Memulai Dengan Menjadi “Manusia Yang Memanusiakan”
Salah satu kebiasaan saya di setiap kelas pelatihan adalah mengalokasikan waktu khusus setelah kelas selesai, kalau-kalau ada peserta yang ingin berdiskusi lebih jauh.
Secara resmi, pelatihan tetap diakhiri di jam yang ditetapkan di rundown, tapi saya masih akan tetap berada di lokasi, kalau-kalau ada yang ingin berdiskusi atau sekedar mengobrol.
Bertahun-tahun sudah kebiasaan itu saya lakukan – kecuali ada jadwal khusus setelah kelas yang memang menjadikan saya harus segera beranjak setelah selesai kelas – sampai bahkan itu menjadi ciri khas.
Bagi mereka yang sudah berkali-kali mengikuti kelas saya bahkan sampai hapal sekali hal itu, sampai-sampai sesi “after-class” itulah yang justru mereka nantikan.
Tentunya hal itu bukanlah tanpa alasan. Bagi saya keikutsertaan peserta di kelas yang saya adakan adalah “amanat”. Ada kepercayaan yang besar yang mereka titipkan di balik keikutsertaannya. Ada waktu, tenaga dan biaya yang mereka sudah percayakan di balik semua itu. Semua hal itulah yang bagi saya ingin saya pertanggungjawabkan.
Meski saya tidak bisa menyenangkan setiap peserta, tapi paling tidak saya berupaya sebaik mungkin memberikan yang terbaik yang saya bisa berikan, salah satunya di waktu after-class tersebut. Dengan dialog yang lebih santai dan format yang lebih bebas, peserta bisa mendiskusikan berbagai hal yang ingin mereka pastikan secara lebih leluasa.
Saya sendiri pernah menjadi peserta, saya ingat betul bagaimana perihnya mengikuti kelas-kelas pembelajaran dulu dengan menahan rasa lapar karena harus menghemat biaya makan, melawan rasa kantuk di malam hari karena mengevaluasi ulang semua yang dipelajari di kelas, menahan rasa rindu pada keluarga yang ditinggalkan berhari-hari, semua itu bisa “ditelan” karena ada misi yang besar untuk mendapatkan manfaat terbaik dari apa yang sedang dipelajari.
Ketika menjadi seorang Pengajar, saya paham bahwa akan ada peserta saya yang berada di posisi seperti saya dulu, maka untuk mereka yang ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya itulah fitur after-class itu saya sediakan. Namun saya juga paham tidak semua orang berada di posisi yang sama. Ada juga yang mungkin memiliki prioritas lain yang tidak kalah pentingnya selepas kelas. Maka itulah kelas tetap diakhiri secara resmi pada jam yang ditentukan, setelahnya peserta bebas menentukan apa yang akan mereka lakukan setelahnya, apakah mengikuti forum after-class atau terus lanjut kegiatan lain.
Sehubungan dengan sesi after-class ini, ada kisah menarik di sesi after-class di hari terakhir pelatihan Resource Therapy Clinical Qualification minggu lalu, dimana salah satu peserta mengajukan pertanyaan menarik, “Sebaiknya memulai dari mana setelah ini.”
Ada pun pertanyaan “memulai dari mana” ini tentu ada konteksnya, yaitu konteks “memulai praktik”.
Pertanyaan yang sangat bisa dipahami. Tiga bulan lebih bergulat dengan pembelajaran yang sarat dengan muatan konseling dan terapi dalam praktik nyata mulai dari sesi pembelajaran online sampai ke sesi pembelajaran tatap muka yang penuh dengan demonstrasi dan sesi praktik tersupervisi, belum lagi bahasan-bahasan mendalam yang betul-betul membedah semua lika-liku praktik dari hulu ke hilir. Meski semua ini membekali begitu banyak pemahaman, tetap saja pertanyaan mendasarnya adalah “Lalu harus memulai dari mana?”
Meski tergelitik untuk memberikan jawaban yang bersifat teknis dan mendetail, hati kecil saya berkata lain, karena bagi saya ada satu hal yang lebih esensial di balik “harus memulai dari mana” ini, yaitu memulai dengan “menjadi manusia yang memanusiakan sesama”.
Namun demikian, saya juga menyadari bahwa jawaban yang terkesan terlalu filosofis pun bisa saja malah menjadi membingungkan dan menjadi nasihat yang “terlalu berat” bagi mereka yang masih bergelut dengan perkara teknis. Maka saya pun memberikan beberapa arahan teknis seputar bagaimana sebaiknya memulai praktik ini, seperti cara menata media pemasaran, cara berlatih teknik yang sudah dipelajari, cara memulai proses membersamai klien di sesi-sesi awal sampai seterusnya, dan masih banyak lagi.
Baru setelah muatan teknis itu disampaikanlah saya kembali pada satu hal yang lebih esensial tadi. Disinilah saya menyampaikan pentingnya mempraktikkan esensi terdalam dari keilmuan konseling dan terapi yang dipelajari dalam bentuk praktik yang paling dasar, yaitu “memanusiakan sesama”.
Apa maksudnya? Sederhananya begini, bagi saya ketika seseorang merasa ia mengalami permasalahan dan mendatangi seorang Konselor atau Terapis, yang terjadi adalah ia sedang mengalami fenomena “putus hubungan (disconnection)” dengan dirinya sendiri, ada sesuatu yang tidak dikenali dalam dirinya yang menjadikannya mengoperasikan pemikiran, perasaan atau perilaku tertentu yang tidak bisa dikendalikannya, yang kemudian menimbulkan permasalahan.
Disinilah Konselor atau Terapis berperan mengembalikan hubungan yang terputus itu (reconnection) agar klien mendapatkan kejelasan atas yang ia alami, dari mana hal itu bermula, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan kembali kendali dirinya, sehingga ia bisa terbebas dari situasi permasalahannya. Meski hal ini akan melibatkan berbagai prinsip dan teknik, namun semua prinsip dan teknik itu tidak akan bekerja jika Konselor atau Terapis tidak memiliki sikap memanusiakan sesama.
Apa saja contoh sikap “tidak memanusiakan” ini? Beberapa contoh yang paling sederhana yaitu “menghakimi” permasalahan klien, mencap klien “bermasalah”, memandang mereka “rendah”, merasa lebih tahu dan lebih baik dari klien, memandang mereka sebagai “objek” sampai-sampai merasa bisa memperlakukan mereka seenaknya dengan teknik-teknik yang akan digunakan nantinya.
Apa pun permasalahan klien, seberapa “aib” pun nampaknya permasalahan itu di mata publik, bukan kapasitas kita untuk menilai dan menghakimi itu. Yang ada di depan kita adalah seorang manusia yang sedang mengalami fenomena disconnection dengan dirinya.
Untuk membantunya terhubung kembali – atau mengalami reconnection – dengan dirinya sendiri, kita sendiri haruslah terhubung dulu dengan prinsip cinta-kasih universal, sikap welas-asih yang memandang sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa dengan derajat yang sama, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi, yang menjadikan kita terhubung dengan mereka di level yang sama. Rasa penerimaan inilah yang akan membuka jalan untuk senantiasa memperlakukan mereka dengan rasa hormat dan keyakinan penuh bahwa selama mereka siap dan bersedia penuh maka perubahan dan kesembuhan adalah suatu hal yang layak mereka dapatkan.
Dalam berbagai sesi demonstrasi di kelas di pertemuan kemarin, beberapa peserta kerap berkomentar bahwa satu hal yang mereka rasa paling sulit untuk mereka kuasai adalah “kesabaran”. Mereka melihat saya bisa sedemikian sabar membersamai subjek demonstrasi yang saya bantu langkah demi langkah, terutama dalam mengeksplorasi sisi-sisi emosional yang tersimpan di lapisan yang lebih dalam di berbagai Bagian dalam diri subjek, hal itulah yang bagi beberapa orang sulit adanya.
Bagi saya kesabaran adalah “akibat”, pastilah ada sesuatu yang melandasi di level yang lebih dalam sebagai “sebab” darinya. “Sebab” dari sabar inilah yang bagi saya mewujud sebagai “cara pandang yang memanusiakan sesama”.
Pernah mengalami sendiri berbagai pergulatan batin dan keterpurukan mental di level yang tidak terkira, saya memahami betul kesulitan yang seseorang alami ketika ia harus memproses gejolak mental-emosional yang selama ini sedemikian diredamnya sampai-sampai tidak disadarinya. Ketika semua itu menyeruak naik ke permukaan sangat bisa dipahami jika hal ini membutuhkan waktu sendiri untuk diproses, hal itu sangatlah manusiawi adanya.
Yes, memahami aspek-aspek yang membentuk sisi “manusiawi” itulah yang menjadi bagian dari “memanusiakan manusia”. Memahami sisi-sisi manusiawi inilah yang menjadikan saya bisa sabar membersamai proses yang berlangsung dalam konseling atau terapi, terutama ketika memasuki proses pelepasan beban dalam diri, yang kerap kali menyita waktu tersendiri.
Manusia adalah makhluk sosial. Bersama setiap beban masalah yang kita rasakan, akan selalu ada rasa “terasing” (isolated) yang menjadikan kita merasa berbeda dari orang lain. Rasa terasing itu saja bisa sedemikian menyiksa dan membuat seseorang merasa kehidupan seolah sedang menghakimi dan menghukumi dirinya dengan begitu kejam. Ketika kita merasakan penerimaan tanpa syarat (unconditional acceptance & positive regards) dari sesama, maka saat itu beban yang menggelayuti itu akan jauh lebih teringankan dan kita pun siap menempuh proses perubahan dengan rasa lebih penuh harap.
Hal itulah yang saya tekankan di arahan penutup saya di sesi after-class minggu kemarin. Sesudah selesai dengan pembelajaran yang peserta lalui, jangan dulu meniatkan ingin langsung mempraktikkan semua yang dipelajari dengan segala aspek teknisnya. Meski hal itu bagus, tidak bisa dipungkiri ada “beban” tersendiri bagi beberapa orang untuk menjalankan hal itu begitu saja, apa lagi kalau masih ada proses yang tidak mereka pahami di dalamnya, yang menjadikan mereka tidak percaya diri.
Yang saya sarankan adalah fokus saja dulu memahami kembali yang sudah dipelajari sebelumnya. Renungkan dan pahami semua itu dari berbagai sudut pandang. Sambil melakukan itu, yang terpenting adalah justru niatkan diri untuk bisa terhubung dengan sesama di sekitar dengan lebih baik.
Ketika berkomunikasi dengan siapa pun di sekitar, rasakan kali ini ada hati yang hangat dalam diri yang ikut terlibat dalam komunikasi itu. Niatkan dalam hati untuk terhubung di level kemanusiaan yang mendalam ketika berkomunikasi dengan sekitar sampai seolah bisa merasakan dan memahami yang mereka rasakan apa adanya. Tujukan dan tunjukkan pemahaman itu dalam bentuk komunikasi yang menghargai dan menghormati kebutuhan emosi mereka.
Intinya: jadilah pribadi yang lebih “terhubung (connected)” dengan sekitar dan memanusiakan sesama manusia di sekitar kita. Ketika berbicara dengan keluarga, tetangga, rekan, pedagang, petugas publik, atau siapa pun itu, cobalah rasakan berbicara dengan mereka dengan lebih connected, menunjukkan sikap apresiasi yang memahami yang mereka alami, rasakan seberapa berbeda interaksi atau pembicaraan itu terjadi kali ini.
Sangat ironis adanya jika pasca mengikuti pembelajaran konseling atau terapi kita lantas memandang sesama dengan penghakiman. Ketika berbicara dengan mereka kita lantas memproses berbagai pemikiran dalam diri kita tentang berbagai kemungkinan “diagnosis” permasalahan yang terjadi pada orang di sekitar kita, seolah mereka adalah orang yang sakit dan kita lebih baik dari mereka karena memahami berbagai pengetahuan yang tidak mereka pahami.
Bagi saya, salah satu indikator keberhasilan pembelajaran terbaik yang bisa ditampilkan seseorang yang mempelajari ragam keilmuan konseling dan terapi justru bukan sebatas dilihat dari caranya mempraktikkan teknik konseling dan terapi yang dipelajarinya, melainkan dari sikap dalam kesehariannya dalam memandang dan memperlakukan sesama.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang konseling-terapi? Memerlukan layanan konseling-terapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari konseling-terapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.