Transference & Countertransference Dalam Psikoterapi
Daftar Isi
Banyak sudah tulisan dimuat di website ini yang membahas tentang teknik terapi dan coaching, baik yang bersifat pengetahuan umum tentang dunia terapi dan coaching sampai ke bahasan yang cukup teknis menyoal teknik tertentu, tapi rasanya belum ada tulisan saya yang mengajak para praktisi untuk merenungi tentang dirinya sendiri dalam menjalani peran profesinya.
“Kita tidak bisa membersihkan ruangan dengan sapu yang kotor,” demikian petuah dari guru saya dulu.
Jika ditelaah lebih lanjut, ilustrasi itu sangatlah mengena dengan peran profesi yang harus dijalani seorang Terapis dalam membantu para kliennya.
Terlepas dari peran profesi yang dijalankannya, Terapis juga adalah manusia biasa, yang tentunya tak luput dari permasalahan, dimana hal ini sangatlah manusiawi adanya.
Namun demikian, terdapat situasi dimana permasalahan yang dialami Terapis bisa membawa dampak buruk pada jalannya sesi penanganan klien yang difasilitasinya, yaitu ketika permasalahan dalam diri Terapis justru malah mengkontaminasi jalannya penanganan klien.
Tulisan ini dibuat sebagai bahan renungan bagi para Terapis agar lebih mengenali dirinya sendiri dan menjalani peran profesinya dengan lebih penuh kesadaran, bukan hanya memposisikan dirinya sebagai seorang Terapis bagi kliennya, tapi juga menjadi seorang Terapis bagi dirinya sendiri, menjadikan profesinya sebuah perjalanan untuk menemukan kebijaksanaan sejati dalam dirinya, yang kelak menuntunnya pada sebuah evolusi diri menjadi versi terbaik dirinya.
HAKIKAT TERAPIS YANG MANUSIAWI
Diri kita saat ini terbentuk dari tahunan pengalaman, yang jika dipecah lebih dalam akan berisikan bulan, minggu, hari, jam, menit, dan bahkan detik – yang jika kita coba hitung akan sangat tidak terkira jumlahnya.
Setiap orang memiliki sekitar 60 ribu pemikiran setiap harinya, atau sekitar 1 pemikiran di setiap detiknya, dimana 95% dari pemikiran itu adalah pemikiran yang sama namun dipikirkan berulang-ulang setiap harinya, dan 80% dari pemikiran itu didominasi oleh pemikiran negatif (Fermelia, 2017).
Dengan kompleksnya pengalaman tumbuh kembang yang kita alami, sudah pasti kita memiliki trauma atau luka batin, baik yang kita ingat secara sadar, atau pun yang kita tidak lagi ingat secara sadar namun tetap tersimpan di pikiran bawah sadar (temukan uraian lebih lengkapnya di artikel ‘Terciptanya Masalah di Pikiran Bawah Sadar’).
Adalah merupakan pengalaman yang manusiawi bagi setiap orang untuk memiliki trauma atau pun luka batin, tidak ada yang salah dengan itu. Bahkan bagi seseorang yang hidup di lingkungan yang menyediakan keamanan dan kenyamanan – yang dianggap – sempurna pun tetap saja tidak akan bisa lepas dari trauma dan luka batin ini.
Mengapa bisa demikian?
Meski identik dengan kejadian yang membahayakan, trauma bukanlah sebatas kejadian yang berhubungan dengan peristiwa yang mengancam nyawa kita (Carlson & Constance, 2000), di berbagai bahasan episode podcast yang saya unggah, saya berkali-kali menggambarkan bahwa definisi sederhana trauma atau luka batin versi saya adalah ketika seseorang mengalami kenyataan yang tidak sejalan dengan harapan, hal ini karena adanya naluri dasar yang terlanggar dalam diri kita untuk merasa aman dan nyaman, yang kemudian menimbulkan rasa takut atau kecewa.
Sebagai manusia apakah kita selalu bisa memastikan bahwa kenyataan di luar diri kita selalu sejalan dengan harapan kita? Anda tentu sudah bisa mengira-ngiranya sendiri, atas dasar itulah bisa kita simpulkan bahwa setiap manusia pastilah memiliki trauma atau luka batin, yang berbeda hanya kadar dan dampaknya, ada yang kadarnya kecil dan tidak berdampak signifikan bagi diri kita, ada juga yang kadarnya besar dan berpotensi membuat kita disfungsional karenanya.
Tidak semua trauma dan luka batin ini kita ingat secara sadar karena mungkin saja mereka tersimpan di pikiran bawah sadar; namun meski pun tidak lagi kita ingat secara sadar, isi memori dan emosi yang ada di pikiran bawah sadar – sebagai suatu bentuk energi – terus bergerak secara dinamis, termasuk terkadang naik ke level kesadaran pikiran sadar dan menjadi salah satu dari 80% pemikiran negatif yang dipikirkan/dirasakan secara berulang setiap harinya.
TRANSFERENCE & COUNTERTRANSFERENCE
Jika konten dari memori dan emosi yang membawa trauma ini sekedar naik ke pikiran sadar dan menjadi sebuah pemikiran spontan berulang, maka gejala umum yang muncul darinya bisa sebatas ketidaknyamanan yang sulit dipahami.
Namun lain ceritanya jika ada stimulus eksternal yang terasosiasi dengan kejadian yang menyebabkan memori traumatis itu tercipta, jika ini yang terjadi maka desakan emosional dalam skala yang lebih besarlah yang muncul sebagai reaksi dari pikiran bawah sadar untuk menghindari stimulus yang dianggapnya berpotensi menyebabkannya mengalami kejadian yang menyakitkan seperti yang dialami di masa lalunya.
Stimulus eksternal yang memicu trauma masa lalu ini tidak selalu harus kejadian, bisa juga berupa cerita dan ekspresi dari seseorang yang mengalami kejadian yang sama, dimana ketika kita mendengar seseorang menceritakan kejadian dengan ekspresi tertentu maka cerita dan ekspresi itu mengaktifkan kenangan luka atau truma lama di pikiran bawah sadar dan membuat.
Disinilah fenomena transference dan countertransference berperan dalam diri seorang Terapis.
Transference adalah fenomena ketika klien memproyeksikan emosi tertentu atas diri Terapis karena Terapis dirasa mengingatkannya pada sosok atau kejadian yang pernah dialaminya di masa lalu, sementara countertransference adalah kebalikannya, yaitu ketika Terapis memproyeksikan emosi tertentu pada diri klien karena cerita atau ekspresi klien mengingatkan Terapis pada sosok atau kejadian yang pernah dialami di masa lalu (Overstreet, 2018).
Bahasan lebih jauh tentang fenomena transference dan countertransference ini akan kita ulas di artikel lain yang menyoal fenomena ini, kali ini saya ingin memfokuskan bahasan pada aspek countertransference dan hubungannya dengan kinerja Terapis dalam memfasilitasi sesi terapi pada klien.
Terjadinya countertransference akan mengaktifkan luka atau trauma lama dalam diri Terapis, dimana hal ini akan menimbulkan reaksi ketidaknyamanan, yang di skala tertentu bahkan bisa membuat seorang Terapis disfungsional dalam menjalankan tugasnya.
COUNTERTRANSFERENCE DALAM SESI TERAPI
Ketika countertransference terjadi – sebagai manusia normal – seorang Terapis akan merasakan reaksi traumatis lama muncul, yang biasanya membuatnya terdistraksi dari aktivitasnya memfasilitasi jalannya sesi.
Jika Terapis hanya terdistraksi di skala yang minim dan mampu memegang kendali dirinya dengan optimal maka hal ini tidak akan terlalu menjadi masalah, jika ini terjadi maka sudah menjadi sebuah kewajiban spiritual seorang Terapis untuk setelah sesi berakhir menindaklanjuti lukanya yang terbuka untuk kemudian menyembuhkannya, baik oleh dirinya sendiri atau pun mencari bantuan mentornya yang dirasa kompeten.
Tapi jika Terapis terdistraksi di skala yang cukup mendalam maka hal ini akan mempengaruhi jalannya penanganan yang dilakukannya pada klien, bisa dalam tiga bentuk: (1) Terapis malah jadi disfungsional, emosi traumatis memenuhi dirinya, yang kelak membahayakan dirinya dan klien yang ditanganinya, (2) countertransference mempengaruhi Terapis karena kisah dan ekspresi klien mengingatkannya pada sosok yang dibencinya, ia jadi memperlakukan klien secara negatif dan merusak jalinan hubungan terapeutik (therapeutic alliance) yang terjalin selama ini, (3) countertransference mempengaruhi Terapis karena kisah dan ekspresi klien mengingatkannya pada sosok yang disukainya, ia jadi tertarik pada klien untuk menjalin hubungan pribadi lebih dalam dan melanggar netralitas dalam memfasilitasi jalannya penanganan, atau bahkan malah menjalin hubungan terlarang dengan klien.
Salah satu pengalaman countertransference saya terjadi ketika membantu seorang klien yang mengalami perisakan (bullying).
Sebagai seseorang yang juga pernah mengalami perisakan, reaksi tidak berdaya klien ketika emosi traumatis di kejadian perisakan itu terakses membuat memori sejenis di pikiran bawah sadar saya terasosiasi, saya sejenak limbung karena berbagai memori dan emosi negatif ikut memenuhi diri saya.
Beruntungnya, karena terbiasa mempersiapkan diri dengan latihan mindfulness, distraksi itu tidak berlangsung lama, setelah bisa kembali memegang kendali saya kembali fokus pada penanganan klien sampai masalahnya tertuntaskan dengan aman.
Tapi kejadian itu menjadi tanda bagi saya bahwa ada PR bagi saya untuk membereskan memori traumatis yang terbentuk di kejadian masa lalu saya sendiri, akhirnya dengan berbekal teknik swaterapi yang saya kuasai saya pun menuntaskan emosi negatif yang sempat terakses itu.
Countertransference bukan perkara buruk, ada kalanya ia menjadi reaksi kebalikan dari transference yang klien lebih dulu arahkan pada kita, jika disikapi dengan baik sebetulnya ia akan menjadi petunjuk yang membawa kesembuhan pada kedua belah pihak, klien dan Terapis itu sendiri.
Ketika tidak disikapi dengan baiklah countertransference akan menjadi masalah, ibaratnya kita membedah seseorang namun setelah menemukan sumber masalahnya kita lalu tidak melakukan apa-apa untuk mengobati dan menutup lukanya, malah membiarkan luka itu menganga dan menjalankan aktivitas dengan luka menganga itu.
Luka yang menganga inilah yang akan membawa banyak masalah nantinya, bisa dalam bentuk respon mental, emosional dan/atau perilaku yang disfungsional, menjadi berbeda dari biasanya, sulit berkonsentrasi, sulit menampilkan kinerja optimal, atau bahkan di skala fisik menjadikan Terapis sakit-sakitan dan mengalami penurunan kondisi fisik.
Termasuk yang tidak kalah pentingnya: luka yang menganga itu mempengaruhi medan energi/vibrasi dari Terapis yang kelak memicu banyak kejadian tidak menyenangkan bermunculan di sekitarnya karena medan energinya beresonansi dengan kejadian-kejadian negatif jenis itu.
COUNTERTRANSFERENCE SEBAGAI REAKSI ‘MEMORI LELUHUR’
Apakah countertransference hanya muncul sebagai reaksi dari luka lama dalam diri kita atas pengalaman masa lalu kita?
Meski bukan bahasan umum, saya memandang countertransference sebagai fenomena yang bisa melampaui ruang dan waktu diri kita saat ini, melainkan sebagai fenomena yang juga beresonansi dengan data purba dalam diri kita.
Di strukturnya yang lebih dalam perlu kita sadari bahwa dalam diri kita saat ini tersimpan juga lapisan-lapisan kesadaran lain yang kita bawa dari leluhur kita, yang tentunya membawa data trauma tersendiri.
Ya, diri kita terlahir dari proses pembuahan orangtua kita, dimana kita akhirnya membawa struktur genetik diri mereka dalam diri kita, dalam struktur genetik ini melekat jugalah memori dan bahkan trauma bersamanya.
Memori? Trauma? Bagaimana bisa?
Sebuah penelitian dilakukan di Amerika oleh sekelompok peneliti pada tikus untuk mengetahui cara kerja memori, untuk mengungkap benarkah memori tersimpan di otak, sebagaimana diyakini pada umumnya.
Mereka memasukkan seekor tikus ke labirin dan membiarkan tikus itu menghapalkan rute atau jalan untuk bisa keluar dari labirin tersebut.
Setelah tikus itu hapal dengan rute yang perlu dilaluinya untuk bisa keluar dari labirin tersebut, para peneliti kemudian membedah bagian otak tikus itu dan melepas bagian otaknya yang diyakini mengatur fungsi memori, kemudian memasukkan kembali tikus itu ke dalam labirin tersebut.
Secara logis, seharusnya – dengan tidak adanya bagian otak yang diyakini menyimpan memori – tikus itu tidak mampu mengingat rute untuk bisa keluar dari labirin itu .
Namun yang terjadi ternyata tikus tersebut mampu melalui kembali rute untuk bisa keluar dari labirin tersebut meski bagian otak yang diyakini mengatur fungsi memorinya sudah tidak ada, tubuhnya bergerak secara alami – seperti sebuah gerak reflek – untuk bisa melalui labirin itu sampai ia kembali keluar.
Dari penelitian tersebut para peneliti menyimpulkan bahwa memori bukan sekedar tersimpan di otak, melainkan tersimpan secara holografis – tersebar di seluruh tubuh – menjadi yang disebut memori otot (muscular memory) atau karena ia juga tersimpan di struktur yang lebih kecil (sel) maka sering disebut juga cellular memory.
Lagi-lagi menindaklanjuti bahasan sebelumnya, tidak ada orang yang bebas trauma, begitu juga yang dialami para leluhur-pendahulu kita, pastinya ada trauma yang mereka juga pernah alami di masa lalunya yang kemudian melekat pada sistem memori psikologis dan fisiologisnya.
Trauma – yang melekat pada memori otot – inilah yang kemudian diturunkan pada anak-keturunan, dimana dalam proses pembuahan yang melahirkan seorang anak terjadi proses transfer data DNA dari kedua orangtua dengan segala memori yang melekat padanya, yang kelak bermuara pada anak, dalam dunia psikoterapi hal ini dikenal sebagai intergenerational/multigenerational trauma (Franco, 2021).
Artinya, mungkinkah dalam diri kita saat ini terbawa muatan trauma dan luka lama orangtua, leluhur dan pendahulu kita? Tentu saja, hanya saja karena sifatnya sangat halus dan tersimpan di level kesadaran yang sangat dalam, maka ia tidak banyak terakses, kecuali pada mereka yang memang melakukan perjalanan spiritual ke dalam diri untuk menyelami lapisan-lapisan kesadaran dirinya, biasanya para pelaku perjalanan ini akan banyak terhubung dengan memori purba ini, yang membuatnya banyak terhubung dengan jejak leluhur dalam dirinya, termasuk mengenali luka-luka atau pun pesan yang diamanatkan untuk dituntaskan oleh keturunannya.
Kembali ke bahasan countertransference, apakah mungkin saja memori leluhur ini juga mengalami fenomena countertransference, baik dalam sesi terapi atau pun dalam kehidupan sehari-hari? Dalam pandangan saya tidak ada yang tidak mungkin, bisa saja hal ini terjadi, yang satu ini biarlah kita jadikan bahasan tersendiri untuk kita kupas di lain waktu.
RENUNGAN BAGI PARA TERAPIS
Menyembuhkan diri adalah tugas dan kewajiban moral-spiritual seorang Terapis, agar ia bisa menjalani kehidupan yang kongruen (selaras) dan memfasilitasi layanan yang juga kongruen bagi klien yang dibantunya.
Bukan sebuah kebetulan kita memasuki profesi ini, konsep Wounded Healer (penyembuh yang terluka) yang diangkat oleh Carl Jung mengulas bahwa seorang Terapis menjadi Terapis adalah karena ia sendiri memiliki luka dalam dirinya; dengan kata lain, seorang Terapis adalah seorang penyembuh yang juga membawa luka dalam dirinya.
Hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa 73,9% Konselor dan Terapis adalah mereka yang pernah mengalami luka atau trauma dalam dirinya, dimana luka ini membawa mereka pada pilihan karir menjadi seorang Konselor dan Terapis, karena dengan menekuni profesi ini mereka jadi lebih bisa memahami dirinya sendiri dengan lebih baik (Barr, 2006).
Dalam Psikoterapi klasik, seorang Psikoterapis harus menjalani rangkaian tahunan sesi Psikoterapi dulu dengan pembimbing atau senior yang dipilih untuk mendampinginya, semata agar ia sendiri bisa mengenali dan cukup tersembuhkan sebelum mengawali profesinya.
Mauger (2013) menegaskan bahwa seorang Terapis hanya bisa membawa kliennya sejauh kemana ia sendiri sudah pernah pergi, yang artinya seorang Terapis hanya bisa membantu kliennya mengenali luka dan ruang kesadarannya sejauh ia sendiri sudah mengenali luka dan ruang kesadaran dalam dirinya sendiri; menerima bahwa kita adalah seorang yang terluka tapi juga seorang penyembuh adalah sebuah paradoks yang kita harus terima di profesi ini.
Sebagai seorang Terapis, mari mengadaptasi kesadaran bahwa kita adalah penyembuh yang juga terluka (wounded healer) ini, hal ini akan membantu kita terbebaskan dari ego merasa bahwa kita adalah yang paling hebat dan malah berpotensi membuat kita tidak bisa memahami klien dengan baik.
Sebaliknya, dengan memiliki kesadaran ini kita justru akan jadi lebih bijaksana dalam memandang dan memperlakukan klien, menunjukkan penerimaan tanpa syarat (unconditional acceptance) karena kita tahu bahwa tidak ada yang sempurna, apa pun kondisi yang klien bawa menemui kita, kita menyadari bahwa bukan tidak mungkin kita pun memiliki kendali yang sama, hal ini yang akan menjaga kita tetap rendah hati dalam mendampingi penanganan klien dan selalu memberikan atensi terbaik guna memahami mereka sebaik dan sedalam mungkin.
Tidak lupa, sadari pentingnya countertransference, bukan hanya dalam prosesi Terapi, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Jaga sikap eling, waspada lan sayaga yang membuat kita bisa lebih menyadari (eling) berbagai dinamika pikiran dan perasaan dalam diri kita ketika mampu berinteraksi dengan klien atau siapa pun; mampu mengidentifikasi kemana pikiran dan perasaan kita bergerak (waspada), termasuk ketika ia mengakses memori masa lalu yang ternyata membawa luka lama, namun tetap siaga (sayaga) untuk jangan sampai membiarkan gejolak emosi yang luka itu bawa mengendalikan diri kita.
Yang terakhir dan paling penting, jadikan countertransference sebuah petunjuk untuk kita menyembuhkan diri kita sendiri, untuk semakin mengenali diri kita dan luka yang pernah kita alami, untuk kita tinjau ulang dari sudut pandang masa kini sebagai seorang Terapis, agar bisa kita ambil pembelajarannya sebagai hikmah yang mematangkan evolusi jiwa kita, untuk kelak kita bagikan pada kehidupan di sekitar kita.
Hal ini juga yang mensyaratkan kita untuk terus menambah pengetahuan dan kebijaksanaan dalam menekuni profesi ini dengan terus belajar dan menimba ilmu dari berbagai sumber, tak lain dan tak bukan karena hal ini akan sangat berhubungan dengan cara kita memetik pembelajaran (therapeutic insight) dari berbagai peristiwa yang kita temui, baik dalam diri klien atau pun dalam pengalaman pribadi sehari-hari yang kita jalani.
Penting bagi seorang Terapis untuk memiliki keahlian swaterapi, atau menerapi dirinya sendiri, agar temuan dari countertransference ini benar-benar bisa kita sikapi sampai tuntas. Ingat ilustrasi sebelumnya di atas tadi, countertransference bukanlah hal buruk, namun membiarkan luka lama yang terbuka dari fenomena ini menganga tanpa tertuntaskanlah yang menjadikannya buruk.
Yang tidak boleh dilupakan adalah penting juga bagi seorang Terapis untuk memiliki mentor atau pembimbing yang membantunya menjadi versi yang lebih baik atas dirinya sendiri, bisa dalam bentuk memfasilitasi sesi coaching, konseling atau pun terapi, karena sebaik apa pun keahlian swaterapi yang kita miliki selalu ada saja titik buta (blind spot) yang membuat kita sulit memfasilitasi penanganan yang utuh bagi diri kita sendiri.
Menyembuhkan diri bukanlah sebuah proses yang kita lakukan sekali lalu berhenti, melainkan proses berkelanjutan tanpa henti. Dalam praktiknya, bukan berarti kita harus benar-benar sembuh sempurna baru menjalankan profesi ini, melainkan memiliki kedewasaan untuk menyadari bahwa kesempurnaan bahwa sebagai seorang Terapis kita pun tidak lepas dari kewajiban meyembuhkan diri ini.
Selama kita memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup untuk menjalani profesi ini secara aman dan bertanggungjawab maka mulai saja menjalankannya, namun sambil menjalankannya selalu miliki sikap mental berkesadaran yang siap untuk menyadari berbagai keberadaan luka dalam diri kita sendiri ini; pada waktu yang tepat selalu luangkan diri untuk menyembuhkan luka ini, baik oleh diri sendiri atau pun oleh bantuan mentor.
Sampai kapan proses menyembuhkan diri ini dilakukan sampai kita sembuh sempurna? Pertanyaan menarik jenis inilah yang tidak bisa dijawab dengan jawaban, melainkan dengan pertanyaan lainnya, yaitu: bukankah pada akhirnya kesempurnaan bukanlah hasil, melainkan proses?
Referensi:
Barr, A. (2006). Wonded healer counsellor & psychotherapist research. The Green Rooms. https://www.thegreenrooms.net/wounded-healer
Carlson, E. B & Constance, J. D. (2000). A conceptual framework for the impact of traumatic expereiences. Trauma, Violence & Abuse, 1(1). 4-28.
Fermelia, A. (2017). The One Second Brain Thought [PDF file]. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/315803970_The_One_Second_Brain_Thought
Franco, F. (2021, Januari 8). Understanding intergenerational trauma: an introduction for clinicians. GoodTherapy. https://www.goodtherapy.org/blog/Understanding_Intergenerational_Trauma
Mauger, B. (2013). Chiron in the 21st century: wounder healers today. Irish Association of Humanistic and Integrative Psychotherapy. https://iahip.org/page-1075672
Overstreet, K. (2018, Desember 18). Transference vs. countertransference: what’s the big deal? Therapist Development Center. https://www.therapistdevelopmentcenter.com/blog/transference-vs-countertransference-whats-the-big-deal/
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching, konseling dan/atau psikoterapi? Memerlukan layanan coaching, konseling dan/atau psikoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching, konseling dan/atau psikoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.