik yang akan didemonstrasikan.
Di sisi lain, peserta sendiri biasanya sudah terkondisikan oleh otoritas instruktur, sehingga mereka cenderung lebih “patuh” dan “ideal” untuk menjalani proses yang disiapkan.
Masalahnya adalah, hal-hal itu tidak begitu saja terjadi dalam sesi private bersama klien asli.
Begitulah, dalam sesi private bersama klien asli, ada dinamika ego klien yang harus kita pahami, bagaimana kita perlu menciptakan otoritas yang tetap humanis adanya.
Pun demikian, kita dihadapkan dengan kemampuan menalar instruksi yang berbeda dalam diri setiap klien. Teknik yang nampak sederhana ketika diajarkan di kelas bisa jadi berbeda adanya ketika dipraktikkan pada klien asing yang datang dengan dinamika ego dan kemampuan menalar instruksi yang berbeda. Hal inilah yang menjadikan seorang praktisi hendaknya mampu menyiapkan klien agar mereka siap menjalani penanganan sesuai dengan kerangka kerja yang disiapkannya.
Di berbagai pelatihan yang saya adakan, baik itu yang bergenre publik seperti “The Freedom Within”, atau pun yang diperuntukkan bagi praktisi profesional seperti Resource Therapy atau pun NLP, bukan sekali dua-kali terjadi “pengembangan kasus” ketika saya mendemonstrasikan teknik tertentu.
Arti “pengembangan” ini yaitu teknik yang didemonstrasikan jadi berkembang variasinya karena saya mendapati ada hal yang perlu disikapi secara khusus, dan memang ketika hal itu disikapi muncullah temuan-temuan yang tidak disangka-sangka.
Di sini juga para peserta kerap bertanya dari mana saya “tergerak” untuk menyikapi hal-hal itu di sesi demonstrasi sampai kemudian memunculkan temuan yang tidak disangka-sangka itu. Jawaban saya selalu sama adanya, yaitu “intuisi yang membimbing”. Tapi perlu diingat bahwa intuisi ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan kristalisasi dari jam terbang dalam membersamai perjalanan sesi para klien.
Selain itu, saya memimpin para tim coach dan hipnoterapis yang berpraktik di institusi binaan saya. Akan menjadi sebuah ironi jika pemimpin yang membersamai perjalanan tim ini tidak menjalankan yang diajarkannya.
Saya sendiri tidak mau sampai “ketinggalan” cerita. Ketika para tim saya melaporkan kasus-kasus yang mereka tangani di sesi supervisi rutin yang saya fasilitasi untuk mendapatkan feedback, saya tidak mau kalau sampai ketinggalan, harus selalu ada kasus baru yang bisa diangkat dan dijadikan pembelajaran di sesi supervisi tersebut.
Dengan ini, ada sebuah “keseruan” yang terbangun, yang menjadikan para praktisi yang menjalankan profesinya jadi lebih antusias dan semakin mencintai yang dijalankannya.
Atas alasan itulah saya terus mengalokasikan jadwal untuk membersamai klien di ruang praktik. Selalu ada temuan yang membuat saya terus antusias menjalankan profesi ini, sambil juga menjadi media untuk terus mengasah keahlian saya dan menyemangati tim.
Hal itu juga yang menjadikan saya selalu mengundang para alumni kelas pelatihan saya untuk “reseat”, atau mengikuti ulang kelas yang mereka pernah ikuti, karena pasti akan ada temuan baru yang didapat dari hasil praktik saya pribadi dan supervisi tim di institusi binaan saya, yang bisa memperkaya khazanah pemahaman mereka.
Sebagaimana dikatakan oleh John Maxwell, “Perkataanmu berbunyi, tindakanmu pun berbunyi, tapi tindakanmu berbunyi lebih keras dari perkataanmu.”
Salam hormat bagi segenap praktisi yang mengajarkan yang dipraktikkannya dan mempraktikkan yang diajarkannya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnosis-hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnosis-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnosis-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.