Kinerja Maksimal Dengan Resource State yang Sehat dan Tepat
Daftar Isi
Apa kiranya kunci penting untuk bisa menampilkan kinerja terbaik diri?
Apa rahasia para ‘pribadi unggul’ yang membuat mereka senantiasa mampu merespon tuntutan situasi yang harus dijalaninya di luar dirinya dengan respon yang tepat dan bahkan di atas rata-rata?
Faktor apa yang menjadikan seseorang bisa menikmati segala hal yang dijalaninya sehingga ia bisa melaluinya dengan tenang, penuh rasa syukur dan tanpa beban, meski hal yang dijalaninya mungkin saja dirasa membosankan, mengesalkan, atau mungkin saja dirasa menyebabkan stres bagi kebanyakan orang secara umum?
Tidak bisa dipungkiri, tiga pertanyaan di atas menjadi pertanyaan penting yang kemudian mendasari berbagai penelitian tanpa henti atas studi perilaku manusia, baik dalam bidang psikologi formal atau pun dalam bidang pengembangan diri secara umum.
Ya, bisa kita amati bahwa di balik beredarnya begitu banyak layanan perbaikan dan pengembangan diri di sekitar kita saat ini, baik itu dalam bentuk layanan terapi, konseling, konsultasi, penyembuhan, pelatihan, motivasi, pembimbingan, atau apa pun itu, esensi dari semua program itu pada akhirnya hanya akan bermuara pada tiga peruntukkan:
Pertama, membantu orang-orang yang ‘bermasalah’ dalam menampilkan respon ideal sebagaimana orang lain pada umumnya. Fenomena ini ditampakkan oleh mereka yang memiliki masalah emosi atau perilaku, mereka tidak bisa menampilkan perilaku ideal dalam peran dan situasi yang dijalaninya sebagaimana orang lain di peran dan situasi yang sama itu meresponnya, sehingga mereka dianggap – atau menganggap dirinya – bermasalah.
Sebut saja mereka yang merasa cemas – dan bahkan panik – ketika berada di keramaian, padahal tidak ada hal yang seharusnya mereka cemaskan. Orang-orang di sekitarnya menjalani situasi itu dengan biasa saja – yang menjadikan respon itu bukanlah respon yang wajar untuk ditampilkan orang pada umumnya dalam situasi tersebut.
Hal yang sama berlaku pada masalah fobia, emosi yang tidak terkendali, atau perilaku dan kebiasaan buruk, terdapat suatu gejala ‘ketidakwajaran’ yang ditampilkan seseorang dalam merespon situasi di luar dirinya, dimana orang lain di sekitarnya di situasi yang sama bisa meresponnya secara wajar dan biasa saja.
Dalam konteks yang lebih spesifik, gejala ketidakwajaran ini bisa muncul dalam peran kehidupan spesifik yang seseorang jalani. Misalnya saja seorang suami yang sulit mengendalikan emosinya pada istrinya dan berkali-kali kelepasan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau orangtua yang sulit mengendalikan gejolak emosi pada anaknya dan berkali-kali menghukum anaknya di luar kewajaran sampai si anak mengalami trauma berat, dimana dalam hal ini ‘standar kewajaran’ yang dianggap terlanggar adalah standar kewajaran yang dianggap normal oleh masyarakat atau standar kewajaran yang dijadikan acuan dalam dunia kesehatan.
Gejala ‘ketidakwajaran’ ini bisa juga ditampakkan dalam bentuk ketidakmampuan seseorang dalam menampilkan respon idealnya di bidang karir-profesional yang dijalaninya, seorang pemimpin yang seharusnya bisa mengendalikan emosi dalam mengelola anggota timnya namun ternyata malah terus-terusan menunjukkan perilaku temperamental yang meresahkan misalnya, yang mengakibatkan tingginya turn over atau pergantian staf dan menyulitkan organisasi, dimana dalam hal ini ‘standar kewajaran’ yang dianggap terlanggar adalah standar kewajaran yang dijadikan acuan kinerja oleh organisasi, atau kenyataan bahwa ketidakwajaran ini menyebabkan munculnya permasalahan yang mengorbankan waktu, tenaga dan biaya yang tidak rasional.
Contoh lainnya bisa terjadi pada diri seorang sales atau tenaga penjualan yang terjebak dengan masalah gugup, tidak percaya diri atau sikap tidak representatif lainnya, yang membuatnya tidak bisa menunaikan tugasnya menjual sehingga target perusahaan pun tidak bisa tercapai dengan baik sebagaimana seharusnya.
Bentuk pertolongan untuk menanggulangi aneka permasalahan ini bisa berupa konseling, terapi, atau pun pelatihan, yang ditujukan untuk memperbaiki respon dan kinerja yang dianggap tidak ideal.
‘Perbaikan’ adalah kata kunci dari fenomena yang satu ini.
Kedua, membantu orang-orang untuk bisa menampilkan respon dan kinerja yang lebih baik dalam bidang yang ditekuninya. Berbeda dengan fenomena sebelumnya yang memfokuskan pada ‘perbaikan atas ketidakwajaran’, fenomena kedua ini bisa kita temui dalam bentuk program yang ditujukan untuk membantu agar kita bisa melakukan aktivitas tertentu dengan lebih baik, sehingga kita pun bisa menciptakan kualitas pencapaian yang lebih baik.
Contoh dari hal ini misalnya para sales atau tenaga penjualan yang ingin bisa menjual dengan lebih baik, lebih percaya diri, lebih bersemangat dan sederet kualitas positif lainnya, bisa juga dialami para pebisnis yang ingin bisa lebih bugar, lebih bersemangat dalam menjalani aktivitasnya, atau siapa pun orang-orang yang ingin bisa meningkatkan kinerjanya ke tingkat yang lebih baik.
Dengan kata lain, orang-orang di bahasan kedua ini tidak ‘bermasalah’ sebagaimana mereka yang kita bahas di poin pertama bahasan sebelumnya, mereka hanya ingin ‘naik kelas’ ke tingkat kualitas diri yang lebih baik.
Bentuk-bentuk upaya untuk mewujudkan hal ini bisa kita temui berupa pelatihan, coaching atau pendampingan yang ditujukan untuk meningkatkan penguasaan diri atas kinerja yang ditampilkan.
Ya, ‘peningkatan’ adalah kata kunci dari yang satu ini.
Ketiga, untuk membantu orang-orang untuk bisa menikmati hal, situasi atau aktivitas yang harus mereka jalani.
Meski terdengar unik namun demikianlah adanya, hanya karena seseorang bisa melakukan sesuatu dengan baik tidak selalu berarti mereka menikmatinya, ada kalanya mereka melakukan itu karena keharusan atau semata karena mereka tidak punya pilihan lain.
Bukankah tidak ada masalah berarti dalam hal ini? Untuk jangka pendek mungkin demikian, namun untuk jangka panjang hal ini bisa menjadi ‘bom waktu’ yang menyebabkan penurunan kualitas kinerja, bisa karena jenuh atau mungkin juga karena stres, karena harus terus melakukan hal yang tidak disukai sementara batin muak dan ingin berhenti melakukannya.
Contoh dari hal ini bisa kita temukan pada mereka yang tidak suka melakukan perkara-perkara tertentu namun tuntutan profesi mereka justru mengharuskan mereka untuk melakukan hal tersebut, misalnya saja seorang sales yang suka aktivitas menjual dan tidak bermasalah dalam melakukan penjualan, namun ia tidak suka mengurus berkas administratif yang harus dilakukannya setelah ia berhasil menutup penjualan.
Atau dalam contoh lainnya, orang-orang yang tidak terlalu suka aktivitas ‘bersih-bersih’ namun apa daya mereka berada di situasi dimana tidak ada orang lain yang bisa membantu mereka dalam hal ini, sehingga mengharuskan mereka untuk melakukannya sendiri.
Sering kali mereka yang memiliki ketidaksukaan ini bukanlah mereka yang kinerjanya bermasalah untuk melakukan aktivitasnya, artinya mereka memiliki kemampuan untuk melakukan yang harus mereka lakukan, hanya saja mereka tidak menyukainya.
Apa yang mungkin terjadi jika situasi ini dibiarkan begitu saja secara berkepanjangan dan tidak ada ‘obat stres’ yang biasa mereka lakukan untuk mengalihkan diri dari situasi menjenuhkan tersebut?
Ya, kejenuhan dan stress kronis, bahkan bisa bermuara pada depresi!
Fenomena ini bisa terjadi pada mereka yang sejak awal tidak menyukai aktivitas yang mereka harus lakukan, bisa juga terjadi pada mereka yang sedemikian lamanya melakukan aktivitas tertentu secara berkepanjangan sehingga memasuki titik jenuh.
Program yang banyak beredar di sekitar kita untuk menjawab fenomena ketiga ini pada umumnya berupa pelatihan, kegiatan penyegaran, atau pun konseling yang ditujukan untuk membantu orang-orang untuk bisa menikmati situasi, pekerjaan atau aktivitas yang – baik mereka suka atau tidak – harus mereka jalani, agar mereka bisa menjalani aktivitasnya dengan tanpa beban, penuh pemikiran serta perasaan positif dan terhindar dari stres yang bisa mengganggu kualitas kinerja dan kualitas hidup mereka.
PERAN, SITUASI, AKTIVITAS DAN TUNTUTAN RESPON
Pertama-tama, perlu kita sadari bahwa dalam setiap hari yang kita lalui, bersama setiap situasi dan peran kehidupan yang kita harus jalani, selalu tersimpan ‘tuntutan situasi’ untuk kita penuhi atau kita respon.
Sebut saja dari awal membuka mata di pagi hari, bukankah baru di tahap ini saja sudah ada tuntutan yang harus kita penuhi atau respon, yaitu ‘bersiap bangun dan memulai aktivitas’?
Berlanjut lagi lebih jauh, di aktivitas yang kita jalani sehari-hari pun lagi-lagi tersimpan tuntutan untuk kita penuhi, melakukan segala aktivitas pagi dengan disiplin dan tepat waktu agar segala jadwal yang sudah dibuat bisa terpenuhi pada waktunya misalnya, dan seterusnya dengan sederet aktivitas lainnya.
Lain peran, lain situasi dan lain aktivitas, maka lain juga tuntutan respon yang menyertainya. Mereka yang bekerja, bersekolah, berkuliah, menjadi ibu rumah tangga, menjadi orang tua, menjadi anak, menjadi pimpinan di tempat kerja, atau apa pun itu situasi dan aktivitasnya, tentu masing-masing memiliki tuntutan yang berbeda untuk direspon dan dipenuhi, kita biasa menyebutnya: kewajiban atau keharusan.
Secara umum, ketika seseorang mampu memenuhi tuntutan situasi yang dilakoninya dengan respon yang ideal – sesuai standar kualitas yang pada umumnya berlaku, dan diterima oleh orang-orang secara umum – maka mereka inilah yang dikategorikan sebagai ‘pribadi ideal’, karena mereka menampilkan ‘kewajaran’, mereka mampu menampilkan fungsi ideal dirinya secara wajar (functional) dalam merespon situasi.
Ketika seseorang mampu memenuhi tuntutan situasi ini dengan respon ideal yang melebihi standar orang-orang pada umumnya, maka orang-orang inilah yang biasanya dikategorikan ‘pribadi unggul’, karena mereka menampilkan ‘kelebihan’, mereka mampu menampilkan fungsi ideal dirinya di atas rata-rata umum (exceptional) dalam merespon situasi.
Di sisi lain, ketika seseorang tidak mampu merespon tuntutan situasinya dalam memenuhi standar kewajaran tadi, maka disini muncul ‘ketidakwajaran’, mereka tidak mampu menampilkan fungsi ideal dirinya secara wajar (dysfunctional) sesuai standar yang diharapkan.
Sebagai life coach dan hipnoterapis, peran saya adalah memfasilitasi proses perubahan pada diri mereka yang secara langsung mengutarakan harapannya bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk bisa berpindah zona – dari zona lama ke zona baru – dan mereka siap untuk mengikuti segala ketentuan yang melandasi jalannya proses perubahan.
Disinilah penting bagi kita untuk mampu memetakan kondisi dan kebutuhan spesifik klien atas perubahannya, tepatnya: di zona mana ia sedang berada dan ke zona mana ia ingin menuju.
Bisa berada di zona eksepsional merupakan suatu keistimewaan, hal ini menandakan seseorang adalah ‘pribadi unggul’ atau ‘pribadi di atas rata-rata’ karena ia mampu merespon situasi atau menunjukkan perilaku dan kinerja yang lebih baik dari orang lain pada umumnya.
Kita belum akan fokus membicarakan zona yang satu ini, melainkan fokus dulu mengulas zona ideal atau fungsional, zona dimana seseorang bisa menjalankan fungsi dirinya secara ideal dan memenuhi standar kualitas kewajaran yang ada di situasi yang dilakoni dalam aktivitas sehari-harinya.
Tanpa bermaksud menggeneralisasi – dari apa yang saya alami, lebih banyak klien yang datang dan menjalani penanganan adalah mereka yang datang dengan kebutuhan untuk berpindah dari zona disfungsional ke zona fungsional, mereka bergelut dengan suatu permasalahan dalam dirinya yang mereka tidak bisa pahami dan tidak bisa mereka kendalikan, dimana masalah itu membuat mereka berada di zona disfungsional karena tidak mampu menampilkan fungsi idealnya dalam memenuhi tuntutan situasi yang harus dijalaninya.
Hal ini cukup bisa dimaklumi karena mereka yang berada di zona fungsional sudah dikategorikan menjalani hidup yang ‘aman-nyaman’, zona eksepsional tidak selalu menjadi tujuan dari mereka yang sudah berada di zona fungsional, kecuali bagi mereka yang memang memiliki motivasi dan kesenangan tersendiri dalam bidang yang dijalaninya.
Lain dengan zona disfungsional, mereka yang berada di zona ini jelas merasakan kegelisahan karena ketidakmampuan mereka untuk bisa menunjukkan kewajaran atau menunjukkan perilaku ideal yang sedianya bisa mereka tunjukkan dalam situasi yang dijalaninya.
Zona disfungsional adalah zona yang menyiksa, orang-orang yang mengalaminya sadar respon yang mereka tampilkan di tuntutan situasi yang dihadapinya bukanlah respon yang ideal, mereka sadar bahwa mereka tidak bisa menampilkan fungsi idealnya dalam merespon situasi dan mereka juga sadar betapa semua itu merugikan, namun apa daya mereka bergelut dengan ketidakberdayaan untuk mengatasinya.
STATE, KUNCI RESPON IDEAL
Sekali lagi, para pribadi yang dikategorikan ‘normal’, ideal dan bahkan unggul adalah mereka yang mampu merespon tuntutan situasi di luar dirinya dengan respon ideal yang sejalan dengan standar kewajaran yang harus dipenuhinya – dan kemudian melampauinya, sampai menjadi unggul.
Jika demikian, bukankah pertanyaan utamanya adalah: dari mana respon ini bermula, dan bagaimana agar kita bisa menghasilkan respon yang ideal ini kapan pun diperlukan?
Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan baru, melainkan sudah menjadi topik umum dalam dunia psikologi formal dan dunia pengembangan diri yang mengulas studi perilaku serta kinerja manusia, betapa berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai disiplin keilmuan tersebut pada akhirnya ditujukan untuk mencaritahu cara agar manusia selalu bisa menampilkan fungsi idealnya di situasi yang mensyaratkannya.
Bagaimana agar mereka yang mengalami fobia bisa merespon obek yang menakutkannya dengan biasa saja seperti orang lain pada umumnya?
Bagaimana agar orang-orang yang mengalami kesulitan mengendalikan respon perilaku otomatis yang merugikannya bisa lebih mengendalikan respon perilakunya?
Bagaimana agar orang-orang yang sulit menampilkan fungsi ideal dalam apa pun yang dikerjakannya jadi bisa menampilkan fungsi idealnya?
Ya, pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi ragam pertanyaan yang seolah diturunkan dari generasi ke generasi, sampai akhirnya setelah sekian lamanya pertanyaan itu pun akhirnya terjawab sekarang.
Silakan garisbawahi kalimat di bawah ini dan jadikan dia pedoman dalam meresapi isi artikel ini, dan bahkan menjadikan kalimat ini cara pandang utama Anda kelak dalam memahami kunci respon ideal:
“Kunci di balik segala respon yang ideal adalah STATE yang tepat.”
Sudah menggarisbawahinya? Tunggu dulu, jadi apa yang dimaksud state ini? Mengapa terdengar seperti bahasa asing?
Betul sekali, karena state memang frasa dalam bahasa Inggris, saya tetap menggunakan kata state dalam bahasan ini karena memang frasa ini tidak ada terjemahan spesifiknya dalam bahasa Indonesia.
Istilah ‘state’ mulai populer dalam dunia transformasi dan pengembangan diri yang bisa diikuti orang awam melalui keilmuan Neuro-Linguistic Programming (NLP) yang berkembang di Amerika pada tahun 1970-an (silakan membacanya di artikel ‘Selayang Pandang NLP dan Time Line Therapy®‘ dan ‘State, Faktor Penentu Perilaku dalam NLP‘)
Bukan berarti keimuan NLP adalah yang pertama menggunakan istilah state, namun karena NLP adalah teknik psikologi-transformasi yang bisa dipelajari oleh masyarakat umum dan pembelajarannya sedemikian populer menyebar ke berbagai penjuru dunia, diikuti oleh berbagai jenis kalangan yang semakin mempopulerkannya satu sama lain, maka istilah state seolah lebih sering dilekatkan pada keilmuan ini.
Jadi apa itu state? Mari pertama-tama memahaminya dulu melalui sebuah ilustrasi sederhana di bawah ini.
Bayangkan Anda sedang berharap-harap menantikan sebuah kabar membahagiakan. Apa daya, setelah sekian waktu menanti kabar yang diperoleh justru bertolakbelakang dengan harapan, Anda pun kecewa dan sedih karenanya, mode kecewa dan sedih yang muncul inilah yang kita maksudkan sebagai state.
State sedih ini lalu membuat Anda berjalan lunglai, lesu, tidak bersemangat, tatapan mata kosong, tubuh sedemikian ‘mengkerut’ dan Anda merasa tidak bergairah untuk berbicara dengan siapa pun.
Beberapa menit berlalu kemudian tiba-tiba Anda mendapat kabar mengejutkan, kejaiban terjadi dan Anda pun memperoleh kabar membahagiakan yang sesuai harapan Anda, Anda pun larut dengan rasa senang dan gembira, mode senang dan gembira ini juga adalah state.
Dengan state baru ini Anda tiba-tiba bersemangat, tatapan mata menyala-nyala dan begitu bergairah untuk berbicara dan menyemangati orang lain, seolah Anda menjadi pribadi yang begitu berbeda.
Apakah berarti state itu sama dengan perasaan? Bisa ya, namun tidak sepenuhnya begitu, hal ini dikarenakan state melibatkan struktur yang lebih dari sekedar perasaan, melainkan juga pemikiran dan respon fisiologis yang terhubung dengan perasaan tersebut, hasil dari semua itulah yang membentuk keberadaan sebuah state.
Normalnya, kita tidak bisa ‘sedih tanpa sebab’, ada serangkaian proses berpikir yang terjadi dalam benak kita akan hal yang tidak sesuai harapan, yang pada akhirnya memicu kemunculan perasaan sedih tersebut, begitu juga kita tidak bisa merasa ‘senang tanpa sebab’, ada serangkaian proses berpikir yang terjadi dalam benak kita akan hal yang berjalan sesuai harapan, yang pada akhirnya memicu kemunculan perasaan senang tersebut.
Tadi sempat disebutkan mengenai Respon fisologis, apa maksudnya? Sederhananya begini, amati saja orang yang sedang dilanda kesedihan, bukankah Anda bisa menyadari bahwa mereka menampilkan postur dan bahasa tubuh yang khas, yang mencerminkan perasaan sedih dalam dirinya? Bandingkan postur dan bahasa tubuh mereka yang dilanda kesedihan itu dengan mereka yang justru sedang merasa gembira, adakah perbedaan di antara keduanya?
Anda tidak harus menjadi seorang Terapis, Konselor atau Coach untuk menyadari perbedaan bahasan tubuh yang ditampilkan oleh state yang berbeda tersebut, respon fisiologis yang muncul dari kedua state tersebut bersifat alami dan bisa disadari oleh orang awam sekali pun.
Mari kembali ke kalimat kunci yang sempat kita ulas pada bahasan sebelumnya: kunci di balik segala respon yang ideal adalah state yang tepat; pertanyaannya adalah bagaimana hal ini bisa terjadi? Ada hal apa yang menghubungkan state sampai ia bisa menjadi respon ideal?
Untuk menjawabnya, mari menggunakan contoh yang sederhana, yaitu yang dialami oleh mereka yang mengalami fobia, dimana mereka kehilangan kendali dirinya dan tidak bisa menjalankan fungsi ideal diri ketika mereka dihadapkan pada stimulus yang berhubungan dengan masalah fobianya, sementara orang lain pada umumnya merespon dengan biasa saja.
Bayangkan seseorang yang mengalami fobia pada kucing, ketika ia berhadapan dengan kucing ia lantas merespon dengan tidak terkendali; nafasnya memburu, tubuhnya berontak ingin kabur, ekspresi wajahnya pucat, detak jantungnya tidak beraturan, semua itu bersumber dari satu perasaan yang tidak bisa dibendungnya dalam dirinya: takut yang tidak terkendali, yang membuatnya memasuki zona disfungsional.
Takut? Bukankah itu state? Tentu saja, state itulah yang menjadikan munculnya respon perilaku hilang kendali dalam diri orang itu ketika menghadapi kucing tersebut. Sementara itu, orang lain yang tidak punya masalah fobia apa pun pada kucing bisa merasa biasa/normal saja dan akhirnya bisa membantu mengusir kucing itu agar ia tidak mengganggu orang yang mengalami fobia itu.
Dua orang yang mengalami stimulus atau situasi yang sama, namun dengan state yang berbeda, bisa kita amati bahwa hasil akhir dari respon perilaku dari keduanya pun berbeda.
Saya sering kali mengumpamakan state sebagai sebuah ‘mode’ yang mengoperasikan respon perilaku diri kita, sebagai sebuah mode maka ia memiliki cara kerja yang khas, yang kelak akan melahirkan respon yang sejalan dengan karakternya.
Dalam posisinya sebagai sebuah ‘mode’ yang aktif di dalam diri, state ini aktif seiring dengan stimulus atau situasi yang kita alami di luar diri kita, aktifnya state ini menghasilkan respon perilaku sesuai dengan jenis state yang aktif.
Lain situasi yang sedang kita alami, lain juga jenis state yang aktif meresponnya, maka lain juga respon perilaku spesifik yang muncul dari state yang aktif ini.
Dalam hubungannya dengan respon ideal atau kinerja ideal, sebuah respon dikategorikan ‘normal’ atau ideal untuk merespon situasi jika respon ini sesuai dengan tuntutan situasi, di sisi lain kemunculan respon sangat bergantung pada jenis state atau mode yang aktif dalam diri kita, jika mode atau state yang aktif dalam diri adalah state yang tepat untuk mengimbangi tuntutan situasi di luar diri, maka respon yang muncul pun akan sesuai, itulah mengapa saya mengatakan bahwa kunci di balik segala respon yang ideal diawali dari aktifnya state yang tepat.
Orang-orang yang berada di zona disfungsional bukanlah ‘orang disfungsional’, mereka hanyalah terjebak di state yang tidak tepat untuk merespon situasi di luar dirinya. State yang mereka miliki tidak sesuai atau tidak memadai untuk bisa menampilkan fungsi ideal dirinya, ketika mereka bisa berada di state yang ideal, state yang sesuai untuk merespon dan menampilkan fungsi ideal dirinya sesuai dengan tuntutan situasi di luar dirinya maka mereka pun berpindah ke zona fungsional.
Segala bentuk penanganan masalah emosi dan perilaku dalam sesi konseling dan psikoterapi pada akhirnya ditujukan untuk bisa membantu seseorang berpindah dari state disfungsionalnya ke state yang fungsional sehingga mereka bisa menampilkan respon ideal dirinya sesuai tuntutan situasi yang ada.
Begitu juga mereka yang berada di zona eksepsional, adalah mereka yang pada dasarnya bisa berada di state yang tepat untuk menampilkan fungsi di atas rata-rata, state yang dimilikinya bukan hanya tepat, namun juga ‘terlatih’, sampai bisa menunjukkan kinerja di atas rata-rata.
STATE & BAGIAN DIRI (PERSONALITY PARTS)
Ketika seseorang mampu berada di state yang tepat, yang memadai untuk merespon dengan tepat tuntutan situasinya, maka saat itulah ia menjadi pribadi ideal atau ‘normal’ dan berada di zona fungsional.
Sebaliknya, ketika seseorang berada di state yang tidak tepat, yang tidak bisa menghasilkan respon ideal untuk bisa memenuhi tuntutan situasi di luar diri, maka dalam hal ini ia sedang menunjukkan ‘ketidakwajaran’, yang kemudian menempatkannya di zona disfungsional.
Pertanyaan pentingnya adalah: apa yang melatari munculnya state tersebut? Bagaimana bisa sebuah stimulus atau situasi spesifik yang sama mengaktifkan state yang berbeda dalam diri setiap orang sehingga mereka merespon dengan cara berbeda?
Pertanyaan ini mau tidak mau akan mengajak kita untuk memahami konsep yang lebih dalam dari state dan ‘Bagian diri’, atau dalam istilah dunia psikoterapi disebut sebagai: personality parts.
Kita sudah memahami sebelumnya bahwa state tak ubahnya adalah sebuah ‘mode merespon’, yang perlu kita pahami di bahasan kali ini adalah bahwa state bukanlah sebatas mode merespon, melainkan juga melambangkan ‘mode psikologis’ atau ‘mode kepribadian’ yang terbiasa aktif di suatu situasi tertentu untuk merespon situasi tersebut.
Mengapa dikatakan sebagai ‘mode kepribadian’? Contoh sederhananya begini, ketika kita sedang fokus membicarakan suatu hal serius dan kita berada dalam mode atau state ‘Serius’ tentu kita bisa merasakan betapa mode berpikir kita dalam merespon informasi di luar diri kita pun cenderung serius adanya, namun begitu kita dalam mode atau state ‘Santai’ maka cara kita merespon dunia pun cenderung menjadi lebih santai adanya, seolah di dua situasi itu kita sedang menampilkan dua kebiasaan berpikir atau kepribadian yang berbeda.
Mode psikologis yang aktif inilah yang saya katakan melambangkan kepribadian (personality), ketika kita sedang berada di mode atau state tertentu kita bisa menunjukkan kepribadian yang berbeda dengan ketika kita berada di mode atau state lainnya, dalam skala ekstrim beberapa orang seolah bisa menjadi ‘pribadi yang berbeda’.
Contohnya saja, seseorang yang dikenal penyabar bisa membuat lingkungannya terkejut sekali ketika suatu waktu ia marah besar dengan sedemikian murkanya dan kemudian meluapkan kemarahannya dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka oleh lingkungan dekatnya karena sedemikian berbeda dan tidak seperti dirinya yang biasanya.
Apakah ia berganti kepribadian? Saya tidak mengatakan demikian, saya lebih suka menyebutnya berganti ‘mode kepribadian’. Karena suatu hal yang tidak bisa ditolerirnya, state atau mode ‘Penyabar’-nya bisa seolah ‘hilang’ dan berganti dengan state ‘Murka’ yang selama ini tidak pernah diperlihatkan, ingat: berganti state maka berganti juga perilaku.
Sebagai ‘mode psikologis’ atau ‘mode kepribadian’, aktifnya sebuah state bisa membuat seseorang menampilkan perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan ketika ia sedang berada di state lainnya, perlu kita sadari bahwa hal ini bukan menandakan kita memiliki kepribadian ganda, melainkan sebatas kita sedang berada di mode kepribadian yang berbeda, hal ini karena dalam diri kita sudah terbentuk berbagai jenis mode kepribadian atau jenis-jenis state melalui riwayat pembentukan spesifiknya masing-masing, dimana para mode atau state itu kelak aktif bergantian sesuai tuntutan situasi yang kita sedang lalui.
Pada akhirnya, setiap mode atau state yang terbentuk melalui proses tumbuh-kembang dan pengalaman masa lalu dalam diri kita akan seolah memiliki fungsi dan tugas spesifiknya masing-masing, lain situasi maka lain juga mode atau state yang terbiasa aktif untuk meresponnya, mereka tak ubahnya menjadi ‘Bagian-Bagian Kepribadian’ (personality parts), atau bisa juga disebut sebagai ‘Bagian Diri’, dengan fungsinya masing-masing yang membentuk keseluruhan respon perilaku dan kepribadian diri kita.
Di balik aktifnya sebuah state atau mode psikologis yang bersifat difsungsional dalam diri dan menyebabkan kita tidak bisa menampilkan fungsi ideal diri dalam merespon tuntutan situasi, maka tersimpan juga personality parts yang mewakili kualitas state ini, kondisi personality parts yang bersifat disfungsional inilah yang mewakili munculnya state yang disfungsional dan membuat seseorang berada di zona disfungsional.
PERSONALITY PARTS & RESOURCE STATE
Jika tadi kita sudah membicarakan bagaimana sebuah state terbentuk di masa lalu sampai menjadi sebuah kebiasaan merespon di masa kini, kali ini kita akan kembangkan pemahaman itu lebih jauh menjadi bagaimana sebuah personality parts yang terhubung dengan state ini terbentuk.
Sudah kita bahas sebelumnya bahwa setiap mode atau state yang terbentuk dalam diri kita melalui pengalaman masa lalu akan memiliki fungsi dan tugas spesifik masing-masing sesuai dengan kebiasaan para mode kepribadian itu ketika mereka dulunya terbentuk untuk merespon situasi yang kita alami. Dengan kata lain, dalam diri kita terdapat berbagai jenis ‘Bagian Kepribadian’ dengan fungsi dan tugas spesifiknya masing-masing, yang tadi sudah kita kenal dengan istilah ‘Bagian Diri’.
Dengan fungsi spesifik masing-masing yang kelak membentuk satu kesatuan utuh diri kita pada akhirnya, para Bagian Diri ini idealnya bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dan secara harmonis satu sama lain, ketika Bagian Diri ini tidak bekerja sesuai fungsinya atau tidak harmonis satu sama lain, maka muncullah gangguan atau kondisi disfungsional dalam diri kita.
Untuk memudahkan memahaminya, bayangkan sebuah organisasi dimana di dalamnya berisikan divisi-divisi dengan tugas spesifik, ketika para divisi di dalamnya bekerja harmonis maka harmonis jugalah sistem operasional organisasi, itulah perlambang dari Bagian Diri, ketika salah satu dari divisi ini kacau cara kerjanya maka sistem organisasi pun akan terpengaruh, itulah perlambang ketika cara kerja satu atau lebih Bagian Diri dalam diri kita terganggu fungsi/cara kerjanya, ia mempengaruhi keseluruhan fungsi ideal seseorang dalam menjalani kehidupan.
Secara psikologis, selalu terdapat Bagian Diri spesifik yang aktif di balik setiap state dan respon perilaku kita. Setiap kali kita berada di ‘mode’ tertentu dan melakukan aktivitas tertentu, maka saat itu juga Bagian Diri tertentu sedang aktif dalam diri kita dalam mode atau state tersebut dan menjalankan tugasnya melakukan aktivitas yang kita lakukan.
Menjalankan tugas? Ya, setiap Bagian Diri kita memiliki tugas spesifik untuk ditampilkannya sesuai dengan tuntutan situasi, mereka adalah sumber daya (resource) bagi kita, oleh karena itu juga mereka layak disebut Resource State.
Dalam masa tumbuh kembang kita sejak kecil, kita belajar untuk merespon stimulus di luar diri dengan mekanisme tertentu, dimana proses belajar ini kemudian membentuk ‘state’, yang kemudian membentuk pola atau kebiasaan otomatis. Dalam kelanjutan proses tumbuh kembang ini ada banyak hal yang kita pelajari untuk bisa kita lakukan dan kuasai sampai terbentuk menjadi berbagai keahlian, kebiasaan atau respon otomatis ini, tak ubahnya kumpulan dari ‘mode merespon’. Bersamaan dengan terbentuknya mode merespon ini maka secara psikologis terbentuk juga keberadaan Bagian Diri (personality parts) atau Resource State spesifik yang mewakili fungsi state atau mode merespon ini.
Secara fisiologis, proses penguasaan keahlian dan pembentukan respon otomatis ini menciptakan jalinan syaraf yang terbentuk dari akson dan dendrit serta tembakan sinaps yang berlangsung dalam otak, yang terbentuk berulang sampai menjadi sebuah pola spesifik di dalam otak.
Ketika kita perlu melakukan suatu hal secara spesifik yang sudah kita kuasai atau biasa lakukan maka kita otomatis mengakses sumber daya (resource) yang sudah ada tersebut dan berada di ‘mode kepribadian’ Resource State tersebut sesuai tuntutan situasi itu selama diperlukan, sehingga Resource State itu pun aktif secara otomatis sebagai sebuah mode merespon atau mode kepribadian kita.
Ketika kita perlu melakukan suatu hal baru yang belum kita kuasai secara luwes maka kita mempelajari hal tersebut sebagai respon baru, dimana pembelajaran ini menciptakan jalinan syaraf baru dalam otak, sampai penguasaan atas hal baru ini pun menciptakan pola respon baru, disinilah pola baru dalam merespon atau melakukan hal baru ini lambat laun menjadi sebuah mode kepribadian baru atau Resource state baru di pikiran bawah sadar. Demikian seterusnya sampai dalam diri kita terbentuk berbagai jenis Resource State dengan mode dan fungsi spesifiknya masing-masing.
Sebagai sumber daya, setiap Resource State idealnya aktif sesuai tugas spesifik dan fungsinya di situasi yang mensyaratkannya untuk tampil. Saat ini terjadi maka seseorang akan berada dalam mode atau state yang tepat dan mampu menampilkan respon atau kinerja ideal sesuai dengan tuntutan situasi yang harus dipenuhinya.
Kita bisa mengumpamakan hal ini dengan: ‘diberikannya tugas yang tepat, pada orang yang tepat, dengan keahlian yang tepat’, terciptalah keselarasan yang menghasilkan kinerja ideal.
Maka kali ini – dengan satu pemahaman baru yang sudah Anda dapatkan tentang Resource State – mari kita sesuaikan kalimat sebelumnya yang kita jadikan acuan kunci respon ideal:
“Kunci di balik segala respon perilaku yang ideal adalah aktifnya RESOURCE STATE yang tepat di tempat dan waktu yang tepat.”
Terdengar sederhana? Tentu, namun disini juga terletak perkara yang menjadikannya justru tidak sederhana, masalahnya yaitu: tidak semua Resource State aktif secara ideal untuk menjalankan tugasnya.
Contohnya saja, bayangkan seseorang yang harus tampil berbicara di depan umum, Resource State apa yang idealnya aktif agar orang ini bisa tampil berbicara di depan umum dengan ideal?
Betul, bisa Resource State ‘Tenang’, ‘Percaya Diri’ atau Resource State dengan konotasi positif sejenis lainnya, lantas apa yang akan terjadi ketika Resource State yang yang aktif ketika orang ini tampil berbicara di depan umum justru Resource State ‘Takut’, ‘Grogi’, ‘Minder’, ‘Cemas’, atau Resource State dengan konotasi negatif sejenis lainnya?
Tanpa harus menceritakannya pun Anda tentu sudah bisa menebak sendiri seperti apa hasilnya: kondisi disfungsional dimana seseorang tidak bisa menampilkan respon ideal di situasi yang mensyaratkannya.
Mari sadari betapa semua itu bisa terjadi hanya karena hal sederhana: aktifnya Resource State yang tidak tepat, di situasi yang tidak tepat.
RESOURCE THERAPY & KINERJA IDEAL
Luar biasa bukan? Betapa rentetan bahasan yang cukup panjang, yang Anda ikuti sedari tadi hanya bermuara ke sebuah kesimpulan sederhana:
- Kunci kinerja ideal adalah aktifnya Resource State yang tepat di waktu dan tempat yang tepat yang membutuhkan fungsi idealnya.
- Kinerja disfungsional terjadi karena aktifnya Resource State yang tidak tepat, di waktu dan tempat yang tidak tepat.
- Kinerja eskespsional terjadi karena aktifnya Resource State yang tepat, yang terlatih menjalankan tugasnya di waktu dan tempat yang sesuai dengan peruntukkannya.
Meskipun sekarang hal ini terdengar sederhana, hal yang dikatakan sederhana ini tidak akan bisa dipahami dengan sesederhana ini tanpa melewati semua pemahaman dasar yang mendahuluinya tadi.
Bagaimana bisa sebuah Resource State kesulitan menjalankan tugas sesuai fungsi idealnya dan malah menghasilkan mode disfungsional? Pada dasarnya terdapat tiga kondisi umum yang menyebabkannya:
- Resource State yang aktif bukan Resource State yang sehat, melainkan Resource State yang berada dalam mode terluka dan disfungsional.
- Resource State yang aktif bukan Resource State dengan fungsi yang tepat, seperti seorang yang keahliannya adalah bermain namun tiba-tiba ia disuruh berpikir analitis dan bekerja serius, yang jelas-jelas bukan keahliannya, ia tidak menyukai yang dilakukannya dan memang itu bukan keahliannya, ia pun berada dalam mode ‘salah tingkah’.
- Terdapat dua Resource State yang malah ingin aktif secara bersamaan, membuat kita dilema, seperti ada dua Bagian dalam diri yang saling berkonflik satu sama lain dan menyiksa diri kita.
Ketiga fenomena di atas adalah hal-hal yang menjadikan seseorang berada di zona disfungsional, dimana penanganan pada ketiga fenomena di atas bisa dilakukan dengan menggunakan Resource Therapy & Counselling (RTC) sebagai modalitasnya.
Catatan: Anda dipersilakan membaca artikel ‘Selayang Pandang Resource Therapy‘ untuk menemukan bahasan lebih lanjut seputar keilmuan ini.
Zona fungsional mengacu pada aktifnya Resource State yang tepat di tempat yang tepat dan waktu yang tepat, sesuai tuntutan situasi yang mensyaratkannya, sementara zona eksepsional mengacu pada aktifnya Resource State yang ‘terlatih’ di atas rata-rata, di tempat dan waktu yang tepat.
Terlatihnya Resource State yang aktif menampilkan tugasnya inilah yang menjadikan kita mampu menampilkan kinerja tertentu di atas rata-rata dibandingkan mereka yang Resource State-nya hanya menampilkan kinerja rata-rata seperti orang kebanyakan.
Maka sekarang pertanyaannya adalah: bagaimana Resource State bisa terlatih sehingga mereka kelak mampu menampilkan kinerja eksepsional di atas rata-rata?
Saya biasa menerangkannya dalam dua aturan emas sederhana berikut ini:
Syarat pertama sebuah Resource State untuk bisa menampilkan kinerja eksepsional adalah mereka haruslah Normal Resource State, artinya mereka bukan Resource State yang mengalami mode patologi (bahasan lebih lengkap tentang jenis patologi atau luka yang dialami Resource State bisa ditemukan di artikel ‘Resource Therapy Diagnosis‘), yaitu:
- Ketika aktif mereka tidak membawa bekas luka masa lalu yang membuat mereka mengeluarkan reaksi emosional atau perilaku disfungsional (bukan Vaded atau Retro State).
- Resource State aktif sesuai dengan peran dan fungsinya yang sejalan dengan tuntutan situasi mereka aktif karena mereka suka dan bisa menunaikan tugasnya (bukan Dissonant State).
- Tidak ada Resource State lain yang ingin turut serta aktif dalam satu waktu yang menganggu Resource State utama yang seharusnya aktif (bukan Conflicted State).
Ketika kita mendapati Resource State yang aktif adalah Resource State yang membawa kondisi patologi, maka prioritas pertama kita adalah mengembalikan dulu mereka ke kondisi normalnya agar kita bisa menampilkan kinerja ideal yang sesuai dengan tuntutan situasi yang mensyaratkannya, dan memang untuk keperluan itulah RTC didesain.
Syarat kedua yaitu Normal Resource State tersebut harus mendapatkan kesempatan melatih kemampuannya atau mendapatkan repetisi yang memadai agar ia bisa bertumbuh di atas rata-rata.
Resource State adalah wujud psikologis dari jalinan syaraf yang terbentuk dari akson dan dendrit serta tembakan sinaps dalam otak, ketika Resource State mendapatkan kesempatan yang memadai untuk melatih kemampuannya maka jalinan syaraf ini pun menebal, yang membuat seseorang akhirnya mampu menjalankan aktivitas yang diwakili oleh aktifnya Resource State itu dengan semakin baik.
Sebagaimana saya meyakini tidak ada pribadi disfungsional, namun hanya ada pribadi yang terjebak dengan state yang bersifat disfungsional, begitu juga para pribadi eksepsional, adalah pribadi dengan Resource State eksepsional yang memenuhi dua aturan emas di atas.
Namun demikian, sebuah respon bisa dikatakan fungsional tentu karena ada acuan pembandingnya, yaitu karena adanya acuan bersama yang dijadikan standar kewajaran, ketika seseorang mampu menampilkan respon kinerja ideal sesuai standar kewajaran yang disepakati itulah baru ia dikatakan sebagai pribadi ideal. Begitu juga dengan kinerja eksepsional, baru bisa dikatakan sebagai kinerja eksepsional karena adanya tolak ukur pembanding, yaitu apa yang disepakati sebagai acuan bersama sebagai tolak ukur kinerja normal, ketika seseorang bisa melampaui acuan itulah baru ia bisa dikatakan menampilkan kinerja eksepsional.
Lain bidang yang kita tekuni di lingkungan yang berbeda, maka lain juga tolak ukur pembanding yang digunakan untuk menilai kinerja yang ditampilkan orang-orang yang bergelut di dalamnya, maka itu kita tidak akan mengulas bagaimana sebuah kinerja dikatakan eksespional secara spesifik di bidang tertentu, melainkan fokus pada bahasan utama kita:
“Kunci di balik segala respon perilaku eksepsional adalah aktifnya Resource State eksepsional di tempat dan waktu yang tepat.”
Anda bebas memfokuskan bahasan ini pada aspek apa pun yang Anda ingin tingkatkan, entah itu untuk menciptakan kinerja penjualan yang lebih baik, kinerja olahraga yang lebih baik, atau apa pun itu, yang jelas prinsip yang kita garisbawahi tetap sama: bagaimana menciptakan cara kerja Resource State yang eksepsional untuk mewujudkannya, dengan mengikuti aturan emas yang sudah kita bahas tadi:
- Tentukan perilaku atau aktivitas spesifik yang kita ingin tingkatkan kualitasnya menjadi eksepsional.
- Sadari kualitas dari perilaku atau aktivitas spesifik yang saat ini kita tampilkan tersebut, adakah keterlibatan Resource State Pathology saat menampilkannya, jika ada maka penting untuk menormalkan dulu kondisi patologi tersebut.
- Sadari Resource State yang cocok untuk aktif menampilkan perilaku atau aktivitas spesifik tersebut, jika ada. Jika belum ada maka kita bisa menugaskan Resource State yang kita minta untuk mempelajari aktivitas atau perilaku spesifik tersebut.
- Tahapan berikutnya selepas kita mendapatkan Resource State yang sesuai untuk menampilkan atau mempelajari aktivitas atau perilaku spesifik tersebut yaitu memastikan mereka mendapatkan waktu dan kesempatan yang memadai untuk bisa aktif di waktu dan tempat yang sesuai dengan peran dan fungsi mereka, dengan cara inilah para Resource State tersebut bisa dilatih untuk mempertajam kualitas kemampuannya.
Mengikuti proses yang ada di RT Action 8 – Finding Resource (silakan temukan lebih banyak bahasan seputar RT Actions ini di artikel ‘Resource Therapy Actions‘), kita memang sudah menyepakati kapan Resource State yang ideal untuk bisa menampilkan respon perilaku yang kita harapkan muncul, namun lebih dari itu kita juga sebenarnya bisa memunculkan Resource State tersebut secara sengaja, sehingga alih-alih menunggu dulu situasi spontan yang bisa mengaktifkannya, kita juga bisa memunculkan Resource State tersebut sesuai keinginan dan berada di mode Resource State itu sesuai yang kita perlukan, selain kita terbantu karena mampu menampilkan respon yang kita tahu sesuai dengan jenis fungsi dan peran Resource State tersebut, Resource State itu juga berkesempatan aktif dan melatih kemampuannya menjadi lebih baik lagi, semakin banyak pengulangan yang Resource State dapatkan dalam menjalankan aktivitasnya maka semakin bagus tingkat penguasaan mereka atas aktivitas tersebut, teknik untuk mengaktifkanResource State yang kita ingin munculkan secara sengaja ini dalam RT disebut RT Action 15 – Anchoring.
Anchoring adalah teknik yang sangat berguna untuk mengakses Resource State yang tepat yang kita perlukan sesuai kebutuhan, seorang atlit yang akan bertanding bisa mengakses Resource State yang memang digunakannya untuk berlatih sehingga Resource State itu menampilkan kinerja terbaik berdasarkan yang sudah dipelajarinya, seorang pelajar yang akan menjalani ujian bisa mengakses Resource State yang memang digunakannya untuk belajar, hal ini membuat Resource State yang kitaminta aktif untuk mengerjakan hal penting adalah Resource State yang memang sebelumnya sudah terbiasa mengerjakan hal tersebut.
Selama berlatih kita terus berada di mode Resource State tersebut artinya Resource State itu sudah mendapatkan latihan yang memadai, maka ketika waktunya tiba untuk mengaktualisasikannya dalam situasi nyata yang mensyaratkan kita untuk menampilkan hasil berlatih, Resource State yang terasah itu jugalah yang kita akses untuk aktif menampilkannya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.