Memahami Coaching dan Kerangka Kerjanya
Daftar Isi
Menjalani profesi sebagai seorang professional coach, panggilan ‘coach’ menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian saya, utamanya panggilan itu disematkan oleh para klien dan alumni program pembelajaran yang saya fasilitasi, baik itu di kalangan publik atau pun korporasi.
Namun demikian, satu pertanyaan yang juga menyertai panggilan itu adalah: “Apa sebenarnya ‘coach’ itu? Apa yang dilakukannya? Apa bedanya dengan ‘trainer’?”
Pertanyaan itu cukup beralasan, hal ini karena kata dasar ‘coach’ dan ‘trainer’ sendiri memiliki kesamaan makna yang terasosiasi dengan ‘pelatih’, dimana keduanya menjalankan fungsi ‘melatih’.
Dibandingkan dengan bertahun-tahun lalu dimana coaching masih menjadi satu hal yang asing dan lebih melekat dengan dunia olahraga semata, dewasa ini coaching telah menjadi satu aktivitas yang memiliki posisi tersendiri di tatanan kehidupan bermasyarakat global, hal ini bisa dilihat dari:
- Mulai diresmikannya coach sebagai sebuah profesi yang memang secara resmi bisa dijalani oleh siapa pun yang memenuhi syarat untuk mempelajari dan mempraktikkannya. Dalam hal ini, di level yang lebih mendalam bahkan coach sendiri menjadi profesi dengan beragam spesialisasi di dalamnya, mulai dari spesialisasi coaching untuk kehidupan pribadi, coaching untuk kepemimpinan, penjualan, bisnis, hubungan, keluarga dan lain sebagainya.
- Bermunculannya kebutuhan di masyarakat – yang mulai menyadari manfaat dan peruntukkan coaching – untuk mulai menjalani proses coaching untuk perbaikan dan peningkatkan kualitas hidup mereka di berbagai aspek kehidupan.
- Mulai disosialisasikannya coaching di banyak perusahaan dan organisasi, untuk melengkapi metode pengembangan SDM di dalamnya.
Seperti apa penjelasan lebih lengkap dari ketiga hal di atas dan seperti apa kerangka kerja coaching, yang kemudian membedakannya dengan pendekatan lain?
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan konsep dasar dari coaching dan berbagai hal yang berhubungan dengannya, termasuk menjelaskan kerangka kerja coaching dan peruntukkanya di berbagai aspek.
Selamat membaca.
DARI MANA COACHING BERMULA
Mempelajari coaching tentu tidak lengkap jika kita tidak mengetahui sejarahnya, maka kita akan memulainya dari memahami sejarah singkat tentang coaching terlebih dahulu.
Ada banyak versi tentang ‘dari mana coaching ini bermula’, namun satu yang cukup populer adalah awal mula disematkannya istilah ‘coach’ itu sendiri, dimana dalam versi ini dikisahkan bahwa istilah ‘coach’ mulai digunakan pada tahun 1830 di Oxford University.
Kala itu istilah ‘coach’ disematkan sebagai istilah informal untuk para pembimbing yang membimbing para pelajar dan mahasiswa untuk bisa lulus ujian. Dari proses ‘membimbing seseorang untuk bisa lulus ujian atau melewati tantangan’, makna dari coaching ini kemudian berkembang lebih jauh menjadi ‘sebuah proses mengantarkan seseorang dari titik tempatnya berada saat ini menuju titik ideal yang diharapkannya’, terutama sejak dipopulerkannya istilah coaching di dunia olahraga pada tahun 1861, dimana istilah coaching mulai berkembang menjadi ‘proses melatih dan mengembangkan potensi seseorang dari kondisinya saat ini untuk bisa memenuhi kriteria ideal yang dipersyaratkan di peran yang dimainkannya’.
Waktu berlalu, pada tahun 1971 seorang penyuka tenis yang bekerja di bidang pendidikan di Amerika yang bernama Timothy Gallwey, mengambil cuti dan di masa cutinya ia mengambil pekerjaan sebagai pelatih tenis profesional di Kalifornia. Dalam aktivitasnya melatih para pemain tenis inilah, ia mendapati satu temuan yang menjadi cikal-bakal dari coaching profesional.
Gallwey pada awalnya mempraktikkan pendekatan instruktif dalam melatih (coaching) para pemain didikannya, dimana dalam pendekatan ini pelatih memberikan instruksi dan pemain mengikuti instruksi pelatih, jika pelatih mendapati pemain tidak menampilkan proses ideal yang seharusnya maka pelatih memberikan instruksi untuk pemain ikuti supaya mereka bisa memperbaiki prosesnya.
Pada suat hari Gallwey menyimpulkan bahwa gaya coaching instruktifnya membuat para pemain didikannya lebih fokus pada instruksi dan bukan pada kemampuan alami mereka yang bisa membantu mereka bermain dengan lebih luwes.
Di titik ini Gallwey lalu mengubah pendekatannya dalam melakukan coaching, ia yang semula hanya fokus pada instruksi teknis mulai lebih banyak mengeksplorasi cara berpikir para pemainnya, proses coaching yang awalnya berisikan instruksi agar para pemain mengikuti detail instruksi yang diberikan beralih menjadi proses coaching yang membangun kesadaran para pemainnya akan cara bermain mereka sendiri melalui serangkain proses tanya-jawab interaktif: coach bertanya dan pemain menjawab. Gallwey mulai lebih banyak melibatkan para pemain untuk menyadari cara mereka bermain, baik dari segi mental emosional atau pun keahlian teknisnya, dan menghubungkannya dengan potensi pribadi mereka, dengan cara ini ia mendapati bahwa bahkan pemain amatir sekali pun bisa mengembangkan insting dan keahlian alaminya secara lebih luwes dibandingkan pemain berpengalaman yang hanya fokus pada instruksi spesifik.
Gallwey terus memfokuskan metode coaching yang difasilitasinya melalui metode eksplorasi ini, yang ternyata menghasilkan peningkatan kualitas permainan yang revolusioner pada para pemain didikannya, karena ia bukan hanya menyasar keahlian fisik semata, melainkan pola pikir mental-emosional para pemainnya yang membentuk pola permainan mereka.
Pada tahun 1974, temuan Gallwey ini kemudian dipublikasikan dalam buku berjudul The Inner Game of Tennis, di luar dugaan buku ini menempati posisi New York Times Bestseller dan terjual berkali-kali lipat dari perkiraan semula.
Sejak populernya pendekatan coaching temuan Gallwey ini, metode yang dikembangkannya mulai dipopulerkan ke cabang olahraga lain seperti ski es, golf dan cabang olahraga lainnya, menghasilkan peningkatan revolusioner yang serupa. Metode coaching yang dikembangkan Gallwey yang menyasar pada eksplorasi pola pikir mental-emosional dan membangun kesadaran bagaimana pola pikir itu mempengaruhi kualitas permainan menjadikan para pemain olahraga di berbagai cabang lebih menyadari kualitas pola pikir dan strategi mental mereka, betapa dengan menata ulang strategi berpikirnya ternyata keahlian teknis mereka ikut berkembang.
Eksplorasi coaching temuan Gallwey tidak berhenti sampai di sini, temuannya kelak diaplikasikan ke bidang non-olahraga seperti musik dan bahkan bisnis-manajerial.
Fokus eksplorasi coaching Gallwey yang menyasar pada pola pikir mental-emosional menjadikan teknik temuannya ternyata berlaku universal, pada tahun 1980 melalui pendekatan coaching yang difasilitasinya Gallwey berhasil membantu perusahaan telekomunikasi AT&T mengubah pola pikir organisasi yang semula berfokus pada pemikiran konvensional yang menghindari kritik menjadi pola pikir kompetitif dan berorientasi pada pelanggan.
Tidak berhenti sampai di sini, Gallwey membantu IBM – sebuah perusahaan elektronik komputer – mengubah pola pendekatan mereka dalam mengembangkan para SDM-nya melalui metode training dan coaching yang dikembangkannya, dari sini pendekatan coaching Gallwey terus berkembang dan digunakan oleh banyak perusahaan bertaraf internasional di berbagai negara.
Jadi kesimpulannya, apa yang Gallwey lakukan yang melahirkan coaching dengan hasil yang berbeda? Jawabannya ada pada ‘eksplorasi’.
Dalam pendekatan Gallwey, esensi coaching sebagai proses ‘membantu seseorang berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai harapannya’ berubah dari yang semula ‘instruktif’ menjadi ‘eksploratif’.
Keberadaan coach sebagai sosok yang melatih, mendidik dan mengembangkan potensi didikannya (biasa disebut coachee) bukan lagi berpijak pada ‘skenario’ bahwa coach adalah sosok super yang terus ‘mendikte’ coachee agar mengikuti instruksinya, melainkan sosok yang:
- Membangun kesadaran dan pemahaman coachee tentang kondisi dan proses ideal yang seharusnya ditampilkannya, baik dari segi pola pikir dan keahlian teknis.
- Memfasilitasi coachee untuk mengidentifikasi seberapa jauh perbedaan yang ada antara pola pikir dan keahlian yang dimilikinya saat ini dengan pola pikir dan keahlian yang seharusnya dimilikinya untuk bisa menampilkan kinerja dan produktivitas terbaiknya.
- Memberikan ‘ruang’ agar coachee bisa merumuskan strategi terbaik yang sesuai dengan potensi alaminya, yang bisa membantunya berpindah dari kondisinya saat ini ke kondisi idealnya. Ruang yang dimaksud disini, yaitu sebuah sikap ‘non-judgemental’, atau sikap ‘tidak menghakimi’, apa pun strategi yang coachee utarakan dalam sesi coaching bukan untuk dikritisi oleh coach dan diakhiri dengan instruksi, melainkan coach justru mengajak coachee mengevaluasi strateginya sendiri, menyadari seperti apa kemungkinan dari pelaksanaan strategi itu dan seperti apa dampaknya pada proses pertumbuhan coachee, pada akhirnya coachee-lah yang memutuskan strategi apa yang akan dijalankannya untuk bisa berpindah dari kondisi lama ke kondisi barunya, berdasarkan hasil evaluasinya sendiri atas kecocokan dari strategi yang akan dijalankannya dengan realita yang coachee hadapi saat ini.
- Membantu coachee mendesain rencana-aksi untuk melaksanakan strategi yang ditetapkannya dalam situasi nyata serta mengantisipasi berbagai potensi hambatan yang bisa merintangi pelaksanaan rencana-aksi tersebut.
Dengan kata lain: coaching modern hasil formulasi Gallwey menitikberatkan eksplorasinya pada pertanyaan dan bukan pernyataan (instruksi). Pada akhirnya kontribusi Gallwey pada dunia coaching ini menjadikan sebutan ‘The Father of Modern Coaching’ disematkan padanya.
Saat ini terdapat beragam organisasi yang mengembangkan coaching dengan ciri khasnya masing-masing, meski pada akhirnya semua bermuara pada esensi yang sama bisa saja pelaksanaannya akan menekankan ciri khas teknik yang berbeda, pada akhirnya bukan soal benar atau salah melainkan soal tujuan dari ditetapkanya ciri khas itu oleh organisasi tersebut yang perlu dipahami.
JENIS-JENIS COACHING
Perkembangan coaching yang Gallwey dapati, praktikkan dan mendapatkan pengakuan di berbagai bidang menyajikan sebuah temuan bahwa coaching ternyata bisa diaplikasikan ke dalam bidang selain olahraga sekali pun, hal ini membuat coaching ‘berevolusi’, ia menjadi sebuah pendekatan dalam membantu seseorang berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru.
Artinya: coaching menjadi sebuah metode perubahan dan kerangka kerja yang ditujukan untuk memperbaiki kinerja seseorang dalam peran dan bidang spesifik yang dijalaninya, sehingga ia bisa berpindah dari kondisi lamanya saat ini yang dirasa tidak ideal menuju kondisi baru yang ideal baginya.
Namun demikian, meskipun mengakar pada prinsip dan kerangka kerja yang sama, evolusi dari coaching dan penerapannya di berbagai bidang menjadikan lahirnya berbagai ‘varian’ coaching, dimana setiap jenis coaching ini harus mengadaptasi kompleksitas situasi yang sudah ada di dalamnya agar kerangka kerja coaching yang bersifat universal ini bisa diterapkan secara praktis.
Beberapa varian coaching yang saat ini populer dikenal yaitu:
Life Coaching: sering juga disebut personal coaching, jenis coaching ini adalah coaching yang diperuntukkan bagi individu yang ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup pribadinya di aspek yang disepakati, coach yang memfasilitasi jenis coaching ini disebut Life Coach.
Dalam praktik Life Coaching, seorang Life Coach mendampingi kliennya untuk mengidentifikasi area kehidupan yang ingin klien fokuskan untuk perbaiki dan tingkatkan melalui proses coaching bersamanya, area kehidupan ini bisa berupa mental-emosional, keuangan, hubungan, keluarga, spiritual dan lain sebagainya.
Karena ‘payung’ dari Life Coaching ini bersifat general, menaungi area kehidupan individu secara umum, di kemudian hari beberapa coach menciptakan pendalam/spesialisasi dari Life Coaching ini, mereka yang menspesialkan dirinya dalam perbaikan hubungan misalnya, membuat area khusus Relationship Coaching dan menjadikan diri mereka Relationship Coach.
Para coach yang mendalami spesialisasi bidang keluarga bisa saja menempatkan dirinya di bidang Family Coaching dan menjadikan diri mereka Family Coach, begitu juga para coach yang mendalami perbaikan kondisi keuangan, bisa menjadikan diri mereka seorang Financial Coach yang memfasilitasi sesi Financial Coaching.
Dewasa ini beberapa dokter yang mendalami coaching bahkan mengembangkan kemampuannya di bidang Health Coaching, yang menjadikan mereka seorang Health Coach.
Tidak kalah seru, di Amerika bahkan ada beberapa coach yang mendalami bidang ‘pendampingan akhir’ untuk mereka yang diprediksi akan menutup usia dalam waktu dekat (karena sakit kritis, atau kondisi sejenis lainnya), agar mereka bisa menutup usianya dengan damai dan tenang, dimana mereka menyebut dirinya sebagai ‘End of Life Coach’.
Tidak ada batasan khusus untuk varian coaching yang bermula dari Life Coaching ini, selama aspek yang ingin klien tingkatkan berpusat pada kehidupan pribadinya (dan coach memiliki kemampuan untuk memfasilitasi prosesnya) maka Life Coaching bisa dijalankan, terlepas dari apakah nantinya program itu dijalankan di dalam nama program Life Coaching atau nama varian spesialisasinya semua itu akan bergantung pada kebijakan coach yang memfasilitasi program tersebut.
Performance Coaching: jenis coaching yang satu ini biasanya diadakan untuk mereka yang ingin meningkatkan kinerja mereka di peran spesifik yang mereka tampilkan untuk memenuhi pemenuhan kinerja atau target tertentu, para atlit yang ingin meningkatkan kinerja mereka di bidang olahraga yang dijalaninya misalnya (Sports Performance Coaching), atau para tenaga penjual yang ingin meningkatkan produktivitas penjualannya (Sales Performance Coaching).
Performance Coaching di organisasi biasanya ditujukan untuk para pemimpin dalam meningkatkan kinerja kepemimpinannya, yang kelak disebut sebagai Leadership Coaching. Jenis coaching ini juga cukup umum diterapkan pada para eksekutif di organisasi, untuk meningkatkan kinerja dan kepemimpinan eksekutif mereka dalam menjalankan organisasi, yang menjadikannya disebut Executive Coaching. Ada kalanya pelaksanaan coaching ini dilakukan secara berkelompok (group) untuk meningkatkan kinerja kelompok tersebut, yang menjadikan pelaksanaannya disebut sebagai Group Coaching.
Business Coaching: jenis coaching yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja sebuah unit bisnis, jenis coaching ini agak berbeda karena bukan ditujukan pada individu, melainkan pada sistem bisnis.
Artinya, coach memfasilitasi proses coaching pada pemilik bisnis untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi bisnis yang dijalankannya, topik coaching yang diangkat pun akan menyasar area-area bisnis. Ketika coaching dilakukan pada pemilik bisnis, namun untuk menata kinerja pribadinya dalam menjalankan bisnisnya, maka jenis coaching ini termasuk ke dalam area Executive Coaching, sementara ketika coaching jenis ini dilakukan pada sebuah organisasi untuk menciptakan sistem berorganisasi yang lebih efektif dan efisien maka peruntukkanya menjadi Organizational Coaching atau Corporate Coaching.
PERBEDAAN COACHING DAN TRAINING
Jika demikian, maka apa bedanya ‘coaching’ dan ‘training’? Bukankah keduanya memiliki esensi yang sama, yaitu sama-sama melatih dan mengembangkan?
Sebenarnya jawabannya terletak pada paragraf terakhir di bahasan ‘Dari Mana Coaching Bermula’ di atas sebelumnya, yaitu ‘coaching modern hasil formulasi Gallwey menitikberatkan eksplorasinya pada pertanyaan dan bukan pernyataan (instruksi)’.
Demikianlah, dalam coaching modern, inti dari prosesnya terletak pada pertanyaan dan bukan instruksi atau pemaparan yang diberikan dengan ditujukan untuk membangun pemahaman.
Pemaparan yang ditujukan untuk membangun pemahaman adalah ranahnya training, dimana dalam proses training seorang trainer mendesain serangkaian proses pembelajaran yang ditujukan untuk membekali pemahaman dan keahlian spesifik untuk para pembelajarnya, dengan kata lain: training memfasilitasi seorang pembelajar dari yang semula tidak tahu, tidak paham dan tidak bisa menjadi tahu, paham dan bisa.
Bukankah pembelajaran jenis ini saja sudah membantu pengembangan seseorang dari kondisi lama yang tidak paham ke kondisi baru yang lebih paham? Betul sekali, namun ada yang kurang dalam proses ini, bagaimana pun dalam proses training pembelajar mendapatkan materi dengan sistematika yang disiapkan trainer, begitu juga praktik yang disediakan di kelas pun (jika berisikan sesi praktik) mengikuti sistematika yang trainer siapkan, ada keterbatasan skenario bagi pembelajar untuk membumikan yang sudah dipelajarinya ke dalam situasi nyata.
Selepas kembali ke dunia nyata, pembelajar yang sudah mengikuti training akan berhadapan dengan kenyataan atau dunia nyata, waktunya mempraktikkan yang sudah dipelajarinya dalam training, disinilah sering kali terjadi ‘gap’ atau celah, apa yang sudah dipelajari dan diketahui selama ini berhadapan dengan tantangan yang bisa jadi dirasa asing dan menciptakan kebingungan.
Dalam hal inilah coaching ditujukan untuk menutupi gap yang tercipta antara training dengan realita. Melalui proses coaching seorang coach membantu coachee menyadari kondisinya saat ini dengan lebih jelas, menyadari kejelasan gap yang tercipta antara kondisinya saat ini dengan kondisi ideal yang harusnya bisa ditampilkannya berdasarkan apa yang sudah diketahuinya, coach juga membantu coachee merancang aksi-strategi yang bisa secara efektif menutupi gap tersebut sehingga ia bisa menampilkan kinerja ideal sesuai peran yang ia jalankan.
Ulasan ini menegaskan satu hal: coaching bukanlah upaya menggantikan training, melainkan melengkapinya.
Coaching tidak bisa dilakukan pada mereka yang ‘kosong’ atau tidak memiliki dasar pengetahuan, karena coaching ditujukan untuk mengeksplorasi pengetahuan dan keahlian yang sudah dimiliki, bukan yang belum dimiliki.
Coach mengajak coachee menyadari apa tuntutan kinerja yang harus dipenuhinya dan menyadari kondisi aktual (pengetahuan dan keahlian) coachee saat ini, baik yang diperoleh dari hasil training atau pun pembelajaran formal (bagi para fresh graduate misalnya) lalu mengembangkan aksi-strategi yang sesuai dengan potensi alami coachee agar bisa mengoptimalkan pengetahuan dan keahlian yang sudah dimilikinya untuk memenuhi tuntutan kinerja tersebut.
Kombinasi dari training dan coaching inilah yang melahirkan akselerasi dan efisiensi, sebuah riset yang dilakukan International Personnel Management Association (IPMA) pada tahun 2001 bahkan menyatakan bahwa training berkontribusi meningkatkan produktivitas sebesar 22%, sementara ketika training ini dibarengi dengan coaching maka produktivitas yang dihasilkan meningkat menjadi sebesar 88%.
Angka yang kecil atau besar? Anda tentu bisa menilainya sendiri dan menyadari betapa besarnya manfaat coaching bagi peningkatkan produktivitas.
MEKANISME KERJA COACHING (DAN RAGAM PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN)
Waktunya kita mengulas seperti apa coaching dijalankan.
Saya biasa membagi mekanisme kerja coaching ke dalam empat tahapan, yaitu:
Tahapan pertama: penentuan mekanisme coaching.
Tahapan pertama ini adalah tahapan dimana seorang coach perlu mengidentifikasi dan menetapkan mekansime program coaching yang akan difasilitasinya.
Coaching bukan proses yang hanya berjalan satu-dua kali atau hanya ketika diperlukan, melainkan justru program berkesinambungan yang terjadwal, diagendakan dengan jelas oleh coach dan coachee dan coachee sendiri meletakkan coaching sebagai agenda prioritasnya.
Meski dalam kenyataannya coaching sangat berpusat pada eksplorasi dan pertanyaan dimana coachee menjadi ‘pemeran utama’ dalam setiap sesinya, dalam kenyataannya tidak semua coachee siap menjalani proses coaching yang seperti ini.
Ingatlah bahwa coaching tidak bisa dilakukan pada mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan dan keahlian yang memadai, bukan tidak mungkin dalam prosesi coaching nanti coachee memang belum memiliki dasar keahlian yang diperlukan untuk diulas dalam sesi coaching, jika ini terjadi maka coach harus memiliki ketetapan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan dalam menyikapi situasi ini, apakah coach akan menjadikan ketidaktahuan coachee tadi sebagai agenda pengembangan diri, yaitu dengan memberikan coachee tugas untuk mempelajari topik yang belum diketahuinya agar ia menjadi tahu dan kemudian membawa pengetahuan itu ke sesi coaching berikutnya, ataukah coach akan mengajarkan topik itu pada coachee (jika coach memang memiliki pengetahuan yang coachee perlukan) sampai ke tahap yang diperlukan sebatas di sesi itu untuk mengefektifkan proses coaching yang coachee jalani.
Dalam sesi Life Coaching, seorang Life Coach akan berhadapan dengan perbaikan kehidupan pribadi coachee sebagai individu, dalam prosesnya sangat mungkin coach akan menemukan hambatan mental-emosional yang cukup menghambat coachee untuk berkembang, seperti trauma, fobia, kecemasan atau masalah psikis lain yang menghambat coachee untuk bisa melakukan perbaikan yang diperlukan di area kehidupannya, jika ini terjadi maka coach juga harus memiliki ketetapan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan dalam menyikapi situasi ini, apakah coach akan menjadikan penyelesaian masalah psikis coachee tadi sebagai agenda pengembangan diri, yaitu dengan memberikan coachee tugas untuk mencari pertolongan praktisi yang sesuai untuk mengatasi masalah psikisnya dan datang kembali ke sesi coaching selepas ia menyelesaikan masalah psikisnya, ataukah coach akan memfasilitasi penyelesaian masalah psikis pada coachee (jika coach memang keahlian ini, biasanya ini bisa dilakukan jika coach memang memiliki kompetensi khusus di bidang therapeutic) sampai ke tahap yang diperlukan sebatas di sesi itu untuk mengefektifkan proses coaching yang coachee jalani.
Masih sehubungan dengan penetapan desain program, coach juga perlu menetapkan dengan jelas apakah ia akan memfasilitasi coaching yang bersifat non-directive (tanpa arahan kerangka perjalanan), atau coaching yang bersifat directive (adanya arahan kerangka perjalanan).
Coaching non-directive dilakukan dengan menitikberatkan agendanya pada apa yang coachee tetapkan sebagai agenda pertumbuhan dalam proses coaching yang dijalaninya, dalam proses ini coachee menetapkan sendiri tujuan pencapaiannya dan tujuan pertumbuhannya dari sesi ke sesi yang dijalaninya, jenis coaching ini biasanya digunakan dalam prosesi coaching yang tergabung di varian Life Coaching.
Sementara itu coaching yang bersifat directive dilakukan dengan menitikberatkan agendanya pada skema perjalanan yang coach siapkan, karena memang coach – berdasarkan pengalamannya – sudah memiliki skema perjalanan coaching yang sesuai untuk diimplementasikan pada coachee-nya di area yang menjadi topik bahasan dalam coaching.
Tahapan kedua: penyelarasan visi dan analisa kesiapan.
Perlu diingat, coaching bukanlah proses intruktif, melainkan eksploratif, artinya coach tidak memberikan arahan untuk coachee jalankan sebagai metode utama melainkan mengeksplorasi potensi dan strategi coachee, maka itu kesiapan coachee menjadi kunci utamanya.
Sebaik apa pun keahlian yang coach miliki, jika coachee tidak siap (baca: tidak termotivasi) untuk menjalani coaching maka agenda coaching tidak akan berjalan efektif.
Maka sebelum program coaching resmi dijalankan, diperlukan sesi khusus untuk coach bertemu dan berinteraksi dengan coachee (calon) untuk menyelaraskan visi. Dalam sesi ini coaching belum resmi dimulai, coach mengoptimalkan waktu yang diagendakan di pertemuan ini untuk menjelaskan seperti apa coaching akan berjalan, apa saja yang harus calon coachee siapkan dan menyamakan visi tentang jalannya proses coaching, di titik ini juga coach dan calon coachee sama-sama menyamakan visi tentang arah perjalanan coaching dan menyiapkan diri satu sama lain untuk proses pertumbuhan bersama yang akan dijalani melalui proses coaching.
Jika di sesi ini coach mendapati calon coachee belum siap, baik karena belum memiliki pengetahuan yang sesuai, atau belum termotivasi secara ideal maka coach jelas harus memutuskan apakah ia akan meluangkan atensi dan waktu untuk menyiapkan calon coachee guna siap menjalani program coaching ataukah menunda proses coaching sampai calon coachee siap menjadi coachee (siap menjalani proses coaching).
Bagi coach yang berpraktik profesional memberikan coaching pada khalayak umum (klien asing), jika mendapati calon coachee tidak siap karena coachee tidak memiliki gambaran yang tepat akan proses coaching (beranggapan bahwa coaching adalah proses ajaib-instan yang menjanjikan perubahan instan misalnya) maka coach berkewajiban mengedukasi calon coachee tentang proses coaching yang benar dan tepat, agar coachee tidak salah tafsir, selepas calon coachee mengetahui gambaran coaching yang sebenarnya barulah mereka bisa memutuskan apakah mereka akan menjalani coaching atau tidak.
Hal yang sama berlaku di situasi di atas jika coach mendapati bahwa calon coachee tidak termotivasi menjalani coaching dan datang karena ‘diminta’ orang lain, jika situasi ini terungkap maka jelas coach tidak boleh memfasilitasi proses coaching karena prosesnya akan sangat tidak efektif.
Lain dengan coaching yang dijalankan oleh seorang leader di organisasi pada anggota timnya sebagai coachee, jika ia mendapati bahwa coachee-nya belum siap karena belum memiliki pengetahuan atau motivasi yang tepat maka coach bisa mendesain rencana khusus untuk menyiapkan coachee menjalani prosesi coaching-nya, bisa dengan menyiapkan agenda training sebagai persiapan pembekalan coaching jika coachee teridentifikasi belum memiliki pengetahuan yang ideal atau bisa juga menyiapkan skema reward & punishment untuk memotivasi coachee agar siap menjalani proses coaching.
Tahap ketiga: perumusan arah perjalanan.
Biasa disebut sebagai sesi goal setting, proses ini baru bisa dilakukan optimal jika coach dan coachee sudah siap optimal untuk menjalani proses coaching, atau dengan kata lain: sudah melewati tahapan pertama dan kedua sebelumnya.
Di fase ini coach membantu coachee mengidentifikasi arah perjalanan dari coaching yang akan dijalaninya, dimulai dari mengidentifikasi tujuan akhir yang dituju untuk dicapai melalui proses coaching, lalu mengidentifikasi kondisi coachee saat ini, disambung dengan mendesain proses perjalanan yang akan coachee lakukan bersama coach untuk bisa mencapai tujuan akhir tersebut.
Perlu diingat bahwa desain dari proses perjalanan ini didesain berdasarkan temuan coach atas kondisi coachee saat goal setting awal dilakukan, bukan berarti dalam perkembangannya nanti penetapan arah perjalanan ini tidak akan berubah.
Ya, dalam kenyataannya bisa saja coachee menyadari bahwa yang ia tetapkan di goal setting awal tidaklah sepenuhnya tepat, sehingga ia memutuskan mengganti arah perjalanan, kalau pun hal ini terjadi maka hal ini adalah hal yang wajar, yang coach lakukan adalah membantu coachee untuk semakin menyadari arah perjalanan yang lebih tepat kali ini dan membantu coachee menyadari bagaimana ia dulu bisa salah menentukan arah perjalanan, bagaimana coachee bisa belajar dari kesalahannya di masa lalu dan memastikan bahwa arah perjalanannya kali ini tepat.
Tahapan perumusan arah perjalanan ini haruslah selalu terjadi dalam proses coaching, yang menjadikan coach selalu mengidentifikasi arah yang coachee sedang tuju untuk capai di setiap sesinya dan menghubungkannya dengan skema arah perjalanan yang lebih besar yang coachee ingin wujudkan sebagai hasil akhir dari proses coaching.
Tahap keempat: eksplorasi, eksekusi dan evaluasi.
Sekali lagi, tahapan goal setting harus selalu ada dalam proses coaching, goal setting ini nantinya akan dibagi menjadi dua jenis: pertama yaitu final goal setting, yang menjadi tujuan akhir yang coachee ingin wujudkan melalui proses coaching yang dijalaninya bersama coach, dan kedua yaitu process goal setting, yang menjadi topik bahasan atau agenda dari setiap sesi coaching yang akan coachee jalani dimana dengan mencapai tujuan yang diagendakan di setiap sesinya ini maka coachee akan pada akhirnya mencapai final goal setting yang ditetapkannya.
Dengan kata lain, di setiap sesinya harus ada agenda yang diprioritaskan dan kejelasan untuk dicapai, yaitu: apa kejelasan yang coachee ingin dapatkan di sesi yang dijalaninya, dimana kejelasan itu akan dikerucutkan menjadi sebuah rencana-aksi yang coachee lakukan dan kelak membawa coachee bertumbuh positif menjadi lebih dekat menuju tujuan pencapaian final yang ditetapkannya.
Artinya, di setiap sesinya coach dan coachee akan selalu mengangkat agenda bahasan untuk disepakati, di akhir sesinya nanti coachee harus mendapatkan kejelasan akan rencana-aksi yang harus dijalankan sebagai wujud nyata/aktualisasi dari agenda bahasan yang sudah disepakatinya bersama coach di sesi itu, selebihnya coachee lalu menjalankan rencana-aksi tersebut dalam kehidupannya dan membawa hasil kemajuannya untuk dievaluasi bersama coach di sesi selanjutnya.
Proses identifikasi process goal setting di setiap sesi dan penetapaan rencana-aksi inilah yang dimaksud eksplorasi di tahap keempat ini, dimana seperti sudah ditekankan di kalimat sebelumnya coach mengeksplorasi agenda bahasan untuk disepakati dan mengeksplorasi rencana-aksi yang harus coachee jalankan sebagai wujud nyata/aktualisasi dari agenda bahasan yang sudah disepakatinya di sesi itu.
Proses wujud nyata/aktualisasi dari agenda bahasan yang sudah coachee sepakati dengan coach di sesi coaching adalah proses yang mewakili eksekusi di tahap keempat ini, dimana di tahapan ini coachee kembali ke kehidupan sehari-harinya di luar sesi coaching dan melaksanakan rencana-aksi yang disepakatinya bersama coach.
Kualitas dari eksekusi dalam kehidupan nyata sangat bergantung pada ketajaman eksplorasi di proses coaching, yaitu seberapa dalam coach bisa mengeksplorasi rencana-aksi sestrategis mungkin dan seberapa besar coach bisa memunculkan komitmen coachee semaksimal mungkin untuk benar-benar mengeksekusi apa yang sudah direncanakannya sampai mendapatkan hasil yang signifikan dan membawa coachee lebih dekat menuju tujuan akhir yang ditetapkannya, proses eksplorasi inilah yang sangat menysaratkan keahlian dan jam terbang.
Berdasarkan yang sudah coachee lakukan di proses eksekusi, coachee akan membawa kabar perkembangan untuk dilaporkan pada coach, inilah yang dimaksudkan sebagai proses evaluasi di tahap keempat, dimana evaluasi ini dilakukan di sesi berikutnya.
Di tahapan evaluasi di sesi berikutnya ini coach akan mengeksplorasi seperti apa perkembangan dari apa yang sudah coachee lakukan, seberapa jauh eksekusi yang coachee lakukan membawa dampak pada pencapaian tujuan akhir yang coachee tetapkan.
Dalam proses evaluasi di setiap sesi berikutnya ini bisa terjadi beberapa hal:
- Coachee berhasil mengeksekusi yang sudah ditetapkannya di sesi sebelumnya dan hal itu membawa dampak signifikan menjadikan coachee bergerak dari kondisinya saat ini menjadi lebih dekat dengan tujuan pencapaian besarnya, jika ini terjadi maka agenda sesi kali ini bisa ditujukan untuk menciptakan agenda eksplorasi dan eksekusi lain untuk semakin menciptakan pertumbuhan positif pada coachee.
- Coachee berhasil mengeksekusi yang sudah ditetapkannya di sesi sebelumnya namun hal itu tidak membawa dampak signifikan menjadikan coachee bergerak dari kondisinya saat ini, jika ini terjadi maka agenda sesi kali ini bisa ditujukan untuk mengeksplorasi rencana aksi-eksekusi lain yang lebih bisa menciptakan pertumbuhan positif pada coachee, di sesi kali ini coach harus cermat memfasilitasi proses pembelajaran pada coachee agar coachee menyadari kesalahan dan ketidakefektifan apa saja yang ada dalam aksi-ekskusinya dulu yang menjadikan pertumbuhan tidak terjadi.
- Coachee tidak berhasil mengeksekusi yang sudah ditetapkannya di sesi sebelumnya, jika ini terjadi maka coach perlu memfasilitasi proses eksplorasi ulang pada coachee di sesi kali ini, mengidentifikasi apakah ia memang masih harus mengeksekusi yang ditetapkannya di sesi sebelumnya ataukah coachee sebaiknya menetapkan aksi-eksekusi lain yang lebih ideal untuk diprioritaskan kali ini. Apa pun itu, yang terpenting adalah coachee selalu mendapatkan kejelasan rencana aksi-eksekusi yang jelas untuk diaktualisasikan di setiap sesinya.
Dalam kasus pertumbuhan terjadi, tentu tidak ada hambatan berarti untuk diantisipasi, coach bisa meneruskan prosesnya seefektif mungkin, namun lain ceritanya dalam kasus pertumbuhan tidak terjadi atau eksekusi tidak terjadi, seperti diilustrasikan di atas, dalam hal ini coach perlu lebih jeli melakukan eksplorasi untuk semakin mengidentifikasi hal-hal yang tidak coachee sadari (blind spot) yang menjadikan kemajuan dan eksekusi tidak terjadi, bisa juga coach meluangkan waktu khusus untuk memberikan arahan direktif untuk mengakselerasi pertumbuhan coachee jika memang cara itu menjadi keputusan coachee di ‘Tahapan pertama: penentuan mekanisme coaching’, dalam lingkup organisasi jika coach adalah leader dari coachee bisa juga yang terjadi adalah coach memberikan dukungan dan bantuan operasional tertentu sesuai situasi yang terjadi agar coachee bisa lebih efektif mengeksekusi yang direncanakannya atau menciptakan pertumbuhan.
Setiap sesi coaching harus selalu berisikan proses evaluasi dan eksplorasi, hal ini karena coaching ditujukan untuk menciptakan ‘pertumbuhan’ maka penting bagi coach dan coachee untuk selalu mengevaluasi hasil eksekusi di kehidupan nyata untuk diselaraskan dengan arah perjalanan yang disepakati sebagai agenda pencapaian sesi coaching, barulah nantinya proses eksplorasi berperan sebagai kunci mempertajam hasil pembicaraan di sesi coaching dan menjadikannya agenda eksekusi berikutnya yang ditujukan untuk semakin mendekatkan coachee ke tujuan akhir yang ditetapkannya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching? Memerlukan layanan coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.