Ada diskusi menarik dengan para peserta Life Coaching Mastery angkatan tahun 2025, yaitu mengenai orang-orang yang sedemikian “logis”.
Bukan tanpa alasan kata “logis” di kalimat di atas diberi tanda petik, karena memang penggunaan kata itu di konteks diskusi kita beberapa waktu lalu bukan dimaksudkan untuk menyoroti keberadaan dari sikap logis dalam artian sebenarnya, melainkan sebagai sebuah kiasan untuk menggambarkan sebuah sikap yang jadinya menghambat proses perubahan.
Agar ada konteks yang lebih jelas untuk memahami tulisan ini, saya ingin memulainya dengan menjelaskan terlebih dahulu pelaksanaan Life Coaching Mastery (LCM) yang kemudian melahirkan diskusi sebagaimana dijelaskan di atas tadi.
LCM menjadi program pembelajaran intensif dimana para peserta mempelajari seluk-beluk praktik life coaching untuk memfasilitasi proses perubahan positif pada sesama untuk bisa menjadi versi dirinya yang lebih baik dan untuk bisa mewujudkan tujuan pencapaian yang mereka cita-citakan.
Coaching pada dasarnya berbeda dengan terapi. Penjelasan sederhana yang banyak ditemukan perihal perbedaan ini biasanya menekankan bahwa terapi berfokus pada masa lalu sementara coaching berfokus pada masa depan. Meski pun demikian, baik coaching atau pun terapi memiliki peririsan yang sama, yaitu keduanya bermula dari adanya penetapan yang jelas akan sebuah tujuan perubahan.
Meski pun LCM berfokus pada coaching, dalam pembelajarannya ada bahasan yang mengajarkan muatan pengetahuan seputar dunia terapi dan konseling, agar para peserta bisa memahami seluk-beluk permasalahan klien secara komprehensif dan tahu sejauh mana kewenangan mereka dalam membersamai perubahan klien.
Ada kesamaaan di antara proses coaching, terapi dan konseling, yaitu betapa saat membersamai perubahan klien akan ada proses dimana kita mengajak mereka mengarahkan fokus mereka ke dalam dirinya (inwards attention) untuk mengenali sisi-sisi dalam dirinya yang membentuk diri mereka saat ini, termasuk mengenali dinamika perasaan dan pikirannya.
Dalam proses mengenali sisi dalam diri inilah ada kalanya beberapa orang bisa sedemikian resisten. Mereka enggan untuk terhubung dengan sisi-sisi dalam dirinya, karena ada luka yang belum terselesaikan dalam diri mereka yang bisa jadi terasa menyakitkan jika sampai “tersenggol”.
Untuk menghindari luka ini terakses, individu kemudian mengembangkan mekanisme pertahanan (defense mechanism) dalam berbagai bentuk, dengan tujuan mengalihkan atensi mereka dari dalam diri, agar rasa sakit yang bersumber dari luka dalam diri mereka tidak terasa.
Salah satu bentuk mekanisme pertahanan itu adalah yang di awal tulisan ini dibahas dalam bentuk sikap yang “terlalu logis”.
Lagi-lagi, istilah “terlalu logis” diĀ sini bukan dimaksudkan untuk mengartikan bahwa sikap “logis” adalah hal yang buruk. Sebaliknya, kemampuan bepikir logis justru adalah hal yang sangat baik untuk mengajak kita memahami keterhubungan di balik berbagai hal yang kita alami, sehingga kita lebih bisa mengelola respon kita untuk menyikapi berbagai hal tersebut.
Dalam konteks diskusi bersama para peserta LCM, istilah “terlalu logis” digunakan oleh salah seorang peserta dalam forum diskusi dimana ketika ia sedang melatih kompetensi percakapan dengan salah seorang kerabatnya, ia berhadapan dengan kesulitan karena kerabatnya menunjukkan keengganan setiap kali ia mengajak kerabatnya mengenali sisi-sisi dalam dirinya, terutama yang berhubungan dengan perasaan.
Keengganan ini sendiri ditujukan dalam bentuk mengkritisi pertanyaan yang diajukan, seolah pertanyaan yang diajukan terkesan “tidak logis”, “tidak relevan”, atau bahkan merasa pertanyaan itu “tidak ada gunanya”, yang menjadikan ia tidak bisa terhubung dengan sisi-sisi dalam dirinya yang coba dikenali lewat percakapan ini.
Awalnya, peserta ini merasa bahwa kerabatnya yang sedang menjadi rekan berlatih itu “terlalu logis”, sehingga ia sulit untuk membicarakan hal-hal yang bersifat emosional.
Disinilah saya meluruskan anggapan tersebut. Saya menjelaskan bahwa sisi logis dan sisi emosi bukanlah sesuatu yang berkonflik. Bahkan untuk bisa memahami sisi emosi dengan baik kita justru memerlukan sisi logis untuk bisa memahami keterhubungan di balik sebab-akibat yang memunculkan emosi tersebut. Artinya, jika seseorang memiliki sisi logis yang kuat, maka idealnya ia bisa diajak memahami sisi-sisi dalam dirinya dengan lebih baik dan efektif, karena kemampuan berpikir logisnya bisa dengan cepat memahami dinamika yang berlangsung dalam dirinya.
Disinilah saya meluruskan bahwa yang ia sebut sebagai “logis” bukanlah “logis” yang kita pahami dalam konteks sebenarnya, melainkan “resisten”. Sikap resisten ini sendiri menandakan ia mengembangkan sebuah mekanisme pertahanan untuk menghindari hal-hal yang bernuansakan emosional agar ia tidak harus merasakan rasa sakit yang berpotensi muncul dari luka yang belum terselesaikan dalam dirinya.
Mendengar penjelasan saya, barulah peserta itu memahami situasi yang ia alami dengan lebih baik. Karena yang ia jadikan rekan berlatih adalah kerabatnya, ia sedikit banyak cukup mengetahui latar belakang masa lalu kerabatnya itu. Sejauh yang ia pahami, memang kerabatnya itu bertumbuh dengan banyak luka dan trauma. Meski di permukaan ia nampak baik-baik saja, jauh dalam dirinya sebetulnya ada banyak akumulasi luka yang belum terselesaikan. Luka yang belum terselesaikan itulah yang kerap kali muncul dan ia pun perlu mengembangkan mekanisme pertahanan agar luka itu tidak perlu ia rasakan.
Kesempatan ini saya pergunakan untuk membahas fenomena mekanisme pertahanan dengan lebih dalam, dari mulai prinsip kerjanya, mekanisme kemunculannya, dan ragam manifestasi perilakunya yang kerap kali muncul. Mendengar penjelasan ini, peserta itu semakin memahami yang dialami kerabatnya. Dari penjelasan itu ia jadi semakin memahami lika-liku di balik perilaku kerabatnya dengan lebih baik, bagaimana sebetulnya dalam kesehariannya kerabatnya itu memang menunjukkan banyak perilaku yang melambangkan mekanisme pertahanan sesuai yang saya jelaskan.
Masih di forum diskusi tersebut, saya juga menekankan bahwa fenomena seperti itu akan umum mereka temui dalam praktik profesional nanti, bahkan di sepanjang proses berlatih ini fenomena itu akan lebih banyak mereka temui.
Kenapa demikian? Karena mereka masihlah berlatih, sehingga ada tiga faktor yang akan melatari fenomena ini.
Faktor pertama, klien yang menjadi rekan berlatih mereka adalah orang-orang yang sudah cukup mereka kenal, sehingga ada hubungan dualitas (duality relationship) dalam pelaksanaan sesi coaching yang mereka lakukan. Hubungan dualitas ini menjadikan rekan berlatih mereka tidaklah memandang mereka sebagai coach dalam pembicaraan yang berlangsung, melainkan sebagaimana mereka biasanya berinteraksi dalam kesehariannya.
Dalam praktik yang sebenarnya, membersamai klien asing justru bisa menjadi lebih mudah. Hal ini karena tidak ada hubungan dualitas di dalamnya. Baik klien atau pun coach berada di zona yang “netral” dan bisa fokus pada isi pembicaraan tanpa terdistraksi oleh nuansa hubungan yang berlangsung di luar sesi.
Faktor kedua, klien yang menjadi rekan berlatih mereka berada di posisi “nothing to loose“. Arti dari “nothing to loose” di sini maksudnya tidak ada dampak negatif apa pun yang akan mereka alami kalau pun mereka tidak sepenuhnya fokus pada jalannya sesi. Ada elemen “apresiasi” yang tidak sepenuhnya berperan dalam situasi ini.
Berbeda dengan klien yang membayar secara profesional. Mereka merasa sudah mengeluarkan (spending) sesuatu, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya, untuk menjalani sesi. Ada logika “tidak mau rugi” yang menjadikan mereka lebih mengapresiasi proses dan bersedia berupaya lebih optimal untuk menjadikan sesi yang mereka alami bernilai bagi mereka.
Faktor ketiga, para peserta masihlah berlatih. Mereka belum sepenuhnya lancar, luwes dan mengadaptasi keahlian serta “aura” yang diperlukan untuk membersamai klien secara optimal, masih ada gestur “salah tingkah” yang mungkin saja mereka tunjukkan dalam proses berlatih bersama rekan berlatihnya. Hal ini yang sedikit banyak akan mempengaruhi respon dari rekan berlatih, menjadikan mereka tidak sepenuhnya “patuh” pada otoritas coach yang memfasilitasi sesi.
Seiring dengan mereka semakin banyak berpraktik membersamai klien, rasa percaya diri mereka akan terbangun bertahap. Hal ini yang akan membangun otoritas mereka di mata klien dan membangun rasa hormat (respect) klien pada proses yang kita bersamai.
Kembali ke topik utama dari tulisan ini. Sikap logis adalah hal yang baik. Namun ia menjadi baik ketika dioperasikan sebagai sebuah kemampuan untuk memahami keterhubungan di balik berbagai hal dan memahami bagaimana hal-hal itu saling mempengaruhi satu sama lain. Ia menjadi masalah ketika dioperasikan sebagai “topeng” yang malah menjadikan kita “sok logis”, semata agar kita tidak terhubung dengan sisi-sisi dalam diri kita yang menyimpan luka yang belum terselesaikan.
Pergunakan sikap logis ini dengan baik, untuk memahami sisi-sisi dalam diri kita dengan lebih mendalam. Disitulah justru sikap logis ini menjadi sumber daya luar biasa yang membuat kita memahami keterhubungan di balik berbagal yang pernah kita alami di masa lalu sampai masa kini, dan menjadikan kita bisa memahami bagaimana kita sebaiknya bersikap untuk bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum tuntas itu sambil terus meningkatkan kapasitas diri dari waktu ke waktu untuk mewujudkan tujuan pencapaian yang kita harapkan.